Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book

Politik Identitas (5): Gejala Kuasi Pos-Islamisme

30 Maret 2023   00:23 Diperbarui: 30 Maret 2023   00:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: perpustakaan.jakarta.go.id

Sikap pos-Islamisme dalam kasus mesir kita bisa lihat contohnya pada sikap Syaikh Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, yang mengambil semangat rasionalisme dari barat namun tetap menjadikan agama sebagai basis pemahaman yang utama. 

Juga Ikhwanul Muslimin mengubah definisi dirinya yang semula "partai Islam", menjadi "partai yang anggotanya adalah orang Islam". Yang pertama bermakna Islam menjadi tujuan perjuangan politik, yang kedua lebih bermakna Islam menjadi sarana perjuangan politik.

Ikhwanul Muslimin diakui menjadi inspirasi--kalau bukan adopsi gerakan politik--PKS. Karena mereka merupakan partai Islam yang berjuang melalui sistem formal negara demokrasi. Oleh sebagian orang, PKS dicurigai akan meneruskan niat pendirian negara Islam jika mereka sudah kuat. 

Tetapi jika kita mencermati, Yusuf Qardhawi (sebagai ulama penting Ikhwanul Muslimin) dalam salah satu bukunya menyebut jika revolusi terjadi, itu bukan karena Ikhwanul Muslimin, tetapi karena rakyat yang menghendaki demikian. Pikiran ini bisa jadi juga sejalan dengan sikap PKS, apabila benar Ikhwanul Muslimin dan PKS adalah identik.

Jadi, Pos-Islamisme Asef Bayat (jika dialah satu-satunya teoritikus pos-Islamisme) mengandaikan adanya Islamisme terlebih dahulu. Islamisme itu sendiri berangkat dari gerakan sosial. Pada kasus Iran, gerakan itu dibangun dengan pencerahan dari tokoh-tokoh intelektual agama (rausyan fikr Ad-Diini) yang sudah berlangsung kurang lebih 18 tahun. Serta didukung doktrin utama dalam tradisi Syiah yaitu kemestian Kepemimpinan spiritual (Imamah) dan Wilayah (Ummah).

Sedang pada kasus Mesir, gerakan Islamisme melalui penguasaan pada sektor-sektor pendidikan, masjid serta ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya proses ideologisasi. Gerakan membangkitkan kesalehan itu sendiri tidak mementingkan intelektualitas (berbeda dengan Iran yang menekankan aspek filosofis dan ilmiah), tetapi lebih kepada renungan, sentuhan di hati. Layaknya Amr Khalid, salah seorang pendakwah populer Mesir, yang kala itu berkata, "Aku tidak ingin menyentuh pikiranmu. Aku datang untuk menyentuh hatimu." 

Ketika menyematkan istilah pos-Islamisme, mungkin yang dilihat Sohibul Iman adalah kasus Ikhwanul Muslimin di mesir, yang menerapkan Islamisme lewat jalan demokrasi. Penandanya adalah kesalehan pribadi yang baik tetapi tidak dengan simbol-simbol, ataukah diri yang berciri modern tetapi berkomitmen menjalankan Islam yang benar.

Kalau ini saja, NU dan Muhammadiyah bisa disebut sebagai kelompok post-Islamisme. Mereka juga Islam, kesalehan pribadi dilengkapi dengan pemahaman atas literatur-literatur klasik pada NU, atau pemikiran modern pada Muhammadiyah. Dalam soal politik pun, mereka memilih demokrasi sebagai jalan, sekaligus memperkuat demokrasi itu sendiri.

Tetapi bukan itu. Syarat utama terciptanya kondisi pos-Islamisme adalah penerapan sistem Islam terlebih dahulu. Pos-Islamisme kemudian adalah hasil dari metamorfosa Islamisme setelah berhadapan dengan kenyataan. Apa yang terjadi di Iran dan Mesir menjadi kasus ril, gerakan pos-Islamisme muncul sebagai hasil dari rasa frustasi, atau kebingungan, atau dari upaya mencari strategi untuk menutupi lubang-lubang pada sistem Islam.

Indonesia tidak pernah mengalami Islamisme, Islam secara formal tidak sampai berhasil menjadi sistem hukum negara. Adapun beberapa percobaan pendirian negara Islam dengan syariat sebagai sistem hukumnya, selalu sudah berhasil dicegat dengan cepat.

Tetapi kalau diamati memang ada kemiripan, gerakan kelompok-kelompok Islam dewasa ini tidak lagi mengisukan demokrasi haram, tidak seperti pada dekade-dekade sebelumnya. Juga tak lagi terdengar Darul Islam vs Darul Harb. Juga tidak populer lagi upaya untuk memperjuangkan hukum syariat dalam skala nasional. Wacana-wacana lama semacam itu agaknya tidak lagi menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun