"Sebuah laporan dari Komisi Hak-Hak Asasi Manusia mencatat bahwa 226 gadis Pakistan, yang semuanya masih sangat muda, telah diculik di Punjab di bawah kondisi serupa untuk dinikahi secara paksa." (hal. 145)
Ironisnya, akhir dari kasus kekerasan plus pemerkosaan dimenangkan oleh pihak pemerkosa. Seperti yang menimpa Zafran Bibi, diperkosa oleh saudara ipar laki-lakinya. Zafran dirajam, sementara pemerkosanya tak diapa-apakan (hal. 141).
Seorang wanita tidak pula dapat memilih sendiri lelaki yang diinginkannya. Walau hukum Islam secara nasional (di Pakistan) diperbolehkan. Tetapi tetua-tetua adat lebih memilih penyelesaian berdasarkan adat dan lebih menjunjung adat ketimbang melindungi kaum wanita. Dewan Jirga juga banyak menghukum wanita-wanita yang memilih pasangannya sendiri (hal. 142).
Kalau seperti itu, di manakah yang disebut dengan hukum Islam? Apakah yang dimaksud hukum Islam adalah hukum adat? Tak pelak, praktik pelaksanaan hukum Islam di Meerwala hanyalah sebatas kedok. Mustahil Islam menghendaki pencegahan perselisihan, namun dengan mengorbankan kaum perempuan. Bertolak belakang dengan upaya nabi Muhammad saw yang mengangkat derajat kaum perempuan.
Tampaknya memang di negara itu, terlampau sering kaum perempuan dipandang rendah. Bahkan perempuan yang berpendidikan tinggi tak luput dari tindak pemerkosaan. Seperti yang dialami oleh Dr. Shazaki Khalid, bekerja sebagai dokter pada sebuah perusahaan swasta, diperkosa oleh oknum militer saat menjalankan tugas di daerah terpencil. Saat itu suaminya berada di luar negeri (hal. 148).
Bagi seorang perempuan, pemerkosaan bukan saja perenggutan kehormatan, tetapi juga menjadi aib bagi masyarakatnya. Di saat seperti itu, perempuan akan mengalami dua macam tekanan. Yakni tekanan mengenai penerimaan atas diri sendiri, dan tekanan yang dihasilkan dari pembicaraan publik.Â
Mukhtar Mai berkisah pada beberapa bagian bukunya itu, bunuh diri adalah ide yang pertama kali muncul saat pemerkosaan itu terjadi. Ada yang memilih meneruskan niatannya--untuk bunuh diri, dan ini merupakan yang kebanyakan terjadi. Selebihnya, amat sangat jarang yang mau memperkarakannya secara hukum. Karena hampir mustahil perempuan mendapatkan keadilan yang dituntutnya.
Sepertinya memang mustahil. Mukhtar Mai saja yang didukung oleh banyak pihak, termasuk komisi perlindungan hak asasi manusia dan perempuan, dan dari luar negeri, gagal memenangkan kasusnya. Bahkan, kemenangan terakhirnya bukan karena pengadilan menghukum terdakwa atas tindakan pemerkosaan, tetapi karena tindakan teror (sebuah kasus yang lain).
Lagipula, apakah dengan menempuh jalur hukum, dan berhasil, lantas bisa mengembalikan kehormatan seorang perempuan yang telah mengalami pemerkosaan? Tidak, tetap saja tersisa stigma di masyarakat, dan kejadian pahit itu tidak akan terhapus. Akan selalu terbayang selama-lamanya.
/4/
Buku ini, jika tidak dibaca dengan rasa penasaran, niscaya akan cepat menemukan titik jenuh. Apalagi yang membacanya adalah laki-laki, hanya akan meraba-raba bagaimana perasaan seorang Mukhtar Mai, dengan segala hal yang menimpanya.