Slamet hanya diam.
Dan diam adalah pilihan terbaik di saat istri sedang mengomel (dan gara-gara kejadian itulah, anak si Slamet jadi lambat bicara. Kelak ia menjadi anak yang pelupa, sulit berhitung, kesulitan membaca, dan beberapa kali tak naik kelas).
Slamet tak bicara apa-apa selama sehari. Matanya tertuju pada buku yang dibacanya saat anak itu terjatuh di tangga teras. Ia ambil buku itu, ia sobek dengan sadis. Lalu ia buang.
Ia kemudian pergi ke kamarnya, melihat rak-rak yang dipenuhi buku-buku, itu merupakan koleksinya semenjak kuliah. Ia tatap buku-buku itu dengan tatapan yang penuh dendam. Ia mengingat-ingat dan menghitung-hitung berapa banyak waktu terbuang gegara membaca; betapa banyak saran teman yang diabaikannya gegara membela prinsipnya untuk terus baca buku; betapa banyak peluang dan kesempatan meraih kesuksesan yang ia sia-siakan gara-gara membaca buku;
Dan yang paling menyakitkan, anaknya harus mengalami kejang-kejang, dan kelak mengalami mental yang tidak stabil, gara-gara kelalaiannya, hanya sibuk dengan buku yang dibacanya.
Akhirnya ia berkesimpulan, 'Buku-buku inilah yang selalu membawa sial di dalam hidupku.'
Tak lama kemudian, ia mengobrak-abrik buku-buku itu, memboyongnya keluar, melemparkannya ke halaman belakang, lalu membakar semuanya.
Demikianlah buku-buku pembawa sial itu berubah menjadi debu, dan terbang bersama angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H