Mereka ini mungkin ahli dalam penggunaan kekerasan (Militer dan Polisi politik) atau mungkin pula spesialis dalam penggunaan paksaan tanpa kekerasan (Pejabat politik yang tak bertanggung jawab), berikut pengabdian oknum kaum "intelektual" berkarakter Haman.Â
Pinsdorf (1991) berpendapat bahwa sifat komunikasi krisis sering mencerminkan budaya entitas sosial dan eksternal suatu organisasi. Dalam Mencari Sukma Indonesia, kolomnis kawakan Jacob Sumahardjo mendiskripsikan pejabat-politisi seperti ini dengan sebutan The ugly Politican.Â
Pejabat politik atau pembantu presiden yang kebijakannya sering dianulir oleh presiden karena dianggap tidak populis akibat tekanan publik, dan anehnya, bahkan keputusan menteri yang tidak sesuai dengan kehendak presiden apalagi sensitif rakyat kecil.
Semua kefatalan ini terkonfirmasi melalui diterbitkannya kebijakan-kebijakan dari pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif secara kompak yang justru berpotensi menimbulkan kekisruhan sosial baru yang dampaknya bahkan akan lebih berbahaya dari pandemik covid-19 itu sendiri, karena taruhannya adalah kondusifitas sosial dan demokrasi bangsa.Â
Termutakhir, Kapolri melalui Kabareskrim Listyo Sigit menerbitkan aturan larangan penghinaan Presiden dan Pejabat saat corona. Sangat bisa ditebak siapa elit yang berada di balik ketentuan payah ini.
Ketika Publik tengah dihantui ancaman wabah berikut beratnya beban pemenuhan kebutuhan hidupnya selama wabah, dikelabui oleh aktivitas politik opportunis elit politik dan pejabat negara yang tidak berguna.Â
Rancangan Undang-Undang kontraversial Omnibus Law Cipta kerja diam-diam kini sudah mulai diproses oleh Badan Legislatif (Baleg) setelah DPR memutuskan untuk mulai membahas RUU tersebut dalam pembukaan masa sidang II kemarin.Â
Hal ini tentu mengundang kemaran publik, khususnya kaumburuh dan mahasiswa. Sebuah mega RUU yang sejak dalam wacananya saja sudah banyak menimbulkan pertanyaan ini dikebut pembahasannya oleh para wakil rakyat yang mayoritas lebih merupakan jongos elit dan oligarki.Â
Di saat rakyat sedang dirundung keterbatasan akses kontrol terhadapnya. Serial pengelabuan politik yang tepat, tapi buruh dan mahasiswa Indonesia tidak lantas menyerah dalam upaya perlawanan terhadap RUUyang merupakan legitimasi tirani ini.Â
Sungguh merupakan ketidakpatutan situasional (situational improperieties) yang dilakukan secara sistematis di tengah ketidakpastian sosial-ekonomi bangsa.
Termasyur, adalah tentang kebijakan darurat sipil yang kemudian direvisi menjadi istilah Pebatasan sosial Berskala Besar (PSBB). "Sejak awal Presiden Joko Widodo tak akan memberlakukan kebijakan darurat sipil dalam memutus mata rantai penularan virus corona.Â