Mohon tunggu...
Hr. Hairil
Hr. Hairil Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu kebutuhan, bukan hiburan.

Institut Tinta Manuru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

November dan Pelaut (Si Tua Sahabat Laut)

9 November 2017   19:47 Diperbarui: 9 November 2017   23:21 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan Kau pulang nak? " Kata kakek tanpa menjawab apa yang aku tanyakan sebelumnya. 

Memaklumi usia tua adalah kewajaran menurut aku. Kita tidak bisa mengadili waktu, bahwa perasaan kita terlampau pada dua tahun lalu semenjak pergi dan tidak menyapa mereka, keadaan mereka masih seperti biasa. 

Kenyataan adalah jawaban, waktu tidak akan memutar kembali masa itu. Tahun-tahun terakhir ini, aku melihat perubahan pada sosok tua yang sangat tenang dan dingin sikapnya. 

Wajah kusam kehitam-hitaman, ada garis-garis seperti terbakar melintang dari dahi dengan kulit yang sudah mulai keriput. Masa mengambil bagian untuk mereka menuju usia tua. 

"Kakek masih melaut?" Tanyaku sambil melihat kedalam matanya yang sangat tenang. 

Si Tua Sahabat laut ini, stiap hari semenjak dirinya tidak lagi melaut seperti biasanya. Sudah empat tahun lamanya si tua tidak lagi melakukan aktivitas turun temurun itu. 

Moyang kami adalah pelaut ulung, pelaut tangguh yang siap dan bijak membelah samudera saat terbit fajar dan kembali kebibir pantai pada waktu senja dipanggil malam kembali pada maha gelap. 

"Kaket sudah tidak melaut lagi, sudah empat tahun ini. Ingin melaut dengan keadaan seperti ini sudah tidak di izinkan anak-anak dan cucu kakek" Jawab kakek sambil membuang pandangannya ke arah samudera yang bergelombang sore itu. 

Suara itu, masih sangat akrab ditelingaku. Saat si Tua sahabat laut memgangkat berbicara dalam bahasa paling bijak tentang laut juga perahu. Pandamgannya tidak sedikitpun berpaling dari luasnya samudera, buih-buih kecil terlihat menghiasi birunya air laut

"Mereka sudah lapuk ditepian, dimakan usia dan kemauan. Perahu-perahu itu berbaris mati semenjak ikan tidak lagi bersahabat dengan tukan kebun" Katanya sambil perlahan menyeruput minuman khasnya, kopi serbuk tampa gula dalam gelas alumunium yang dibawanya dari rumah. 

Satu dua kata, aku berusaha melerai cerita demi mendapat makna, si tua dengan lincah menuturkan kisah-kisah saat masih muda, bersama benerapa pelaut mereka arungi samudera bersama, kembali ke pantai dengan hasil tangkap yang memuaskan dan banyak lagi kisah sore itu keluar dari bibir keringnya yang hitam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun