What
Psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud sekitar tahun 1900-an adalah cabang psikologi yang mempelajari fungsi dan perkembangan mental manusia. Teori ini telah memberikan kontribusi besar dalam memahami psikologi manusia.Â
Istilah kepribadian atau "personality" berasal dari bahasa Yunani Kuno, prosopon atau persona yang berarti "topeng" dan biasanya digunakan dalam pertunjukan teater. Sama halnya dengan topeng, awalnya konsep kepribadian merujuk pada perilaku yang ditampilkan kepada lingkungan sosial dan kesan yang ingin disampaikan kepada orang lain.
Sigmund Freud menjelaskan mengenai tingkah lalu melalui pengembangan pendekatan psikoanalisa yang menyatakan bahwa kehidupan individu sebagian besar dikendalikan oleh alam bawah sadar. Tingkah laku sering kali dipengaruhi oleh keinginan, impuls, atau dorongan yang tidak disadari. Dorongan yang ditekan tidak hilang, tetapi tetap ada di alam bawah sadar dan suatu saat akan menuntut pemenuhan.
Pada tahun 1923, Sigmund Freud menjelaskan pengertian psikoanalisis dalam sebuah jurnal di Jerman. Psikoanalisis memiliki tiga makna utama. Pertama, sebagai metode penelitian untuk memahami proses psikis, seperti mimpi yang sebelumnya sulit dijelaskan secara ilmiah.Â
Kedua, sebagai metode terapi untuk mengatasi gangguan psikis pada penderita neurosis. Ketiga, sebagai kumpulan pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut. Psikoanalisis berfokus pada konsep utama, yaitu ketidaksadaran.
Why
Dalam teori psikoanalisisnya, Sigmund Freud mengemukakan pandangan bahwa perilaku kriminal terjadi akibat ketidakseimbangan antara Id, Ego, dan Superego. Ketidakseimbangan ini melemahkan individu dan membuat mereka lebih rentan melakukan tindakan menyimpang. Menurut Freud, rasa bersalah yang berlebihan akibat dominasi Superego menjadi salah satu penyebab utama penyimpangan tersebut.Â
Individu dengan Superego yang terlalu kuat cenderung merasa bersalah tanpa alasan jelas, sehingga mencari hukuman sebagai cara untuk meredakan rasa bersalah itu. Ironisnya, hal ini sering diwujudkan melalui tindakan kriminal.
Selain itu, Freud juga menyoroti prinsip kesenangan sebagai faktor pendorong kejahatan. Ia menjelaskan bahwa Id yang bekerja berdasarkan dorongan biologis seperti kebutuhan akan makanan, seks, dan kelangsungan hidup, mendorong manusia untuk mencari kepuasan. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi secara legal atau sesuai norma sosial, individu cenderung mencapainya melalui cara ilegal.
Freud menegaskan bahwa perkembangan moral yang seharusnya ditanamkan sejak dini memainkan peran penting dalam pengendalian dorongan Id. Namun, jika pemahaman moral lemah dan Superego tidak berkembang secara optimal, anak berisiko tumbuh menjadi individu yang kesulitan mengendalikan dorongan Id. Akibatnya, mereka cenderung mengabaikan norma sosial dan melakukan berbagai cara, termasuk tindakan menyimpang untuk memenuhi kebutuhannya.Â
Ketiadaan kontrol ini membuat dorongan instingtif Id menjadi dominan, sehingga perilaku yang tidak sesuai dengan aturan atau hukum menjadi lebih mungkin terjadi.
Menurut pandangan Freud, kejahatan bukanlah hasil dari kepribadian yang secara bawaan bersifat kriminal, melainkan disebabkan oleh kelemahan Ego. Ego memiliki peran penting sebagai penyeimbang antara dorongan Id (insting dasar seperti keinginan untuk kesenangan) dan tuntutan Superego (moralitas dan norma sosial).Â
Ketika Ego tidak mampu menjalankan fungsi ini dengan baik, individu menjadi lebih rentan untuk melakukan penyimpangan atau tindakan melawan hukum.
HowÂ
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1988, dan Suyanto dkk., 1990), kepribadian manusia terdiri dari tiga elemen utama, yaitu id, ego, dan superego. Ketiga struktur ini bekerja sama dan berperan dalam membentuk pola perilaku serta pengambilan keputusan individu.
