Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

November dan Pelaut (Si Tua Sahabat Laut)

9 November 2017   19:47 Diperbarui: 9 November 2017   23:21 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di Samudera maha luas, harapan itu tidak bisa dibeli dengan hanya berbekal seadanya. Kita harus lebih giat lagi mendayun, mendayun perahu kita menuju laut lepas, menuju harapan yang sebenarnya. Pulang ketepian, bukan lagi membawa asa. Sebab pelaut tidak akan berhenti menghalau gelombang dari arah mana pun" Tutup penggalan kisah si pelaut yang masih ada dalam memori ingatanku. 

November tahun ini, perlahan-lahan menuju akhir, tanggal 10 aku masih disini bersama sisa cerita lelaki tua si sahabat laut, cerita dibulan November yang sama dua tahun lalu. 

Dengan mengenang kembali inci demi inci, perlahan lalu hilang diresap suara bising Kota Pahlawan. Iya, aku dan kenangan-kenangan dikota pahlawan menarik kembali beberapa harap yang di ceritakan si sahabat laut saat berpapasan dengannya dua tahun lalu dekat pantai tempat anak-anak bermain. 

Aku bersama secarik cerita usang dari pelaut ulung yang setia bercengkerama dengan aroma dingin samudera yang maha luas dilaut Maluku dan Maluku Utara. 

Sesekali berbisik, suara seakan tidak dapat didengar lagi. Melanjutkan kisah tentang ikan kecil yang liar, tentang gelombang utara yang mengguncang, tentang nasib anak-anak pelaut dari tahun ke tahun. 

Aku tidak akan pernah melupakan bayang wajahnya, pesona raut muka bak diminyaki, efek panas dan uap samudera yang memanggang kulit setelah kian lama melaut. 

Wajah, dengan rawut seperti ini tidak asing ditempat kami sebagai masyarakat pesisir. Aku ingat beberapa hal paling pilu dalam sejarah melaut yang di tuturkan oleh orang-orang tua yang ada di kampungku. 

Waktu itu, suatu sore aku tanpa menggunakan sandal. Berjalan dengan kaki telanjang menuju pantai karang. Pantai eksotis dikampungku. 

Karang-karang putih terbentang sepanjang pantai yang panjangnya kurang lebih 600m, pasir putih dan bibir pantai yang begitu indah. Seperti waktu masih kecil, tempat ini adalah rumah bagi kami anak-anak pesisir, anak-anak pelaut yang setiap hari tanpa sedikitpun lelah berlarian dan bermain dengan ombak yang membelah pantai. 

Dibawah pohon rindang, angin masih terlalu kencang. Daun pisang disepanjang pantai sudah seperti dicabik-cabik, angin November tahun itu adalah kelam bagi pelaut.  Sambil senyum pada si tua sahabat laut, aku bersalaman padanya. "Kakek, bagaimana kabarnya?"

Si tua sahabat laut dengan pendengarannya yang sudah tidak senormal anak-anak muda, kakek sambil mengulurkan tangannya bersalaman denganku. 

"Kapan Kau pulang nak? " Kata kakek tanpa menjawab apa yang aku tanyakan sebelumnya. 

Memaklumi usia tua adalah kewajaran menurut aku. Kita tidak bisa mengadili waktu, bahwa perasaan kita terlampau pada dua tahun lalu semenjak pergi dan tidak menyapa mereka, keadaan mereka masih seperti biasa. 

Kenyataan adalah jawaban, waktu tidak akan memutar kembali masa itu. Tahun-tahun terakhir ini, aku melihat perubahan pada sosok tua yang sangat tenang dan dingin sikapnya. 

Wajah kusam kehitam-hitaman, ada garis-garis seperti terbakar melintang dari dahi dengan kulit yang sudah mulai keriput. Masa mengambil bagian untuk mereka menuju usia tua. 

"Kakek masih melaut?" Tanyaku sambil melihat kedalam matanya yang sangat tenang. 

Si Tua Sahabat laut ini, stiap hari semenjak dirinya tidak lagi melaut seperti biasanya. Sudah empat tahun lamanya si tua tidak lagi melakukan aktivitas turun temurun itu. 

Moyang kami adalah pelaut ulung, pelaut tangguh yang siap dan bijak membelah samudera saat terbit fajar dan kembali kebibir pantai pada waktu senja dipanggil malam kembali pada maha gelap. 

"Kaket sudah tidak melaut lagi, sudah empat tahun ini. Ingin melaut dengan keadaan seperti ini sudah tidak di izinkan anak-anak dan cucu kakek" Jawab kakek sambil membuang pandangannya ke arah samudera yang bergelombang sore itu. 

Suara itu, masih sangat akrab ditelingaku. Saat si Tua sahabat laut memgangkat berbicara dalam bahasa paling bijak tentang laut juga perahu. Pandamgannya tidak sedikitpun berpaling dari luasnya samudera, buih-buih kecil terlihat menghiasi birunya air laut

"Mereka sudah lapuk ditepian, dimakan usia dan kemauan. Perahu-perahu itu berbaris mati semenjak ikan tidak lagi bersahabat dengan tukan kebun" Katanya sambil perlahan menyeruput minuman khasnya, kopi serbuk tampa gula dalam gelas alumunium yang dibawanya dari rumah. 

