Yaman yang sedikit lebih luas dari California (AS) dan tanah air bagi lebih dari 28 juta orang di sudut barat daya Semenanjung Arab sekarang tengah mengalami keruntuhan ekonomi akibat epidemi kolera yang telah menewaskan hampir 4.000 orang serta berbagai pertempuran yang terus berkecamuk selama setengah dekade belakangan ini (ABC News, 9 April 2020).
Perang yang kini tengah berlangsung dimulai pada tahun 2015 setelah milisi Islam Houthi yang didukung Iran berhasil merebut ibukota di tengah gelombang protes massa dan koalisi pro pemerintah Yaman yang dipimpin Arab Saudi dengan dukungan AS memutuskan untuk melakukan intervensi militer.
Konflik itu, menurut pandangan AS, telah memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia dimana lebih dari 10.000 orang tewas dan jutaan orang lainnya menderita kekurangan makanan dan medis sehingga menempatkan negara itu di ambang kelaparan.
Pihak-pihak yang bertikai mengepung kota atau memblokir pelabuhan sehingga  bantuan internasional yang dikirim ke negara itu jarang menemukan jalan untuk mencapai masyarakat  yang membutuhkan  dan mereka secara khusus menuduh kaum Houthi telah mencuri atau memalak bantuan makanan pada saat  orang-orang dilanda kelaparan.
Sebalinya koalisi Saudi dituduh telah membom warga sipil tanpa pandang bulu dan bahkan menargetkan infrastruktur sipil sebagai sasaran tembak sehinggi memperburuk kondisi kemanusiaan para korbannya.
Selama 10 hari terakhir, menurut Associated Press, pertempuran hebat telah menewaskan lebih dari 270 orang dan melukai 300 lainnya setelah koalisi Saudi melakukan lebih dari 370 serangan udara.
Di tengah pandemi coronavirus yang melanda seluruh dunia, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menyerukan semua pihak untuk menyetujui gencatan senjata dan memfokuskan diri pada pencegahan wabah yang tentunya tidak mudah mengingat sistem perawatan kesehatan negara dihancurkan oleh pertempuran. Menurut kelompok bantuan Oxfam International, tinggal 50% dari pusat kesehatan Yaman yang masih berfungsi, namun dengan kondisi sangat kekurangan obat-obatan, peralatan dan personil.
Utusan khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths, menyerukan penghentian pertempuran dan pelaksanaan "proses gencatan senjata resmi." Griffiths mengatakan Kamis (9/4) lalu bahwa dia telah berkonsultasi dengan semua pihak setiap hari dan berupaya untuk mengadakan pertemuan dengan kedua pihak melalui telekonferensi "secepat mungkin."
Usaha Griffiths berbuah manis saat Rabu (8/4) Arab Saudi dan koalisinya  mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan operasi militer mereka selama dua minggu.
Seorang pejabat senior Saudi mengatakan kepada ABC News bahwa itu adalah "kesempatan yang baik ... untuk memaksa Houthi dan mendorong kelompok Houthi  bertemu dengan pemerintah Yaman di bawah pengawasan Martin Griffiths untuk membahas gencatan senjata yang berkelanjutan."
Sementara Griffiths menyambutnya sebagai "momen kritis bagi Yaman" dan mendesak semua pihak untuk "sekarang memanfaatkan kesempatan ini dan segera menghentikan semua permusuhan sebagai urgensi tertinggi dalam mencapai kemajuan menuju perdamaian yang komprehensif dan berkelanjutan."