Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota Suram dan Bulan Mati di Pangkuan Jurna

25 Mei 2021   20:21 Diperbarui: 25 Mei 2021   20:59 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi Jurna dan Bulan (foto-Depositphotos.com)

Malam 25 Mei, duduk di teras lantai tiga rumahnya, seorang anak gadis dengan wajah lelah, gusar dan pucat mencemburui gelap malam terlalu buru-buru menyuh senja pulang ke samudera. Jurna, nama gadis 16 tahun itu. Selalu melihat bulan setiap malam tiba, jika siang hanya ada matahari. Dia melihat bulan di hatinya

Sekolah daring mematahkan semangat sesungguhnya, jurna sangat menyukai cerita-cerita fiksi. Waktu luang yang dia gunakan setelah sekolah daring dengan membaca banyak cerita fiksi. Dirinya sangat mengagumi bulan. Menurut dia, rembulan itu menjadi indah ketika kita sedang pata hati. sejumlah tulisan fiksi yang dia kumpul hanya menambah kekuatan rindu dia pada sang bulan

Sudah bertahun-tahun, di halaman buku kecil miliknya hanya bertuliskan tentang beberapa keindahan yang menurut jurna adalah keajaiban nyata yang pernah dia temukan di bumi. Satu keindahan yang dia tulis adalah Keindahan Bulan. Suatu ketika kebencian membakar amarahnya karana beberapa hal, bukan karena bulan tidak menyapanya, tetapi karena jurna terlalu percaya pada semua keindahan

Sehingga  ketika harapan dan kesungguhan dia disentuh dengan beberapa hal yang membuat dia merasa benci, sejuta keindahan yang dia catat sejauh beberapa tahun ternyata tidak bermakna sama sakali di hatinya jurna

Poukul 19.26 wib, komplek perumahan Indah sudah sangat sunyi, sepi hanya bising sesekali mengganggu lamunannya. Secangkir kopi, dan sebuah almbum catatan kecil Jurna menemani dia di teras depan lantai tiga.

Rumahnya berdekatan dengan bukit yang suram, lembah dan hutan yang basah menambah aroma dingin yang menusuk hingga ketulangnya. Matanya tertuju pada luasnya lapangan golf, hilir mudik mobil memasuki gerbang utama perumahan indah membuat jurna tak lepaskan mata untuk menghitung satu per satu cahaya lampu dari mobil itu

"huh, malam ini terlalu gelap. Aku benci kota yang sepi ini" sambil menarik buku kecil yang dia letakkan di dekat gelas kopinya

Udara malam itu sedikit berbeda, siangnya sangat panas. Sesekali hawa dingin lembah dan bukit berubah menjadi hawa panas. Terlintas dibenak Jurna, geliat rindu pada sang bulan. Jurna memikirkan gedung-gedung tinggi di hadapannya, serta remangnya lampu kota bukan bentuk pemandangan asik

Sesekali dia membentur kakinya ke lantai, bak risih dengan suatu hal yang mengganggu pikirannya. Sore tadi, dia rebahan menjelang malam. Di tempat duduk favoritnya dari bahan bambu, dia melihat bulan sangat buru-buru sekira tiga jenkal dari garis air samuda

Jurna benar-benar kaget, ini fenomena alam ataukah benar-benar nyata terjadi seperti ini dalam bebebrapa waktu. Pertanda, menuju purnama di beberapa malam berikutnya. Dia menatap sinis pada bulan sambil komat komit tidak jelas gerangan apa

"Kamu teralu buru-buru menyapaku lan, sore ini tidak seperti biasa. Aku sangat lelah" begitu cara jurna menyapa bulan sambil kerutkan dahi, dia katakan begitu saja pada bulan.

Jurna bersandar pada sandaran kursi bambu diantara bunga-bunga dan aroma senja yang dipaksa bulan cepat pulang sebelum malam.

Saat malam tiba, dia segera mandi, ganti baju dan buru-buru racik secangkir kopi spesial yang dia sebut nestapa. Menikmati kopi menurut jurna ibarat menyibak nestapa. Kesendirian memperkuat aroma kopi dan yakini bahwa kopi selalu saja membentur dia dengan bbnyak hal secara bersamaan

Lantai tiga rumahnya, area teras yang luas tidak ada satu pun pohon yang tumbuh. Potongan drum berjejer rapi memohon rumput untuk cepat lebat agar dia bisa berteduh. Di kota Batang, beberapa hari ini udaranya sangat panas, bukan hanya membunuh tumbuhan, panas menusuk sampai ke hati jurna

Seruputan kopi yang pertama, dia melihat dengan tenang ke arah bulan, kota dan hutan yang suram. Menyusuri rimba yang dingin dengan pikiran jurna, dia mengecam diri sesekali kita pikiran itu tiba-tiba berhenti ketika awan menutup mwajah bulan

Pembuka catatan pada buku kecil dia menulis satu kata lalu segera menutup kembali lembaran buku kecilnya dan membentur dengan sangat keras kakinya ke atas lantai beton di teras itu

"aku tidak percaya, malam ini tidak ubahnya jelmaan aroma suram yang menyusup sampai ke rongga hati. Bukankah lampu kota dan mata ini harus bersahabat?" pertanyaan dikepalanya sudah dia lupa bera banyak

Hatinya benar-benar rindu pada bulan, malam itu udara sesekali dingin dan hangat membuat dia memikirkan nestapa bulan. Gelap pertanda malam ini semakin nyata. Jurna memilih untuk lepaskan buku kecil dan mengambil tempat bersandar di dekat tangga

Sandaran dari bahan besi yang membosankan. Sudah berulang kali dia bersandar di tempat itu untuk melakukan ritual bercengkerama dengan bulan. Dan yang dia alami hal yang sama, tangga besi itu rasanya sangat panas untuk kulit belakang bdan gadis 16 tahun ini

Satu keran air di dekat belakang tangga, dengan satu ember dan gayung untuk menampung air siraman bunga di lantai tiga menjadi target matanya. Kepala  dia dilintasi ide baru. Dia meyiram tangga beberapa kali hingga benar-benar basah

Tanpa berpikir dua kali, tangga yang basah tidak bisa dipakai untuk bersandar. Dia tersadarkan dengan kasalahan dia. Jurna kembali dengan sangat cepat menuju tempat jemuran, tangannya menyambar satu lembar kaos oblong miliknya dan membersihkan air pada tangga

Duduklah jurna, menyudahi rindu pada malam dan rembulan. Merasa hutan dingin menyapa dengan tenang ditelinganya, bisikan-bisikan itu bukan hanya terdengar tapi benar-benar bikin terpedaya, di langit jurna seakan memandang jutaan kata yang harus dia ambil satu demi satu membayar rindu yang dia tahan

"mangapa nestapa ini harus aku peluk, aku benci kelap kelip lampu kota mati ini oh Batang, kota ku yang sepi" matanya sudah menjangkau bulan yang sedari tadi menunggu

Jurna memandang bulan dengan tatapan tajam pertanda keseriusan, antara secangkir kopi spesial yang dia buat, diantara aroma hutan di bukit, lampu kota yang menyebalkan tidak mengurangi asa di hatinya. Jurna masih saja berpikir tentang nestapa bulan

"tidakkah kau tahu, beberapa tahun sudah aku menyapamu bulan, lalu apa yang aku dapat saaat ini?" seperti orang yang sedang menggila, dihipnotis dengan kekaguman suatu keindahan, jurna berbicara sandiri sambil memeluk kedua tangan di dadanya

Dia tidak lagi kagum pada bulan, sejak setahun lalu. Di sekolah, masa-masa indah menurutnya, dia angat menikmati. Hingga suatu ketika seseorang yang dia kagumi, sukai ternyata lebih menyukai orang lain

Masalah itu membawa jurna sangat benci pada malam dan aroma bukit yang dingin. Malam-malam sebelumnya di tempat yang sama, dirinya memuji suasana indah kota Batang, bangga dengan aroma bukit yang menggairahkan rasanya

Dia suka dengan senja yang pulang di balik bukit, menurut jurna. Senja hanya kembali ke hutan belantara menunggu bulan. Imajinasi dan sejumlah tanya membersihkan kecemburuan dalam hatinya, dan malam-malam indah sebelumnya ternyata hampa

Tidak memberikan seutuhnya yang dijanjikan, di tempat yang sama dengan sekeras mungkin jurna berteriak histeris membuat beberapa orang di komplek menghampirnya. Jurna dengan satu juta alasan bahwa dirinya hanya sengaja

Di benaknya, jurna berbisik seraya menaruh emosi pada sang bulan "benar apa yang disampaikan malam pada kopi membuat aku dirundung benci, aku benar-benar benci malam ini"

Kembali jurna menulis dua kata di lembaran buku kecilnya. Menulis dengan kebencian yang sangat. Dia membenci beberapa hal yang membuat dia lupa kalau mimpi tidak akan bisa dicapai dengan terlalu percaya pada imajinasi

"Bulan dan Nito" dua kata dihalaman pembuka yang ditulisnya di buku kecilnya

Nito, seseorang remaja yang dia kenal di sekolah dan ternyata kekagumannya adalah kesalahan jurna sendiri. Nito memilih dekat dengan teman kelas jurna membuatnya sangat-sngat benci pada beberapa hal yang indah yang dia anggap keajaiban nyata

Senja bagi jurna merupakan keindahan ajaib, begitu juga pagi dengan pelangi indah atau malam di dekat bukit yang hutannya sangat suram dengan secangkir kopi membuat dirinya sudah memeluk kedamaian sepenuhnya di beberapa waktu lalu

Ternyata malam ini, jurna benar-benar rapuh, sangat benci pada dirinya sendiri. Kota batang yang suram dan bising tidak lagi menjadi semangat dia. Kopi spesial malam ini Cuma ilusi baginya, gelap adalah tanda rindu yang bagi dia hanya fatamorgana. Dari bibirnya yang kaku, jurnal kembali mengucapkan sesuatu yang menyeret dia pada kebencian dahsyat malam ini

"Bulan, aku sudah tidak rindu lagi, gelap dari sang malam dan rindu yang menderu di hati tidak meninggi dari amarah. Bulan, kota ini sepi dan kosong, sekosong harapan aku, aku benar-benar melihatmu mati di pangkuanku, benar-benar mematung diatas kota ini, oh nestapa.

Jurna berjalan memeluk buku kecil dan secangkir kopi menuruni tangga rumahnya, menuju sebuah meja menjadi tempat favorit dia menulis banyak hal. Dan dia menulis dengan tidak percaya diri tentang kisah yang kalian baca malam ini. Terimakasih, bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun