Baca Sebelumnya di Seri I
[...]
Notif pesan ketiga dari kakak saya datang di puasa hari kelima, "Â Ibu tanya, kamu jadi pulang tidak? Kalau tidak jadi pulang, adikmu di jakarta suruh pulang saja dulu!"
Berbeda cerita dengan rekan-rekan lain, saya semenjak di rantau tidak terlalu banyak menyapa mereka. Bahkan sempat balik ke rumah hanya hitungan 2 jam. Bisa bayangkan pertemuan 2 jam tida bisa memenuhi rindu seorang ibu yang tertumpuk dari tahun ke tahun. Itu pasti.
Sempat saya berpikir untuk nekat mudik atau tetap bertahan sampai pandemi ini berlalu, awal 2020 saya pikir akah berakhir, ternyata hingga kini pandemi belum juga berakhir.
"saya tidak bisa, tapi nanti liat dulu sebelum H-5 lebaran, dan si bungsu tidak bisa pulang" jawaban saya untuk pesan ketiga dari kakak
Saya tahu, jawaban ini membuat mereka sakit hati, membuat mereka masih akan terus bertanya, kapan, kapan bisa, sudah bisa atau belum, harus bisa dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
"Saya tahu,
kalian tidak bisa menerima jawaban 'tidak pulang' tahun ini dari saya" gumam saya.
Meralat pikiran nekat untuk mudik di tahun ini. Bukan perkara tikatnya terlalu mahal. Saya lebih mementingkan kepentingan kesehatan orang-orang tecinta dirumah. Terutama kesehatan ibu dan ayah saya. Apalagi saya tinggal ditengah-tengah kota batam. Kota yang juga terpapar covid-19 ini. Menurung niat dengan memberikan jawaban tidak pulang sebenarnya terlalu berat bagi saya, tapi ini kaharusan.
Di puasa ramadhan hari ke 10, dering handphone saya berulangkali. Video call dari kakak yang saya lewati karena sedang menyetir di jalan raya.
"criiiiing....criiiing....cringggg..." panggilan video via whatsapp dari kakak, 4x kali saya sengaja biarkan panggilan itu terlewati begitu saja.
Dirumah, saya baru bisa menelpon mereka. Setelah istirahat, mandi sambil menunggu datang waktu berbuka puasa. Hidupkan laptop dan membaca beberapa artikel dengan tema ramadhan, kuliner, berita politik, sosial dll sambil memencet tobol panggil di whatsapp.
"tuuuuuut, hallo" sapaan kakak di seberang
Hanya sekali dering, langsung diangkat teleponnya. Suara nyaring dari seberang. Khas suara yang saya kenal. Suara kakak yang sedari jam 16.00 wit menunggu di rumah ibu agar saya bisa telepon dan ngobrol sama ibu.
Lagi-lagi, rasa rindu tertumpah, melimpah, memenuhi ruangan kamar saat mendengan kata hai dari sang pemilik rahim. Bahagia bercampur aduk dengan rasa sesal yang menumpuk disetiap pertanyaan-pertanyaan ibu saat lebaran datang, dari tahun ketahun. Ah, anak yang berdosa.
Saya, sangat rindu dengan mereka semua, terutama ibu dan ayah. Selama di rantau, di mana saja, setiap doa untuk mereka adalah tentang kesehatan dan kelapangan hati untuk saya yang tidak bisa beberapa kali dalam beberapa tahun ini lebaran bersama mereka. saya sangat rugi sebenarnya, menyesali hal ini adalah kesalah terbesar yang selama hidup ini saya lakukan.
"kabar kamu gimana?"Â kamu benar tidak jadi pulang lebaran dirumah? Kalo kamu tidak pulang, suruh si bungsu pulang!" tanya dan permintaan ibu dari seberang.
Si bungsu lagi, padahal dia kan baru balik dari rumah dua bulan lalu ke jakarta. Mengapa harus dia pulang, mengapa harus kami berdua, dan banyak sudah pertanyaan bersileweran dalam isi kepala saya.
"nanti liat dulu dekat lebaran idul fitri, kalo memungkinkan saya suruh dia (si bungsu) pulang" jawab saya
"terus kamu tidak pulang?" ibu mengulangi pertanyaannya lagi
Ibu saya, sangat bahagia ketika saya dan si bungsu dirumah. Anak tersayang, begitulah kenyataannya. Ketika kami berdua tidak lebaran bersama dengan mereka. Harapan-harapan yang mereka kumpul sudah menggunung dikemas dalam satu kota besar yang namanya penungguan.
Saya dan ibu mengobrol tentang banyak hal, tentang saya yang tidak pulang, kerja saya bagaimana, sekolah saya kapan selesainya, secepatnya kalian pulang dan banyak lagi. Ibu menanyakan tentang kabar orang rumah di batam, tentang teman saya, tentang bagaimana sahur dan nuka puasa. Dan semua pertanyaan itu dijawab dengan hati-hati, sangat hati-hati.
"saya tidak ingin salah menjawab, membuat itu sakit hati" gumam saya sambil mendengar cerita indah yang dia ceritakan.
Oberolan kami berakhir, ibu mendapat jawaban yang sebenarnya terkaan saya kalau jawaban itu sangat tidak memuaskan, ibu tidak bisa menerima jawaban kalau saya tidak jadi pulang. Tapi seorang ibu, penyimpan rahasia terbaik di dunia yang saya kenal. Paling pandai menyimpan banyak hal, sedihnya, rasa rindunya dan semua hal hanya untuk terlihat bahwa dia baik-baik saja.
Saya menanyakan kabarnya tentang beberapa kali di kabarkan sama kakak kalau dirinya jatuh sakit, karena usia yang sudah tua membuat dia tidak lagi banyak melakukan aktivitas, sangat rentan dengan sakit. Berpikir tentang tidak jujurnya ibu tentang kesehatan dia membuat dada saya terasa lebih sesak, serasa ditimpuk sama beban berat dari atas kepala, sanga-sangat berat. Tapi, begitulah ibu, dia menyimpan semuanya, hanya memperlihatkan senyuman dia yang sudah keriput itu.
Dua hari kemudian, puasa ramadhan ke 12 harinya, kembali dering handphone saya berbunyi. Bangunkan saya yang masih nyenyak tidur jam 07.00 wib, padahal masih sangat pagi, tetapi didaerah saya maluku utara sudah 09.00 wit karena berbeda kurang lebih 2 jam dengan daerah barat (batam).
Saya memilih tidak menerima, itu telephone dari kakak, artinya ada sesuatu hal yang ingin dia sampaikan, atau di suruh telephone sama ibu. Saya lanjur tidur, dan tidak mengirim sepatah kata pun dengan pesan ke mereka. Saya tahu, menunggu adalah kerja terberat, tapi kesetiaan ibu saya menunggu jawaban jadi pulang dari saya bukanlah hal terberat, karena dibalik rindu yang menderu, ada doa yang sudah menyatu.
Sangat tidak mudah mengatakan kalu saya tidak jadi pulang, tidak jadi lebaran bersama dengannya dirumah, pesan yang ditulis berulang kali, di hapus pun berulang kali. Gagal mengirimnnya, berat hati mengirim pesan kepastian kalau saya tidak jadi pulang, seperti hendak mencabut akar pohon beringin yang berdiri tegak diatas batuan tebing.
Hari ke 13 puasa ramadhan, saya beranikan diri. Untuk seorang itu, saya selalu menjaga nada suara ketika ngobrol dengannya. Takutnya, sedikit nada tinggi membuat dia tersinggung dan banyak hal yang menjadi beban pikir dia diusia tuannya. Sejujurnya, saya membutuhkan waktu dan kekuatan hati yang cukup untuk meyakinkan pada ibu tentang tidak mudik, agar dia bisa menerima dan memahami keadaan sebenarnya.
Egois, menuruti permintaan ibu bukan hal terberat, lagi-lagi saya lebih mengutamakan kesehatan mereka. Sebab perjalan mudik, saya harus meleati beberapa provinsi/pulau, transit dan bersentuhan dengan orang-orang dan saya berpikir sangat tidak baik datang dengan membawa penyakit untuk mereka. Itu jawaban saya dalam hati, dan saya terlalu egois
"Nanti saya kabarkan lagi H-5 lebaran. Nilang sama ibu" pesan terakhir yang saya kirim via whatsapp ke kakak saya.
Pesan terakhir untuk puasa ramadhan ke 14 ini menjadi luka terbesar, saya sudah pasti tidak bisa pulang tahun ini. Puasa ramadhan setiap tahun dirantau, saya lewati tanpa seorang ibu, banyak orang ingin moment yang satu ini dihabiskan bersama keluarga dan tentunya untuk orang tua mereka terutama ibu.
Sahur pertama bulan ramadhan, buka puasa pertama bulan ramadhan untuk yang bersama ibu mereka adalah hal yang sangat bahagia tentunya, saya juga menginginkan hal yang sama. Keinginan untuk hadir ditengah keluarga tercinta adalah keinginan utama bagi saya dan mungkin semua orang, saya sangat rindu. Semoga saja masa perjalan dirantau akan secepatnya berakhir, dan kembali menjalin kebersamaan dirumah sederhana yang isinya penuh kasi sayang. Rindu kalian semua, saya rindu sama Ibu.
Marhaban ya Ramdhan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H