Satu dua kata, aku berusaha melerai cerita demi mendapat makna, si tua dengan lincah menuturkan kisah-kisah saat masih muda, bersama benerapa pelaut mereka arungi samudera bersama, kembali ke pantai dengan hasil tangkap yang memuaskan dan banyak lagi kisah sore itu keluar dari bibir keringnya yang hitam. 

Tak lupa sebatang tembakau gulung berputar dari ujung jari kiri ke jari kanan. Si Tua Sahabat laut, semenkak empat tahun tidak lagi melaut. Kerjanya hanya memantau suasana samudera. 

Membaca angin, menerjemahkan gelombang, menerka kemana burung-burung akan pulang dan kerja lainnya yang masih akrab dengan kerja pelaut. Lalu melanjutkan ceritanya. 

Tembakau gukung dibibirnya si tua teruskan kisah "Saban hari, waktu melaut seperti biasa. Nobember tidak begitu seindah tahun ini, waktu itu perahu memecahkan samudera. Haluan menuju laut lepas ufuk timur, November dengan tegas berikan hadiah serupa ulang tahun para pelaut. Ombak dan topan menghadang layar, buih-buih kecil berlomba melompati badan perahu"

November tahun ini meski tidak seriuh tahun sebelumnya. Kisah ini seakan pilu. Kenangi nasib para pelaut ulung. Nasib kelauarga ada dilaut lepas, nasib kelarga ada didasar samudera. 

Oh nasib, senyum pada bibir biru kedinginan melambaikan kepasrahan. Nafasnya semakin pelan dan tenang mendambakan kembali di bibir pantai yang mungil adalah harapan.

Berbekal seonggak harapan dan tangis anak-anak, mendayun menuju terbenamnya matahri, perahu itu bukan lagi melaju, sejenak berhenti dalam deburan gelombang. 

Kembali kebibir pantau sebelum membawa hasil bukan pilihan. Dirumah, melaut adalah harapan satu-satunya meneruskan hidup. 

Hasil tangkap dari pelaut, bapak-bapak, dari si tua sahabat laut ini dipasarkan dikampung. Sebagai orang pesisir, nasi tanpa ikan namanya bukan makanan. Buat kami anak-anak pelaut, makan ikan sudah seperti keharusan. 

Setiap hari, makan ikan bukan lagi cerita eforia atau sekedar acara basa-basi. Biasanya hidup dengan kebiasaan seperti ini sedikit membuat masalah menjadi rumit. Ketika anak-anak pesisir keluar dengan dalih menuntut ilmu dan ssbagainya di kota besar. Masalah utama adalah rasa, dan ikan menjadi perkara yang tidak habis-habisnya dikeluhkan. 

"Pernah, desember dengan suasana laut yang kacau. Angin dan gelombang menjadi hidangan. Sebab karena makan fan nafkah hidup hanya bisa didapat dengan cara melau. Mereka dengan terpaksa membelah samudera bergelombang" Lanjut si Tua

Prinsip hidup sederhana dan kekuatan dalam melakukan kerja keras merupakan pegangan bagi mereka, bagi kami masyarakat pesisir. 

Dilaut, dingin, basah, gelombang, angin samudera, tanpa kompas sebagai penunjuk arah. Orang-orang tua kami terbiasa dengan cara tradisional. Menerka atau meramal kondisi laut menggunakan bintang dan arah angin. 

Bukan sebagi ilmu pengetahuan terbaru, ini cara paling tradisional yang di pakai seluruh Pelaut di kampung aku. Sebab cara ini secara alami, turun temurun dari generasi satu kegenerasi berikut. 

Matahari menuju bibir samudera, garis laut dan matahari tinggal sejengkal. Angin masih seperti biasa, beberapa pelaut dengan layar mungil dari arah yang masih jauh, kembali dengan membawa harapan yang terbeli. 

"Kek, hari sudah mulai gelap. Kita harus kembali kerumah" Kataku, lalu berdiri dan memaksa si kakek harus beranjak dari tempat duduknya. 

Aku masih tertegun, terbawa suasana, dikamar sebelah masih terdengar suara kipas angin menggetarkan atap-atap kamar dari bahan tripleks. Dibelakang aku, radio merek Digitek masik teriak perkarakan kemacetan kota pahlawan sebab guyuran hujan.

Di tanganku, secarik kisah dari si tua sahabat laut, aku lupa dengan kopi yang sudah diseduh. Iya, November ini adalah kelam bagi pelaut. Di kota pahlawan, hujan pada November tahun ini adalah kenangan. 

Kenangan si tua teman laut, kenangan anak-anak nelayan, kenangan keluarga pelaut, kenangan bibir Pantai eksotis dan maha luasnya samudera. Semuanya akan kembali kepada yang Hak. 

Jakarta, 09/11/17

Anak Pelaut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun