Mohon tunggu...
Sadana Felix
Sadana Felix Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa program studi Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gaya Rambut: Simbol Perlawanan Anak Muda atau Sebatas Praktik Konsumsi?

5 Juli 2021   10:56 Diperbarui: 5 Juli 2021   11:04 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

2020 dan kini 2021, setahun (lebih) sudah kita berada dalam cengkraman pandemi Covid-19. Menurut situs, www.alodokter.com, virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan, dan tak hanya menyebabkan gangguan sistem pernapasan ringan, tetapi juga infeksi paru-paru yang berat, hingga menyebabkan kematian. Seperti yang kita ketahui virus ini bermula di Wuhan, Tiongkok, Desember 2019 lalu, yang kemudian menjadi sebuah pandemi dan mewabah hampir di seluruh negara di dunia. 

Dengan karakteristik transmisi atau cara penularan yang cepat dan beragam seperti melalui kontak, droplet atau percikan, melalui udara (airbone), hingga melalui darah (baik ibu ke anak, juga binatang ke manusia), virus ini adalah penebar ancaman yang sudah seharusnya diwaspadai oleh tiap individu tanpa terkecuali. 

Di Indonesia sendiri sampai saat ini total kasus Covid-19 telah mencapai angka 2 juta kasus, dengan total jumlah korban yang meninggal dunia  50.000 orang. Pemerintah Indonesia bukan tanpa upaya, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahun 2020 lalu, membentuk gugus tugas, satgas, hingga komite penanganan Covid-19, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baik mikro dan PPKM darurat yang akan bergulir 3 Juli esok, vaksinasi masal, dan tak luput pemberian bantuan sosial (bansos) yang disunat oleh pejabat korup. 

Melalui beragam istilah pembatasan tersebut, dampak yang dirasakan penulis sebagai seorang pelajar sejak Maret 2020 lalu ialah suasana bermain dan belajar yang tak lagi sama. 

Setahun sudah siswa dan siswi mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak hingga SMA, dan juga mahasiswa belajar dari rumah. Proses belajar mengajar beralih dari pertemuan tatap muka menjadi daring (online), papan tulis berganti jadi layar penuh aplikasi, dan ruang kelas yang ramai gelak tawa, kekonyolan, dan celotehan berganti jadi suasana kamar yang sepi, hanya berlatarkan playlist musik sebagai soundtrack imajiner penunjang kerinduan dan kesendirian. 

Bagi penulis, aplikasi zoom, classroom, gmeet, ataupun aplikasi penunjang belajar daring lainnya tak akan pernah bisa menggantikan kualitas interaksi di dalam pertemuan dan diskusi tatap muka antara guru dengan murid, maupun antara murid dengan teman sebayanya. 

Permasalahan juga datang dari kepemilikan sarana dan prasarana seperti handphone, komputer atau laptop, serta jaringan internet atau wi-fi yang belum tentu dimiliki oleh semua anak atau pelajar, juga tak luput gangguan dari dalam maupun luar dirinya, seperti kejenuhan maupun situasi rumah yang tak kondusif. Tak hanya pada peserta didik, pembelajaran daring juga berdampak pada guru dan orang tua. 

Bak kembali duduk di bangku sekolah, guru pun harus kembali belajar menggunakan aplikasi penunjang pembelajaran, dan menyusun strategi agar pembelajaran berjalan inovatif dan efektif untuk siswa. 

Ketika berbicara tentang orang tua, peran gender yang bias terhadap perempuan, dalam hal ini kaum ibu, yang dikonstruksi sebagai penanggung jawab pekerjaan domestik seperti mengurus rumah, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya kini bertambah dengan pengasuhan dan pendampingan anak selama belajar dari rumah. Beban itu makin berat jika ia adalah orang tua tunggal.

Rambut sebagai Pemicu Perlawanan

Barangkali, salah satu kebebasan yang dimiliki seorang pelajar kala pandemi seperti ini ialah kebebasan dari operasi kekuasaan disipliner sekolah. Salah satunya, terbebas dari razia rambut. 

Di rumah, pelajar tak akan menemui guru killer bersenjatakan gunting di tangan dan bergerilya mulai dari gerbang, koridor, hingga kelas. Pelajar laki-laki dapat dengan bebas memanjangkan rambutnya dan pelajar perempuan bebas mewarnai rambut hingga kuku manis di puncak jarinya. Singkatnya mereka dapat mengekspresikan gaya rambut apapun yang mereka inginkan. Gondrong merupakan istilah ataupun sapaan yang akrab ditelinga laki-laki berambut panjang. 

Tetapi, diskriminasi terhadap kegondrongan atau gaya rambut tersebut bukanlah hal baru. Rambut gondrong telah dikonstruksi dan dimaknai sebagai bentuk pemberontakan, urak-urakan, kriminil, serta stigma negatif lainnya jauh sebelum reformasi ‘98 dan terpatri hingga hari ini dalam benak sebagian masyarakat. Indoktrinasi ini berlangsung di era Orde Baru. 

Dalam buku berjudul Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an karya Aria Wiratma Yudhistira, dijelaskan bagaimana gaya rambut menjadi ancaman bagi penguasa kala itu serta pemicu keretakan hubungan antara sipil dengan militer. Kala itu budaya Hippies tengah merebak di kalangan anak muda. 

Hippies sendiri adalah salah satu gerakan counter culture yang berkembang di Amerika Serikat medio 1960-an. Budaya ini menjunjung tinggi kebebasan individu, dan pelaku budayanya identik dengan rambut panjang, perilaku seks bebas, penggunaan narkotika dan obat bius, juga mengenakan busana longgar nan mencolok. 

Gerakan ini melawan ambisi-ambisi menaklukkan, perang, dan menang. Oleh karenanya, budaya Hippies dianggap sebagai gerakan ‘kiri baru’, dan anggapan tersebut dinilai sebagai ancaman dan potensi berbahaya bagi rezim Orde Baru. 

Padahal menurut penuturan Yudisthira, anak-anak muda Indonesia kala itu hanya meniru penampilan luar tanpa meniru nilai-nilai ideologis yang melekat pada gaya hidup budaya Hippies. Artinya, anak-anak muda kala itu hanya bermain-main di bagian kulit atau permukaan budaya Hippies saja, atau dikategorikan sebagai Plastic Hippies. 

Kemudian akibat framing media cetak kala itu, yang mengkonstruksi citra rambut gondrong dengan bad news, muncullah ketakutan-ketakutan orang tua akan masa depan anak mereka yang dinilai terpengaruh budaya barat yang bebas. 

Alhasil penjegalan terhadap rambut gondrong dilakukan oleh penguasa. Pemerintah menerapkan kebijakan dilarang gondrong, dan razia yang masif dengan menurunkan aparat bersenjatakan gunting. Hingga puncaknya, terjadi bentrokan pada September 1970 di Bandung, antara taruna AKABRI dengan mahasiswa ITB yang menimbulkan korban dari pihak mahasiswa. Kecaman keras datang dari mahasiswa, dari wacana rambut lalu menyerang isu-isu lain. 

Mengutip Bennet (2000: 363), perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif dengan kekuasaan kultural yang diadaptasi oleh kekuatan sosial subordinat dalam situasi di mana bentuk-bentuk kekuasaan kultural tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas-jelas dialami sebagai suatu yang bersifat eksternal dan sebagai ‘liyan’. 

Artinya, perlawanan muncul dari hubungan kekuasaan dan subordinasi, karena kebudayaan yang mendominasi berusaha memaksakan dirinya pada kebudayaan subordinat dengan cara yang semena-mena. Perlawanan hadir ketika penguasa atau pemerintah, sebagai minoritas dominan, menilai anak muda sebagai ancaman atas norma, regulasi, dan budaya yang ada, tetapi di sisi lain, mereka dan orang tua membebani anak muda dengan citra utopis masa depan.

Gaya Rambut Hari Ini

Hari ini mungkin anak muda tak lagi menemui tindakan represif aparat di jalanan perkara gaya rambut. Tetapi kekuasaan, seperti kata Foucault, tersebar, berada di mana-mana, dan diproduksi dalam setiap momen dan tiap relasi sosial. 

Bentuk pengetahuan dan wacana rambut era Orde Baru masih diwariskan hingga hari ini melalui stereotip orang tua dan kekuasaan disipliner insitusi pendidikan. Sepertinya cukup dengan laki-laki, mari bergeser ke perempuan cantik. Melalui iklan shampoo, mitos kecantikan tercipta. 

Perempuan dewasa yang menggerai rambut panjang, lurus, dan hitam berkilau-nya digambarkan sebagai perempuan ideal, mudah mendapatkan atau didambakan laki-laki. Padahal sih, gagitu-gitu amat. Bagi penulis, standar kecantikan semata-mata dibentuk oleh kapitalisme dan mata laki-laki. Perkembangan lain yang menarik bagi penulis adalah, rambut warna-warni yang dapat dengan mudah dijumpai di kalangan anak muda. Tak hanya dikalangan perempuan, tetapi juga laki-laki. 

Hebdige (2020: 341) menyatakan bahwa anak muda telah terbentuk di dalam dan diberbagai diskursus tentang ‘gangguan’ dan/atau ‘senang-senang’. Dikatakan gangguan ialah, anak muda sebagai gangguan, atau anak muda yang sedang mengalami gangguan, contohnya geng motor, hooligan sepak bola, dan lainnya, yang diasosiasikan sebagai kejahatan, kekerasan, dan penyimpangan. 

Sementara senang-senang ialah anak muda direpresentasikan sebagai konsumen yang menyenangkan dari fashion, gaya, dan berbagai aktivitas hiburan. Anak muda digambarkan sebagai orang yang suka pergi ke pesta, bergaya dengan fashion, dan di atas semua itu adalah konsumen remaja. Paul Willis (2000:361-362), menyatakan bahwa anak muda memiliki suatu relasi yang aktif, kreatif, dan produktif secara simbolis dengan komoditas yang membentuk budaya anak muda, dan kreativitas simboliknya didasari pada kehidupan informal sehari-hari mereka, dan seluruh dunia yang mereka lihat diisi dengan makna. 

Relasi yang hari-hari ini diperkuat oleh internet dan sosial media, memudahkan anak muda mencari referensi baru, dalam hal ini gaya rambut. Akan tetapi Willis melanjutkan, bahwa kapitalisme dan ekspansi konsumerismelah yang menyediakan pertambahan suplai sumber daya simbolis bagi karya anak muda. Kapitalisme bukan hanya menjadi tempat pelarian, tetapi juga menyediakan sarana dan media, dan konsumerisme bukan hanya proses pasif, tetapi juga aktif. 

Contohnya, produk-produk perawatan pun pewarnaan rambut, gaya rambut seorang figur atau tokoh dalam film pop, pemilihan barber shop diatas pangkas rambut sumatra atau asgar meski harus merogoh kocek lebih dalam bagi laki-laki, dan lainnya. 

Goalsnya, ingin tampil beda dan menonjol. Sebagai penutup, mengutip Angela McRobbie (1996: 153), di mana menurutnya budaya anak muda yang sarat perlawanan, dan budaya pop yang mencirikan budaya konsumen, dalam realitasnya, keduanya senantiasa berpadu, dan terlibat dalam sebuah hubungan yang berlanjut. 

Pada akhirnya, menggunakan rambut sebagai simbol perlawanan sah-sah saja, tetapi memisahkannya dari kapitalisme dan praktik konsumsimu itu mustahil. Jika benar melawan, perlawananmu terjadi & berlangsung dalam tubuh raksasa, kawan.

Daftar Pustaka

Alodokter. 2021.Alodokter. Diakses pada 3 Juli 2021

Athiyyah, A. A. 2014. Wacana Rambut Gondrong dan Instabilitas Nasional. Indoprogress. Diakses pada 3 Juli 2021.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. Nurhadi. 2004. Kreasi Wacana: Bantul

Storey, John. 1996. Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods. Rahmawati, Layli. 2006. Jalasutra: Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun