Mohon tunggu...
Saeful Ihsan
Saeful Ihsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pendidikan Islam, Magister Pendidikan

Seseorang yang hobi membaca dan menulis resensi buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku-Buku Pembawa Sial

26 Februari 2023   11:36 Diperbarui: 26 Februari 2023   11:38 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Slamet selalu berpikir bahwa kelak, dengan buku-buku yang dibacanya, ia bisa menjadi manusia yang berkualitas dan sukses. Ia memang seorang kutu buku, ada berlemari-lemari buku di dalam kamarnya. Buku-buku itu ia koleksi semenjak duduk di bangku kuliah.

Kini Slamet sudah sepuluh tahun meninggalkan kampus, tetapi kebiasaannya dan juga sekaligus prinsipnya tetap ia jalankan: belanja satu buku satu bulan.

Meskipun pembaca buku seringkali dianggap sebagai orang yang cerdas, setidaknya melebihi orang-orang biasa yang tak rajin baca buku, nyatanya pembaca buku pun tak bisa memikirkan segala hal. Salah satunya yang tersulit adalah memikirkan bagaimana menambah penghasilan dari bisnis buku. Tak usah dulu berpikir bagaimana caranya menjadi kaya.

Jualan buku, menerbitkan buku sendiri lalu dijual, mengirim tulisan ke media,  semuanya telah dilakukannya. Tapi toh juga ia hidup pas-pasan. Penghasilan dari upaya-upaya itu tak bisa diharapkan. Ternyata buku-buku tidak bisa bikin kaya. Itu semakin terasa ketika ia sudah berumah tangga dan punya anak.

Yang Slamet tahu bahwa dengan membaca buku, tingkat literasi bangsanya bisa meningkat, sekalian dengan kualitas kemanusiaan, memajukan pikiran, serta sebagai pemeluk agama Islam ia sadar bahwa membaca (iqra) adalah perintah pertama yang diserukan oleh kitab suci Al-Qur'an mendahului perintah-perintah lainnya. Makanya ia tetap melakukan kebiasaan membaca walaupun harus hidup miskin.

Ia pun selalu mendakwahkan perlunya budaya membaca. Ia sangat prihatin dengan peringkat literasi bangsanya yang selalu hampir di urutan terakhir. Ia juga menyayangkan orang-orang banyak tak peduli pada membaca. Rumah-rumah tak ada koleksi bukunya. Dia yakin, seandainya orang-orang di negaranya gila baca seperti masyarakat di Amerika, pasti negaranya akan maju. Begitu pikirnya.

Namun begitu, kerapkali Slamet terpaksa bungkam, lantaran ia ditanya apa korelasi antara membaca buku dengan kesejahteraan masyarakat? Ia menengok kepada dirinya sendiri. Lalu menengok ke orang-orang sukses, pemimpin politik, pebisnis, pejabat, pengusaha-pengusaha besar, tak ada ia lihat mereka meraih kesuksesannya masing-masing oleh sebab membaca buku.

Dalam momen reuni bersama kawan-kawannya pun, ia bagai orang asing yang tak nyambung bicara soal pekerjaan, aset, karir, dan penghasilan. Ia hanya bisa bercerita tentang kebiasaannya membaca buku saban hari, menulis, serta kerja apapun asalkan halal. Ceritanya tidak menarik, tak ada di antara kawan-kawan itu yang antusias mendengarkan.

Ia ingat betul, di antara kawan-kawannya itu beberapa yang dulunya "bodoh" dan nakal di sekolah, kini menjadi orang sukses. Punya mobil mewah, rumah bagus, dan hidupnya bagai tak punya beban. Sedang beberapa teman lain yang ia ketahui sebagai anak baik-baik, ada juga yang juara-juara kelas, kini tidak menjadi apa-apa, hanya orang biasa. Ia pun merasa dirinya bagian dari orang-orang yang kurang beruntung itu.

Sudah begitu, Slamet tak juga kapok-kapok, ia terus membaca dan membaca, menulis dan menulis. Sampai tiba satu waktu yang akan membuat dirinya berubah, membenci apa yang dicintainya.

Kala itu ia sedang ditugasi istrinya menjaga anak mereka yang masih balita, karena mengurus suatu pekerjaan. Anak itu belum lancar berdiri dan masih merangkak. Slamet merasa bosan menjaga anak. Ia pun mengambil sebuah buku untuk dibaca sebagai penetral kebosanan, dan begitulah, fokus lelaki sulit dibagi. Konon kata seorang psikolog, itu disebabkan selaput otak tengah kaum lelaki tipis.

Tak lama kemudian, terdengar olehnya suara gedebuk yang keras, disertai teriakan kencang seorang balita. Ia pun seketika sadar bahwa itu anaknya, yang ditugasi oleh istrinya untuk dijaga. Anak itu jatuh di tangga teras. Ia segera mengangkat anak itu, menggendongnya sambil mendiamkan. Anak itupun tertidur, capek dia menangis keras menahan sakit. Belakang kupingnya memerah, bekas terbentur di semen.

Ketika bangun mata anak itu melotot, hanya bisa melihat ke kiri. Tak lama kemudian kejang-kejang. Slamet panik bukan main. Pasti itu gara-gara benturan tadi, pikirnya. Ia seketika berlari-lari sambil menggendong anaknya mencari bantuan, layaknya Siti Hajar yang berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, mencari air.

Namun Slamet tidak sedang mencari air. Ia mencari pertolongan. Mula-mula ia mendatangi seorang rumah dukun (bukan paranormal) yang bisa menyembuhkan orang sakit dengan pijatan. Siapa tahu sang dukun bisa memberi pertolongan pertama. Rupanya si dukun sedang tak ada di rumahnya.

Ia pun berjalan lebih jauh, dan sampailah ia ke puskesmas. Anak itu segera ditangani. Dokter menyuntikkan cairan ke paha anak itu. Tak lama anak itu tenang, tak lagi kejang, lalu tertidur pulas.

"Pak, tunggu sampai anak ini kencing, ya," kata dokter, "kalau air kencingnya keluar berarti dia baik-baik saja. Kalau tidak, berarti saya harus menyiapkan perawatan khusus."

Slamet lega akhirnya anaknya itu kencing. Setibanya di rumah, istrinya pun segera tahu apa yang terjadi. Ia mengingatkan Slamet dan ini sudah yang kesekian kalinya.

"Kalau mau membaca, cari waktu-waktu khusus lah, pa!"

Slamet hanya diam.

"Kan bisa kalau dia lagi tidur."

Slamet hanya diam.

"Lihat nih, kalau dia sampai geger otak, bagaimana?"

Slamet hanya diam.

Dan diam adalah pilihan terbaik di saat istri sedang mengomel (dan gara-gara kejadian itulah, anak si Slamet jadi lambat bicara. Kelak ia menjadi anak yang pelupa, sulit berhitung, kesulitan membaca, dan beberapa kali tak naik kelas).

Slamet tak bicara apa-apa selama sehari. Matanya tertuju pada buku yang dibacanya saat anak itu terjatuh di tangga teras. Ia ambil buku itu, ia sobek dengan sadis. Lalu ia buang.

Ia kemudian pergi ke kamarnya, melihat rak-rak yang dipenuhi buku-buku, itu merupakan koleksinya semenjak kuliah. Ia tatap buku-buku itu dengan tatapan yang penuh dendam. Ia mengingat-ingat dan menghitung-hitung berapa banyak waktu terbuang gegara membaca; betapa banyak saran teman yang diabaikannya gegara membela prinsipnya untuk terus baca buku; betapa banyak peluang dan kesempatan meraih kesuksesan yang ia sia-siakan gara-gara membaca buku;

Dan yang paling menyakitkan, anaknya harus mengalami kejang-kejang, dan kelak mengalami mental yang tidak stabil, gara-gara kelalaiannya, hanya sibuk dengan buku yang dibacanya.

Akhirnya ia berkesimpulan, 'Buku-buku inilah yang selalu membawa sial di dalam hidupku.'

Tak lama kemudian, ia mengobrak-abrik buku-buku itu, memboyongnya keluar, melemparkannya ke halaman belakang, lalu membakar semuanya.

Demikianlah buku-buku pembawa sial itu berubah menjadi debu, dan terbang bersama angin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun