Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toko Buku yang Menjelang Mati

3 April 2023   11:20 Diperbarui: 3 April 2023   11:22 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: okezone.com


/I/

Waktu itu saya hampir tidak percaya kalau ada toko buku di dekat pantai. Toko buku, ya, umumnya ada di kompleks pertokoan, atau kalau tidak di pasar-pasar, atau di persimpangan-persimpangan kota.

Ternyata benar, dan lagipula toko buku itu menjual buku-buku yang umumnya sulit dijumpai di toko buku-toko buku besar di kota ini: buku-buku pergerakan garis kiri dan kanan. Di sana tidak hanya menyimpan kitab imam-imam mazhab dan hadis, tetapi juga buku-buku esai semacam Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie, juga novel-novel Rusia semisal karangan Leo Tolstoy dan Maxim Gorky. Karya-karya Albert Camus, Franz Kafka, Simon de Beauvoir, Ernest Hemingway, hingga Mohammed Arkoun juga ada di sana.

Padahal, toko buku yang saya maksudkan itu tidaklah menyerupai toko buku pada umumnya; sayangnya tak ada istilah "Kios Buku" yang bisa saya pakai untuk menggambarkannya. Bukan bangunan dinding tembok, ia hanya terdiri dari lembaran-lembaran papan yang dirangkai rapi.

Pemiliknya seorang anggota ASN, saban senin hingga jumat memakai baju dinas dari pukul delapan pagi hingga pukul enam belas sore. Hari sabtu dan minggu, eh sorry, maksudnya, ahad, ia berkantor di toko bukunya. Penampilannya Islami, saya tak usah sebutkan secara detail. Jelasnya anda bisa bayangkan bagaimana seorang muslim yang taat, rapi, bersih, dan ramah.

Namun saya cukup heran dibuatnya, tampilan seperti itu tetapi menyediakan bacaan yang saya yakin itu mustahil dibaca oleh orang-orang yang penampilannya sama macam dia.

Ia tak menggunakan nama semisal: Jendela Ilmu, Kunci Ilmu, Kunci Pustaka, Pustaka Kunci, atau nama-nama lain sebagai nama toko bukunya. Di plang hanya tertulis "Toko Buku".

Toko Buku? Ia berkata memang hanya "Toko Buku" nama toko bukunya.

Demikianlah, "Toko Buku" adalah toko buku yang selalu saya tongkrongin tiap awal bulan. Pas gaji masih lagi panas-panasnya. Koleksi awal saya adalah "Membongkar Wacana Hegemonik: dalam Islam dan Post Modernisme", berisi pikiran-pikiran Mohamed Arkoun, dieditori oleh Dr. Hasyim Shalih dan diberi pengantar edisi bahasa Indonesia oleh Prof. Amin Abdullah.

Koleksi terakhir saya yang berasal dari toko itu adalah "Hadji Murad" karya Leo Tolstoy. Tapi percayalah, koleksi terfavorit saya adalah "Kitab Lupa dan Gelak Tawa" (ed. Bahasa Indonesia) karya Milan Kundera.

Oh iya, selain membeli buku, saya juga kerap nitip buku karya saya sendiri di sana. Lumayan, dari beberapa toko buku yang saya titipi, di "Toko Buku" yang paling laris. Pelanggannya rerata mahasiswa.

/2/

28 September 2018 menjadi momen kesedihan ganda bagi saya. Bukan saja karena kondisi sebagai penyintas gempa tektonik berkekuatan 7,4 SR, tetapi juga karena "Toko Buku", tempat tamasya saya di awal bulan, digulung gelombang tsunami. "Toko Buku" rata dengan tanah.

Saya mendapat kabar itu lima hari habis gempa, dan memastikan sendiri bahwa "Toko Buku" tak lagi berbentuk toko atau kios buku. Jauh lebih menyedihkan dari itu, dindingnya yang dari rangkaian papan-papan tercerabut berantakan: patah, pecah, hancur, tiarap di tanah.

Mungkin saja masih ada sisa-sisa buku yang bisa diselamatkan, saya bergumam dalam hati, dan ternyata hanya ada satu: bundelan nahwu-sharof yang koyak dan dipenuhi pasir yang mengering, beberapa halaman awalnya copot. Buku lain tak ada barang sebiji.

Ternyata buku-buku--yang semuanya rusak--usai diterjang tsunami itu diselamatkan pemiliknya sehari pascagempa, ia mengungsi ke luar kota sementara waktu.

