Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

November dan Pelaut (Si Tua Sahabat Laut)

9 November 2017   19:47 Diperbarui: 9 November 2017   23:21 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lupa sebatang tembakau gulung berputar dari ujung jari kiri ke jari kanan. Si Tua Sahabat laut, semenkak empat tahun tidak lagi melaut. Kerjanya hanya memantau suasana samudera. 

Membaca angin, menerjemahkan gelombang, menerka kemana burung-burung akan pulang dan kerja lainnya yang masih akrab dengan kerja pelaut. Lalu melanjutkan ceritanya. 

Tembakau gukung dibibirnya si tua teruskan kisah "Saban hari, waktu melaut seperti biasa. Nobember tidak begitu seindah tahun ini, waktu itu perahu memecahkan samudera. Haluan menuju laut lepas ufuk timur, November dengan tegas berikan hadiah serupa ulang tahun para pelaut. Ombak dan topan menghadang layar, buih-buih kecil berlomba melompati badan perahu"

November tahun ini meski tidak seriuh tahun sebelumnya. Kisah ini seakan pilu. Kenangi nasib para pelaut ulung. Nasib kelauarga ada dilaut lepas, nasib kelarga ada didasar samudera. 

Oh nasib, senyum pada bibir biru kedinginan melambaikan kepasrahan. Nafasnya semakin pelan dan tenang mendambakan kembali di bibir pantai yang mungil adalah harapan.

Berbekal seonggak harapan dan tangis anak-anak, mendayun menuju terbenamnya matahri, perahu itu bukan lagi melaju, sejenak berhenti dalam deburan gelombang. 

Kembali kebibir pantau sebelum membawa hasil bukan pilihan. Dirumah, melaut adalah harapan satu-satunya meneruskan hidup. 

Hasil tangkap dari pelaut, bapak-bapak, dari si tua sahabat laut ini dipasarkan dikampung. Sebagai orang pesisir, nasi tanpa ikan namanya bukan makanan. Buat kami anak-anak pelaut, makan ikan sudah seperti keharusan. 

Setiap hari, makan ikan bukan lagi cerita eforia atau sekedar acara basa-basi. Biasanya hidup dengan kebiasaan seperti ini sedikit membuat masalah menjadi rumit. Ketika anak-anak pesisir keluar dengan dalih menuntut ilmu dan ssbagainya di kota besar. Masalah utama adalah rasa, dan ikan menjadi perkara yang tidak habis-habisnya dikeluhkan. 

"Pernah, desember dengan suasana laut yang kacau. Angin dan gelombang menjadi hidangan. Sebab karena makan fan nafkah hidup hanya bisa didapat dengan cara melau. Mereka dengan terpaksa membelah samudera bergelombang" Lanjut si Tua

Prinsip hidup sederhana dan kekuatan dalam melakukan kerja keras merupakan pegangan bagi mereka, bagi kami masyarakat pesisir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun