Prof. Quraish Shihab memaknai kata fitrah yaitu kembali kepada kesucian, atau asal kejadian manusia. Menyambung makna ini, orang-orang biasanya membatasi kembali fitri (di hari Idul Fitri) yaitu ketika seseorang bisa saling maaf memaafkan. Lepas dosanya bagai bayi yang dilahirkan kembali.
Namun, jika mencermati makna kesucian sebagaimana manusia semula jadi itu, maka kesucian bukan hanya meliputi kebersihan diri dari dosa, tetapi kesucian itu adalah semakin kuatnya manusia dengan karakter utama kemanusiaannya, yaitu makhluk yang sejak lahir sudah memiliki kodrat yang berbeda dengan makhluk lain.
Ayatullah Murtadha Muthahhari membedakan fitrah dari dua potensi lainnya yang masing-masing dimiliki oleh tumbuhan dan binatang. Pada tumbuhan, Muthahhari menyebut potensi itu sebagai tabiat. Yaitu naluri tumbuhan untuk terus tumbuh, namun tanpa perkembangan dan tanpa kesadaran.
Pada binatang Muthahhari menggunakan istilah insting (gharizah), yaitu naluri binatang untuk tumbuh dan berkembang dan hanya memiliki kesadaran masa kini, yakni hanya menyangkut pemenuhan kebutuhan hidupnya semata.
Tabiat dan insting pada hewan dan tumbuhan itulah yang menyebabkan kedua makhluk tersebut hidupnya bergerak sesuai  dengan pergerakan alam. Manusia berbeda, manusia dapat berlaku kreatif dengan akal-pikirannya. Ia tidak mesti tunduk pada alam, bahkan ia bisa membuat alam tunduk pada inovasinya. Maka wajar jika manusia diberi predikat khalifah di muka bumi.
Karena potensi manusia yang dapat tumbuh, berkembang, dan punya kesadaran sejarah, kini, dan masa depan itulah, maka naluri yang ada pada manusia bagi Muthahhari adalah fitrah. Dan karakter inilah yang dibentuk maksimal melalui ibadah puasa.
Demikianlah 8 makna puasa bagi yang menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Semoga kita semua bisa kembali ke fitrah kita sebagai manusia di hari yang fitri nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H