Kehidupan penduduk bumi hari-hari ini terpantau nyaris lumpuh.mesin ekonomi global mesti tersendat-sendat untuk memastikan proses transaksi ekonomi yang secara langsung berpengaruh pada kebutuhan dasar sosial tidak tergejolak.Â
Amerika Serikat yang meiupakan negara super power, kini harus terkapar oleh catata nsebagai negara dengan angka kematian akibat wabah Covid-19.Â
Pesat dan canggihnya tekhnoogi sistem informasi dan persenjataan AS tidak serta merta menjadikannya luput dari paparan pandemik paling menghebohkan di abad ini.Â
Di luar dugaan, virus yang awal mula kemunculannya di Kota Wuhan China ini, justru menimbulkan kerusakan serius di belahan benua yang berbeda.Â
Entah petaka apalagi apa yang dirasakan oleh negara dengan presiden bernama Donald Trump ini, namun kecurigaan publik dan analis intelijen justru mengarah pada agenda simulasi skala besar Event 201 oleh Jhons Hopkins Center for Health Security bersama dengan World Economic Forum dan Bill & Melinda Gates Foundation pada Oktober 2019.Â
"Tidak ada yang dilakukan, krisis itu kemudian diperburuk oleh sistem politik yang tidak memperhatikan informasi yang mereka ketahui, ungkap profesor linguistik Institut Teknologi Massachusetts Amerika, Avram Naom Chomsky. Ungkapan Chomsky tentu saja tidak hanya menjadi kritik bagi presien AS, namun juga bagi seluruh penguasa politik di seluruh dunia yang negerinya hari ini signifikan terpapar pandemik Covid-19, termasuk Indonesia.
Per hari ini, 08 April 2020, data korban covid-19 Indonesia terkonfirmasi di angka 2,738 kasus, meningkat 247 kasus dari hari sebelumnya, dan yang dinyatakan meninggal dunia mencapai 221 jiwa.Â
Capaian mengerikan ini tentu sangat kontras dengan penyataan presiden Jokowi beserta jajaran pembantunya di medio Januari hingga Februaru 2020 yang lalu.Â
Dan tentu saja, Etika komunikasi publik yang memalukan ini menjadi awal dari gejala arogansi rezim yang payah yang menyebabkan segalanya menjadi runyam.Â
Tapi demikianlah mekanisme kekuasaan ungkap Laswell, dia selalu berusaha meyakinkan publik (persuasion) dan untuk memanipilasi (manipulation) di tengah krisis sosisal dan ekonomi.Â
Tetapi jika suatu masyarakat secara luas terus menerus mengalami suatu krisis, maka spesialis-spesialis dalam persuasi akan tergeser oleh ahli-ahli yang memiilki kecakapan memaksa (coercion).Â
Mereka ini mungkin ahli dalam penggunaan kekerasan (Militer dan Polisi politik) atau mungkin pula spesialis dalam penggunaan paksaan tanpa kekerasan (Pejabat politik yang tak bertanggung jawab), berikut pengabdian oknum kaum "intelektual" berkarakter Haman.Â
Pinsdorf (1991) berpendapat bahwa sifat komunikasi krisis sering mencerminkan budaya entitas sosial dan eksternal suatu organisasi. Dalam Mencari Sukma Indonesia, kolomnis kawakan Jacob Sumahardjo mendiskripsikan pejabat-politisi seperti ini dengan sebutan The ugly Politican.Â
Pejabat politik atau pembantu presiden yang kebijakannya sering dianulir oleh presiden karena dianggap tidak populis akibat tekanan publik, dan anehnya, bahkan keputusan menteri yang tidak sesuai dengan kehendak presiden apalagi sensitif rakyat kecil.
Semua kefatalan ini terkonfirmasi melalui diterbitkannya kebijakan-kebijakan dari pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif secara kompak yang justru berpotensi menimbulkan kekisruhan sosial baru yang dampaknya bahkan akan lebih berbahaya dari pandemik covid-19 itu sendiri, karena taruhannya adalah kondusifitas sosial dan demokrasi bangsa.Â
Termutakhir, Kapolri melalui Kabareskrim Listyo Sigit menerbitkan aturan larangan penghinaan Presiden dan Pejabat saat corona. Sangat bisa ditebak siapa elit yang berada di balik ketentuan payah ini.
Ketika Publik tengah dihantui ancaman wabah berikut beratnya beban pemenuhan kebutuhan hidupnya selama wabah, dikelabui oleh aktivitas politik opportunis elit politik dan pejabat negara yang tidak berguna.Â
Rancangan Undang-Undang kontraversial Omnibus Law Cipta kerja diam-diam kini sudah mulai diproses oleh Badan Legislatif (Baleg) setelah DPR memutuskan untuk mulai membahas RUU tersebut dalam pembukaan masa sidang II kemarin.Â
Hal ini tentu mengundang kemaran publik, khususnya kaumburuh dan mahasiswa. Sebuah mega RUU yang sejak dalam wacananya saja sudah banyak menimbulkan pertanyaan ini dikebut pembahasannya oleh para wakil rakyat yang mayoritas lebih merupakan jongos elit dan oligarki.Â
Di saat rakyat sedang dirundung keterbatasan akses kontrol terhadapnya. Serial pengelabuan politik yang tepat, tapi buruh dan mahasiswa Indonesia tidak lantas menyerah dalam upaya perlawanan terhadap RUUyang merupakan legitimasi tirani ini.Â
Sungguh merupakan ketidakpatutan situasional (situational improperieties) yang dilakukan secara sistematis di tengah ketidakpastian sosial-ekonomi bangsa.
Termasyur, adalah tentang kebijakan darurat sipil yang kemudian direvisi menjadi istilah Pebatasan sosial Berskala Besar (PSBB). "Sejak awal Presiden Joko Widodo tak akan memberlakukan kebijakan darurat sipil dalam memutus mata rantai penularan virus corona.Â
Karenanya, status darurat sipil hanya menjadi pilihan terakhir dan baru diterapkan ketika terjadi kekacauan dan pembangkangan publik secara masif setelah di saat pelaksanaan PSBB", demikian ungkap plt Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Bidang Komunikasi Politik Juri Ardiantono setelah wacana yang dihembuskan langsung oleh presiden Jokowi ini menuai kritikan tajam dari para ahli hukum dan masyarakat sipil.Â
Keberadaan seseorang, bagaimana dia berpikir dan bertingkah laku akan dipengaruhi oleh keanggotaannya dalam suatu kelompok, jelas George Simmel dalam "conflict and the Web Of Group Affiliantions".Â
Sayangnya presiden dan jajaran pembantunya bahkan tidak mampu mendefinisikan secara tepat dan tetap tentang terminologi pandemik covid-19 yang terlanjur meluas, karena sejak awal para abdi dalem istana tidak benar-benar serius membangun kesamaan pikiran dan narasi komunikasi publik terhadap problem kemanusiaan ini.Â
Sehingga tidak jarang banyak pihak yang menilai bahwa, krisis kepemimpinan adalah awal dari setiap lahirnya pola pikir dan pola laku presiden beserta para pembisik dan pembantunya.Â
Sampai rezim ini merasa krisis kemanusiaan ini sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaannya, dan dengan penuh kepanikan, presiden harus mengancam psikologi publik dengan kosa kata yang keliru yang serba ekses.
Maka sulit rasanya jika publik berharap lebih agar pemerintah bisa menemukan alat ukur yang valid tentang jumlah korban positif apalagi sampai mengetahui kapan akan berakhirnya masa-masa kegelapan peradaban manusia modern tersebut.
Jacob Sumahardjo dalam "Mencari Sukma Indonesia" memberikan sebuah wejangan yang penting bagi Bangsa ini tentang pentingnya karakter dan wibawa seorang pemimpin dengan menyatakan bahwa, krisis besar mebutuhkan orang kuat. Bukan kuat secara fisikal tetapi kuat secara karakter dan mental.Â
Orang kuat ini akan menjadi orang besar, setelah krisis diatasinya. Orang kuat ini berkualitas transenden, menemnus dan mengatasi karakter-karakter pemimpin yang selama ini kita kenal. Jenis orang kuat ini harus " Jodoh" dengan impian masyarakat Indonesia sekarang.Â
Krisis kemanusiaan (covid 19) merupakan alat ukur seberapa kuat karakter kepemimpin presiden Jokowi, apakah sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang sesungguhnya ataukah hanya sebagai biang dari segala krisis yang terjadi di bangsa ini. Â
Krisis pandemik yang kini mulai menjalar menuju krisis ekonomi dan sosial diperkirakan akan secara pasti akan menganggu eksistensi kekuasan rezim ini. Menurut Bank Dunia, pandemi virus corona akan menambah jumlah penduduk miskin di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga 11 juta orang.Â
Sementara itu, Organisasi Buruh Dunia memperkirakan pandemi global ini mengakibatkan hilangnya 5 sampai 25 juta lapangan pekerjaan, dan pendapatan warga dunia akan berkurang sampai 3,4 triliun dolar AS. Di Jakarta, dinas tenaga kerja dan transmigrasi membuka link pelaporan data pekerja /buruh yang sudah di-PHK dan dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave) karena wabah Covid-19. Per 3 April terdata laporan 21.797 pekerja yang dirumah kan dan 3.611 pekerja yang di-PHK.
Direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyebut pandemi virus corona (COVID-19) menciptakan krisis ekonomi yang parah. Bahkan lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008.Â
"Tidak pernah dalam sejarah kita menyaksikan ekonomi dunia terhenti," kata Georgieva pada konferensi pers di kantor pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss.Â
Presiden Jokowi sendiri telah menginstruksikan untuk mengalokasikan dana khusus penanganan virus corona atau covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. anggaran tersebut dialokasikan untuk sejumlah aspek untuk penangangan virus yang tengah mewabah tersebut, antara lain: Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp110 Triliun untuk social safety net (jaring pengaman sosial), Rp70, 1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR, Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.Â
Sebuah kebijakan yang patut diapresiasi. Dan pada akhirnya bangsa ini perlu mengambil hikmah kepemimpinan nasional yang hari-hari terus menampilkan kelemahannya. Para pemimpin itu tumbuh, mereka tidak dibuat, nasihat Peter F. Drucker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H