Salma sendiri--sepengetahuan orang setempat--adalah wanita yang gampang bergaul dengan banyak pria. Ia bukan wanita baik-baik. Walau begitu, ia bagian dari klan Mastoi. Melecehkan perempuan Mastoi berarti juga melecehkan klan itu. Apalagi Shakur yang berasal dari klan Gujar, minoritas di sana, kehormatan Mastoi harus dibayar.
Tibalah saat yang memilukan. Shakur ditahan, Mukhtar Mai harus menebusnya. Tak ada lagi yang lain. Mukhtar seorang janda, lagipula, ia adalah adalah wanita terhormat di keluarganya--sesuai gelar "Mai" yang disematkan di belakang namanya. Mukhtar Mai harus memohon pengampunan ke petinggi klan Mastoi, sesuai dengan keputusan Dewan Jirga--yang sesungguhnya didominasi oleh klan itu juga.
Mukhtar tidak datang sendiri, ia dikawal oleh ayah dan pamannya. Tetapi keduanya disergap dan ditodong dengan ujung senjata. Sementara, Mukhtar dipaksa masuk ke dalam kandang dan diperkosa beramai-ramai para lelaki petinggi klan. Demikianlah keputusan dewan telah dibuat, demi mendapat pengampunan.
Shakur ditahan oleh pihak kepolisian. Setelah pengampunan--dalam bentuk pemerkosaan terhadap wanita terhormat mereka, barulah Shakur bisa dilepaskan. Namun sebelum ditahan oleh aparat kepolisian, Shakur awalnya sudah ditahan di farmhouse milik Mastoi. Di sana ia diperkosa/disodomi (sesama lelaki). Kepolisian sendiri menahannya demi mengamankannya dari perlakuan Mastoi, bukan karena Shakur jelas terbukti bersalah.Â
Apa yang ada di pikiran seorang perempuan setelah diperkosa? Apalagi dengan cara menjijikkan, bergilir, dan disaksikan banyak orang? Tidakkah ia akan mencoba bunuh diri?Â
Demikianlah Mukhtar, keinginan bunuh diri sudah dekat. Hidup tak lagi ada gunanya. Kehormatan telah direnggut, dan klan Gujar sudah dipermalukan. Tidak! Mukhtar lebih memilih menuntut keadilan. Apa itu keadilan? Yaitu para pemerkosanya dihukum sesuai dengan perbuatan mereka. Memerkosa seorang wanita terhormat, dan juga menzolimi adiknya, bukanlah pembalasan setimpal atas "salah paham" terhadap kasus adiknya dengan Salma si Mastoi.
Tetapi, dan sayangnya, di negara itu menerapkan hukum Islam, tetapi diterjemahkan dan dijalankan dengan keliru. Ketika kesalahan yang dilakukan melibatkan lelaki dan perempuan, pasti yang salah adalah perempuan. Dan yang berasal dari klan kecil, yang lemah.Â
Untuk kasus perselisihan pun--apalagi sampai berujung pada pembunuhan, pada akhirnya akan menempuh jalan ini; menyerahkan satu atau dua anak perempuan untuk dinikahkan (hal. 146) dengan lelaki yang ada di pihak lawan, untuk mempersatukan kembali hubungan yang rusak.
Hukum berwajah patriarki, seringkali perasaan seorang perempuan korban pemerkosaan diabaikan, dan lebih memilih memercayai perkataan lelaki yang rasional:
"Dengan seorang polisi perempuan, hal itu mungkin tidak akan terlalu menyakitkan. Namun, kenyataan pahitnya, hanya kaum laki-laki yang ada di kepolisian dan sistem peradilan. Selalu laki-laki."Â (hal. 42)
Kritik ini serupa dengan yang pernah dilontarkan oleh Fatimah Mernissi, feminis Islam asal Maroko. Mengapa agama berwajah patriarki (kelaki-lakian?) karena ahli tafsir semuanya adalah lelaki, sementara perempuan hanya berstatus sebagai penerima tafsir.