"Toko Buku" hadir kembali di kota ini dengan cara menumpang di perumahan BTN kaki bukit. Keberadaannya hanya bisa diketahui lewat medsos, dan dari gosip-gosip beberapa orang yang jumlahnya amat sangat sedikit itu--dan sayangnya inilah gosip tersepi sepanjang sejarah, gosip tentang adanya toko buku yang numpang di sudut kota, sembari menunggu peluang bangkit lagi.

Sudah begitu, alamatnya sulit dijumpai. Saya mengetahui sejumlah kompleks perumahan BTN di kota ini. Ada perumahan BTN yang bloknya A1, B1, C1, ... Z, bahkan ada yang sampai dua huruf: AA, AB, AC, AD .... "Toko Buku" berada di perumahan BTN sebelah barat yang bloknya hanya sampai D. Tetapi tetap saja saya kesulitan menemukannya segera.

Itu lagi lebih tidak menyerupai toko buku, kios pun sama jauhnya dari mungkin. Buku-buku dilapak begitu saja di atas tikar, ada banyak judul-judul yang hilang. Lebih tepatnya itu buku-buku yang baru saja diadakan, sebagian besar judulnya sama dengan yang lalu sebelum semua rusak karena air laut.

"Baru ini yang ada," kata pemilik toko buku itu, "semoga secepatnya bisa bertambah."

"Amiiin ...." Saya hanya menjawab demikian setelah membayar "Metamorfosis", novelet Franz Kafka.

/3/

Hanya butuh satu semester pasca menumpang di Perumahan BTN sebelah barat kota ini, "Toko Buku" sudah bisa menyewa satu rumah kecil. Bukan toko atau kios. Itu benar-benar rumah, dengan daun pintu ganda, kaca jendelanya lebar-lebar dan bening. Ruang tamunya memakan hampir dua pertiga badan rumah, bisa ditempati beberapa lemari buku.

"Toko Buku" kini berada di sebuah jalan kecil, letaknya berdekatan dengan lingkungan yang di sana masyarakat tak mungkin membaca buku, yaitu di kompleks pasar. Lagipula, posisinya agak masuk ke dalam dari tepi jalan. Dari kejauhan saat mulai melintas di jalan itu, pasti "Toko Buku" tak kelihatan. Lagi-lagi, ia mengandalkan postingan media sosial. Untungnya ia bersebelahan dengan sebuah butik terkenal, yang bisa menjadi penanda di medsos kalau "Toko Buku" berada tepat di samping butik itu, hanya agak menjorok ke dalam.

Koleksi "Toko Buku" di tempat yang baru agak lebih mending ketimbang di rumah BTN. Ia menambah buku-buku Islami, dan beraneka ragam mushaf Alquran berwarna-warni. Namun, penjualan masih lesu, jauh dari pusat-pusat kegiatan mahasiswa. Ia juga mulai memikirkan untuk menambah koleksi novel, kendati bertaruh pinjam dan buang modal.

Koleksi terbaru ternyata tak membuahkan hasil yang memadai. Pemilik "Toko Buku" memutar otak berpikir keras-keras.

"Harus cari tempat baru, yang lebih terjangkau." Celetuknya tiba-tiba ketika saya datang suatu kali membeli terjemahan kitab Tahafut at-Tahafut karya Ibnu Rusyd.

/4/

Ternyata tidak main-main, pemilik "Toko Buku" benar-benar buang modal agar mendapatkan lokasi yang strategis untuk buku-bukunya. Senang sekali mendengarnya ketika ia membuat pengumuman di medsos bahwa "Toko Buku" kini sudah berada di dekat alun-alun barat kota ini. Letaknya tak jauh dari kampus. Juga tak jauh dari kedai-kedai di mana mahasiswa sering nongkrong di sore hingga malam harinya.

Dalam satu kunjungan saya menyaksikan "Toko Buku" yang sekarang lebih luas, lebih bersih, lebih memukau dengan lantai keramik putih senada dengan warna temboknya. Suasana ketenangan dalam toko itu nyaris menghipnotis saya untuk lebih lama memanjakan mata dengan buku-buku.

Kali ini buku-buku terbitan ICC (Islamic Cultural Centre) juga tersedia. Pikir saya, sepertinya di tempat yang baru ini lebih banyak peminat, sehingga lebih banyak buku-buku tersedia ketimbang mushaf Alquran.

Kunjungan kali berikutnya, buku semakin bertambah. Tetapi judul-judul yang kemarin seperti belum tersentuh.

Lagi, saya datang berkunjung tapi setelah waktu yang agak lama, ruangan dibagi dua: dua pertiga untuk buku-buku, sepertiga untuk gamis dan herbal-herbal.

Mungkin memang karena tema "Toko Buku" dominan bacaan Islami, meski bacaan kiri tak sedikit, makanya perlu juga menyediakan dagangan-dagangan khas muslim semacam gamis, tasbih-tasbih kayu, kurma, madu, dan herbal lainnya.

Tetapi saya mulai khawatir ketika kunjungan berikutnya, ruangan "Toko Buku" sudah dibagi tiga: sepertiga untuk gamis dan herbal-herbal, sepertiga untuk buku-buku, dan sepertiga untuk ATK. Kunjungan kali ini saya menyertakan istri, yang seringkali firasatnya lebih tajam dan banyak terbukti.

"Buku semakin ke pinggir," protes istri saya berbisik, "lagipula koleksinya tidak bertambah. Pertanda toko ini akan beralih dari toko buku bacaan menjadi toko buku-buku tulis."

Saya datang lagi di waktu-waktu berikutnya, dan kali itu firasat saya lebih tajam. Memang ada beberapa bacaan lama yang pudar tak terjamah, sedang koleksi baru untuk jenis buku yang sama tak bertambah. Adanya, porsi buku agama menjadi sangat dominan, sedang buku-buku filsafat dan pergerakan semakin menipis, serta novel-novel yang kelihatannya tak terjamah.

"Toko Buku" kali ini lebih bernuansa orang-orang tua pensiunan yang mulai bertobat--dengan mulai memperdalam agama--ketimbang nuansa mahasiswa yang bergulat dengan pikiran-pikiran. Rasa mahasiswa dalam "Toko Buku" mulai hilang.

Akhirnya, saya menyelamatkan "Hadji Murad" gubahan Leo Tolstoy dengan harga yang agak murah, sebelum novel-novel Rusia benar-benar habis.

/5/

Padahal itu toko buku milik seseorang yang tak lain juga cari makan seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tetapi saya bersama istri tak henti-hentinya membicarakan "Toko Buku". Padahal tak perlu galau, masih ada dua toko buku besar di tengah-tengah kota ini, lagipula letaknya berdekatan dan saling mengisi: buku apa yang tak ada di toko A, ada di toko B, pun sebaliknya. Belum lagi ada beberapa toko buku-toko buku yang berumur tua di beberapa persimpangan kota.

Tetapi memang kegalauan saya bersama istri justru berasal dari prinsip pemilik "Toko Buku" yang kami yakini, ia sudah cukup berjuang mati-matian menyelamatkan buku. Bencana alam telah mengujinya terhadap komitmennya akan berjualan buku. Ia lolos dari ujian itu, ia sanggup mendatangkan lebih banyak buku dari yang pernah ia punyai, dan bisa punya tempat lebih bagus.

Namun, ternyata ia tak lolos ujian dari bencana berikutnya, yakni malapetaka mahasiswa yang mulai meninggalkan buku. Berupaya keras ia memutar otak untuk menemukan strategi berjualan buku lebih lama, mengubah dan menambah koleksi bacaan ternyata tidak ampuh untuk menarik mahasiswa-mahasiswa dan golongan terpelajar lain itu agar kembali belanja buku.

Hari-hari berikutnya "Toko Buku" mengumumkan membuka cabang, tetapi bukan untuk jualan buku, melainkan jualan aneka plastik: barang-barang yang dibutuhkan oleh para pedagang kuliner jajanan yang kini lagi menjamur di kota ini.

Peningkatan usaha "Toko Buku" bukannya saya bersama istri menyambutnya dengan gembira, malah makin bersedih hati. Artinya, "Toko Buku" bakal mempertahankan usahanya bukan terutama dengan buku-buku, tetapi dengan usaha lain.

Sementara buku-buku makin terpojok ke pinggiran. Mahasiswa-mahasiswa, dosen-dosen, aktivis-aktivis yang nongkrong di kedai tak jauh dari "Toko Buku" juga tak lagi memegang buku, yang kalau habis mereka baca bisa mereka beli lagi di "Toko Buku". Supaya "Toko Buku" bacaan tak berubah menjadi "Toko Buku" tulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun