Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (5): Gejala Kuasi Pos-Islamisme

30 Maret 2023   00:23 Diperbarui: 30 Maret 2023   00:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: perpustakaan.jakarta.go.id

Yang ada adalah kelompok-kelompok yang membid'ahkan atau mengharamkan aksi demonstrasi, kini mulai menempuh jalan itu untuk mengemukakan keinginan-keinginannya. Dulu musik marak diharamkan, tetapi kini seolah wajib dalam hal mengantar kegiatan seminar keislaman maupun kemuslimahan.

Contoh yang paling bagus bisa kita lihat pada aksi 212 dalam beberapa jilid. Saya tidak mengatakan semua mereka awalnya mengharamkan demo. Namun tak dapat dimungkiri sebagiannya ada yang demikian. Betapapun tumpahnya massa, aksi 212 selalu berujung tertib. Adapun chaos tetap tak terhindarkan, namun sedikit saja, itu hal yang wajar. Tetapi aksi besar itu tidak sampai menimbulkan reformasi apalagi revolusi. Sebab keduanya membutuhkan kerja-kerja lapangan selama bertahun-tahun. Ideologi dan ideologisasi mesti dimatangkan, serta strategi mesti digodok sebaik-baiknya untuk meraih banyak massa.

Apa yang kita saksikan di Indonesia terkait gerakan kelompok-kelompok Islam dapat kita sebut sebagai "Kuasi Pos-Islamisme", suatu gejala yang mirip pos-Islamisme tetapi sesungguhnya bukan. Karena tidak berangkat dari posisi penerapan sistem Islam yang tengah mengalami anomali, lalu krisis.

Ketidaan kondisi Islamisme kemudian menjadi pos-Islamisme, berpotensi membuat imajinasi tentang keidealan sistem Islam menjadi impian kolektif kelompok-kelompok Islam, seiring dengan semakin besarnya sikap diskriminatif negara. Maka tetap saja harus berhati-hati, Islamisme yang belum pernah diwujudkan, bisa jadi akan menjadi pendorong di kemudian hari.

*** 

Apa konsekuensi bagi Anies--seandainya terpilih menjadi presiden--dengan adanya gejala kuasi pos-Islamisme ini? Tidak lain adalah sense dalam memimpin, sebuah keterampilan dalam memperlakukan kelompok-kelompok yang dicurigai menyimpan sikap radikalisme agama.

Tuduhan bahwa kelompok-kelompok radikalis berada di sekeliling Anies itu agaknya menimbulkan kekhawatiran yang tidak biasa. Bisa saja intoleransi menguat karena kelompok-kelompok intoleran diberikan tempat yang lebih leluasa. 

Mungkin yang akan menjadi korban dari sikap intoleran itu bukan lagi dari agama lain, di mana sudah ada banyak pihak yang menjadi penjaga toleransi antar umat beragama. Tetapi lebih kepada mereka yang menganut agama yang sama tetapi memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok intoleran itu.

Jangankan terhadap kelompok-kelompok minoritas muslim, terhadap kelompok besar dalam hal ini NU, konfrontasi itu kerap terjadi. Memang diskusinya bukan pada tataran keharusan menerapkan hukum Islam atau tidak? Tetapi lebih kepada amalan-amalan, apakah yang dilakukan itu ada tuntunannya dalam Islam atau tidak?

Namun berkaca pada pengalaman DKI Jakarta semasa Anies menjabat, tidak pernah terdengar isu radikalisme yang mengancam minoritas. Tidak ada ulah kelompok intoleran yang meresahkan. Yang lebih penting, tidak terbukti kekhawatiran sementara orang bahwa Anies akan menerapkan Perda Syariah, hal yang terdengar ketika Anies menghadapi momen pencalonan gubernur.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun