Cacat Antropologis
Menghubung-hubungkan kesalehan dengan radikalisme memang sah saja, tergantung subyektivitas dan mind set seseorang (baca: produser, sutradara, dll). Hanya saja, yang musti disadari secara jernih, kaum Muslim saleh yang radikal itu hanya segelintir orang saja. Mereka minoritas. Mereka membajak Islam yang damai dan anti kekerasan dari kaum Muslim mayoritas.
Lebih dari itu semua, ada problem mendasar di sini, ketika kesalehan yang dimaksud itu lalu disimbolkan dengan tasbih, sehingga menghampirkan pada kesimpulan sepintas bahwa tasbih itu identik dengan radikalisme. Ini bukan saja cacat secara antropologis, tetapi juga menyesatkan.
Akhir 2014 lalu, ISIS memenggal seorang laki-laki yang dituduh sebagai penyihir. Bukti yang diajukan untuk tuduhan tersebut sepele sekali, hanya selembar kain hijau dan tasbih. ISIS berkeras dengan tuduhannya itu, dan tetap mengeksekusi lelaki tersebut, meski ada tanggapan yang berkembang di masyarakat Tikrit, Irak, bahwa lelaki tersebut sesungguhnya bukan tukang sihir, tetapi hanya pengikut ajaran tasawuf, persisnya anggota tarekat (ordo sufi) Naqsabandiyah.
Agaknya, apa yang diyakini oleh publik ini lebih masuk akal. Kita tahu, bahwa dalam tradisi tasawuf, tarekat, dikenal aneka manual dan ritual zikir, wirid, dengan bilangan tertentu, sehingga sangat lazim untuk menggunakan tasbih. Di Indonesia, tasbih tidak hanya identik dengan tasawuf dan tarekat, tetapi sudah merupakan khas dan menjadi ciri utama dalam tradisi keagaaman warga Nahdliyyin pada umumnya, dan sebagian kecil warga Muhammadiyah. Lebih dari itu, NU sendiri sudah identik sekali dengan tradisi tarekatnya.
Saya bisa pastikan, kebiasaan zikir menggunakan biji-biji tasbih tidak berlaku di kalangan Muhammadiyah fanatik, MTA, atau kaum puritan macam salafi, Wahhabi, apalagi para penganut dan pendukung ideologi ISIS. Sebab, di kalangan yang disebut terakhir ini tasbih dianggap "BB" (barang baru alias barang bid'ah) yang tidak ada dasar rujukan praktik dan teladannya sejak zaman Nabi dan sahabat.
Tetapi, apa perlunya membedakan tukang sihir dan kaum sufi bagi ISIS? Bagi kaum khawarij abad 21 ini, mereka (tukang sihir & sufi) itu sama saja: kafir. Ideologi Wahhabisme yang mereka anut mengajarkan, bahwa kaum sufi itu kafir, dan bahwa tradisi apa pun yang tidak ada teladan dari Nabi, termasuk menggunakan tasbih, adalah bidah sesat yang hanya akan mengantar ke neraka.
Jadi ya mereka santai saja memenggal sang lelaki tua itu. Seandainya tuduhan ISIS itu keliru (yakni bahwa lelaki itu adalah pengikut tarekat Naqsabandi, bukan tukang sihir), maka tetap saja mereka punya alasan untuk menyembelihnya, karena ia kafir yang halal darahnya, ditambah lagi pelaku bidah pula.
Maka saya heran dan bengong ketika Clint Eastwood menggambarkan seorang bomber mobil Al Qaeda memegang tasbih dan berzikir sebelum meledakkan dirinya. Dengan logika jongkok saja, berdasar asumsi-asumsi di atas, sangat tidak masuk akal mengasosiasikan tasbih dengan radikalisme (Islam) dalam film tersebut. Al Qaeda (dan kaum radikal Islam pada galibnya) adalah kelompok teroris yang berpaham Wahhabi, setipikal dengan ISIS, yang tentu saja mengharamjadahkan tasbih.
Karena settingnya di Irak, maka tasbih hanya mungkin identik dengan kaum tarekat/sufi dan tukang sihir. Kaum sufi, di mana pun adanya, secara umum adalah komuntas anti kekerasan yang menjauhi, dan menghindarkan diri dari, jihad/perang secara fisik. Mereka lebih konsern untuk berjihad secara batin, memerangi ego dan nafsu. Sedangkan tukang sihir, buat apa susah-susah berperang dan bahkan membunuh diri melawan tentara. Tidak ada hubungan sama sekali tetek bengek perang, agama, dll dengan praktik sihirnya.