Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Politik Identitas (2): Kelompok Radikal sebagai Subjek dan Objek

24 Maret 2023   21:26 Diperbarui: 24 Maret 2023   21:38 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam buku itu bisa kita amati bagaimana kerangka kultural itu menjadi dominan. Buya Maarif memang dalam orasinya tidak ingin terjebak pada sikap eksklusif terhadap kelompok-kelompok radikal. Ia dengan berhati-hati mengungkap politik identitas ada beragam bentuknya. Ia tampak berlaku adil dengan menyadarkan kita bahwa politik identitas itu niscaya untuk masa depan politik kita.

Hanya saja tetap terendus kekhawatiran terbesarnya dengan menambahkan bahwa munculnya politik identitas itu mesti dimaknai positif, dengan catatan harus sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, yang dalam hal ini terwakilkan dalam spirit pancasila.

Namun pada akhirnya Buya Maarif berkesimpulan bahwa politik identitas itu berbahaya. Upaya-upaya untuk mewujudkan pluralisme harus terus diupayakan dengan cara nilai-nilai pancasila, jangan hanya tergantung mengawang-awang. Dan kita tentu sudah tahu, bahwa di dalam kesadaran Buya Maarif, masa depan pluralisme Indonesia akan baik bila kelompok-kelompok yang dipandang radikal itu menginternalisasi nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.

Pemosisian kelompok Islam progresif sebagai objek yang perlu diajarkan tentang nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa juga menjadi konsentrasi dominan dari tujuh penanggap orasi Buya Maarif. Terutama Musdah Mulia, sepanjang delapan halaman ia menulis tanggapan dengan judul "Politik Identitas: Ancaman Terhadap Masa Depan Pluralisme di Indonesia", yang diakhiri dengan solusi antara lain, pertama, istilah pluralisme mesti ditafsir ulang, agar tidak salah paham. Soalnya MUI pernah mengeluarkan fatwa haram pluralisme, sebagai bentuk dari salah paham atas istilah itu. Kedua, melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan atas nama agama.

Utamanya pada solusi kedua, sampai kalimat penutup, Musdah Mulia memosisikan kelompok Islam progresif sebagai kelompok fundamentalis yang perlu dijinakkan demi terciptanya kedamaian yang diimpikan. Pandangan ini jelas sangat dipengaruhi oleh analisa dalam kerangka kultural.

Demikian pula pandangan Yayah Khisbiyah yang melihat kelompok Islam progresif dalam kacamata psikologi dan pedagogi perdamaian. Dengan mengutip Psikolog Erik H. Erikson, ia merasionalisasi motivasi kelompok-kelompok masyarakat atas dasar pseudo-speciation. Bahwa setiap kelompok menyadari dirinya berbeda dari yang lain dan cenderung terdorong untuk menonjolkan diri. Atas dasar inilah asumsi politik identitas itu akan dibangun.

Lalu politik identitas berjubah agama akan dibingkai (frame) dalam istilah intoleransi dalam beragama. Di sini Khisbiyah memberikan alternatif lewat dunia pendidikan, dengan pra-anggapan pendidikan dapat membentuk karakter para peserta didik, juga membantu mengurangi intoleransi antar agama.

Hematnya, pendidikan adalah solusi bagi masa depan pluralisme (demikianlah politik identitas diterjemahkan ke dalam sikap intoleransi atas nama agama lalu diobati dengan jalan pendidikan inklusif) dengan cara optimalisasi dunia pendidikan. Antara lain kurikulum mesti bermuatan nilai pluralisme, tenaga pendidik yang punya komitmen pluralisme, metode belajar mengajar yang mengutamakan inklusifitas, serta menghidupkan program-program budaya berbasis multikulturalisme.

Pandangan Khisbiyah ini jelas sangat dipengaruhi analisa dengan kerangka kultural, di samping memosisikan kelompok progresif sebagai objek yang dibicarakan, dan cenderung mengabaikan potensi kelompok itu sebagai subjek yang berbicara, juga mengabaikan interaksi secara kalkulatif kelompok itu dengan pihak yang berhadapan dengannya, yakni kekuasaan.

Mungkin dia juga lupa bahwa pendidikan dan upaya kultural untuk meredam ideologi progresif yang intoleran juga pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru dengan istilah penataran P4. Kekuatan politik identitas berhasil diredam namun yang terjadi adalah tercederainya HAM di bawah monopoli kekuasaan.

Saya kira Budiman Sudjatmiko menjadi satu-satunya yang menggunakan kerangka rasional dalam menanggapi orasi Buya Maarif. Ia menulis tanggapan sepanjang sepuluh halaman berjudul "Politik Aliran dalam Pancasila: Keniscayaan Sejarah dan Antitesis Fundamentalisme". Ia memulai dengan kondisi wajar kebangkitan politik identitas dalam jubah apapun di pelbagai belahan dunia, semua itu akibat baru saja terlepas dari kepemimpinan otoriter. Juga sebagai respons atas penerimaan negara terhadap sistem ekonomi neoliberal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun