Saya dan ibu mengobrol tentang banyak hal, tentang saya yang tidak pulang, kerja saya bagaimana, sekolah saya kapan selesainya, secepatnya kalian pulang dan banyak lagi. Ibu menanyakan tentang kabar orang rumah di batam, tentang teman saya, tentang bagaimana sahur dan nuka puasa. Dan semua pertanyaan itu dijawab dengan hati-hati, sangat hati-hati.
"saya tidak ingin salah menjawab, membuat itu sakit hati" gumam saya sambil mendengar cerita indah yang dia ceritakan.
Oberolan kami berakhir, ibu mendapat jawaban yang sebenarnya terkaan saya kalau jawaban itu sangat tidak memuaskan, ibu tidak bisa menerima jawaban kalau saya tidak jadi pulang. Tapi seorang ibu, penyimpan rahasia terbaik di dunia yang saya kenal. Paling pandai menyimpan banyak hal, sedihnya, rasa rindunya dan semua hal hanya untuk terlihat bahwa dia baik-baik saja.
Saya menanyakan kabarnya tentang beberapa kali di kabarkan sama kakak kalau dirinya jatuh sakit, karena usia yang sudah tua membuat dia tidak lagi banyak melakukan aktivitas, sangat rentan dengan sakit. Berpikir tentang tidak jujurnya ibu tentang kesehatan dia membuat dada saya terasa lebih sesak, serasa ditimpuk sama beban berat dari atas kepala, sanga-sangat berat. Tapi, begitulah ibu, dia menyimpan semuanya, hanya memperlihatkan senyuman dia yang sudah keriput itu.
Dua hari kemudian, puasa ramadhan ke 12 harinya, kembali dering handphone saya berbunyi. Bangunkan saya yang masih nyenyak tidur jam 07.00 wib, padahal masih sangat pagi, tetapi didaerah saya maluku utara sudah 09.00 wit karena berbeda kurang lebih 2 jam dengan daerah barat (batam).
Saya memilih tidak menerima, itu telephone dari kakak, artinya ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan, atau di suruh telephone sama ibu. Saya lanjur tidur, dan tidak mengirim sepatah kata pun dengan pesan ke mereka. Saya tahu, menunggu adalah kerja terberat, tapi kesetiaan ibu saya menunggu jawaban jadi pulang dari saya bukanlah hal terberat, karena dibalik rindu yang menderu, ada doa yang sudah menyatu.
Sangat tidak mudah mengatakan kalu saya tidak jadi pulang, tidak jadi lebaran bersama dengannya dirumah, pesan yang ditulis berulang kali, di hapus pun berulang kali. Gagal mengirimnnya, berat hati mengirim pesan kepastian kalau saya tidak jadi pulang, seperti hendak mencabut akar pohon beringin yang berdiri tegak diatas batuan tebing.
Hari ke 13 puasa ramadhan, saya beranikan diri. Untuk seorang itu, saya selalu menjaga nada suara ketika ngobrol dengannya. Takutnya, sedikit nada tinggi membuat dia tersinggung dan banyak hal yang menjadi beban pikir dia diusia tuannya. Sejujurnya, saya membutuhkan waktu dan kekuatan hati yang cukup untuk meyakinkan pada ibu tentang tidak mudik, agar dia bisa menerima dan memahami keadaan sebenarnya.
Egois, menuruti permintaan ibu bukan hal terberat, lagi-lagi saya lebih mengutamakan kesehatan mereka. Sebab perjalan mudik, saya harus meleati beberapa provinsi/pulau, transit dan bersentuhan dengan orang-orang dan saya berpikir sangat tidak baik datang dengan membawa penyakit untuk mereka. Itu jawaban saya dalam hati, dan saya terlalu egois
"Nanti saya kabarkan lagi H-5 lebaran. Nilang sama ibu" pesan terakhir yang saya kirim via whatsapp ke kakak saya.
Pesan terakhir untuk puasa ramadhan ke 14 ini menjadi luka terbesar, saya sudah pasti tidak bisa pulang tahun ini. Puasa ramadhan setiap tahun dirantau, saya lewati tanpa seorang ibu, banyak orang ingin moment yang satu ini dihabiskan bersama keluarga dan tentunya untuk orang tua mereka terutama ibu.