Id adalah bagian paling mendasar dari kepribadian manusia yang bersifat biologis dan bawaan sejak lahir. Ia berfungsi sebagai sumber energi psikis yang menggerakkan ego dan superego, serta mengendalikan dorongan dasar seperti lapar, haus, agresi, dan hasrat seksual. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle) yang membuatnya cenderung menghindari rasa tidak nyaman dan mengejar kenikmatan.
Sebagai sistem yang bekerja di alam bawah sadar, id bersifat impulsif, primitif, dan tidak rasional. Reaksinya muncul melalui refleks, seperti bersin, atau melalui proses primer, seperti membayangkan makanan ketika lapar. Freud menjelaskan bahwa id adalah bagian psikis yang berisi naluri bawaan dan keinginan-keinginan tertekan sebagai dasar pembentukan struktur psikis lainnya. Id tidak dipengaruhi oleh prinsip realitas.Â
Menurut Koswara (1991), id adalah sistem kepribadian paling dasar yang bertindak sebagai sumber energi untuk aktivitas lainnya. Selain itu, id juga memiliki kecenderungan destruktif terhadap hambatan yang menghalangi kepuasan, bahkan dapat menyebabkan perilaku merusak diri sendiri jika rasa sakit atau frustrasi terlalu banyak dialami.Â
Proses primer yang ada dalam id, seperti berkhayal untuk memenuhi kebutuhan, menjadi dasar bagi fantasi dan kreativitas yang penting dalam pengembangan karya seni dan imajinasi.
Ego adalah komponen dalam kepribadian yang berkembang karena kebutuhan individu untuk berinteraksi dengan kenyataan. Ego beroperasi berdasarkan prinsip kenyataan dan menggunakan proses berpikir rasional untuk merencanakan pemenuhan kebutuhan serta mengevaluasi apakah rencana tersebut berhasil atau tidak.
Ego berfungsi sebagai perantara antara id dan superego, mengelola dorongan dari keduanya. Sebagai komponen pengelola kepribadian, ego bertanggung jawab untuk memilih rangsangan yang harus ditanggapi atau naluri mana yang perlu dipenuhi berdasarkan prioritas, serta menilai apakah kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan mempertimbangkan peluang dan risiko.Â
Karena ego tidak memiliki kekuatan sendiri, ia bergantung pada id untuk mendapatkan energi dan berusaha menenangkan dorongan-dorongan id agar lebih realistis dalam pemenuhan kebutuhan.
Ego bertujuan untuk mencapai kenikmatan yang konkret dan mempertahankan keberlanjutan kepribadian dalam dunia nyata, dengan cara menyalurkan dorongan id secara rasional.
Superego adalah bagian dari kepribadian yang berisi norma-norma, anjuran, dan larangan yang terinternalisasi, terutama yang berasal dari pengaruh orang-orang signifikan dalam hidup seseorang, seperti orang tua.Â
Superego berfungsi sebagai kontrol moral dalam kepribadian. Superego bekerja berdasarkan prinsip idealistik (idealistic principle) yang menuntut individu untuk mencapai standar moral dan kesempurnaan, berbeda dengan prinsip kepuasan yang menjadi dasar Id dan prinsip realistik yang mendasari Ego (Corey, 2010).
Superego berperan dalam mengendalikan dorongan-dorongan dari id dengan mendorong ego untuk mengejar kesempurnaan moral, menggantikan tujuan praktis dengan tujuan yang lebih ideal.Â
Superego bersifat tidak logis karena menuntut kesempurnaan tanpa memedulikan kenyataan, dan menghukum ego dengan perasaan bersalah jika tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Superego menjalankan tiga fungsi utama: (1) mendorong ego untuk mengutamakan tujuan moral daripada tujuan realistis, (2) menghambat dorongan-dorongan id yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial, seperti dorongan seksual dan agresif, dan (3) mendorong pencapaian kesempurnaan.
Secara lebih mendalam, superego terdiri dari dua bagian utama: conscientia yang menghukum dengan perasaan bersalah dan ich ideal yang memberikan rasa bangga atas pencapaian moral. Superego berfungsi untuk menghalangi dorongan-dorongan id yang bertentangan dengan norma sosial dan mendorong individu untuk mengejar kesempurnaan moral. Dengan demikian, superego lebih fokus pada pencapaian kesempurnaan daripada pencapaian kesenangan.
Oleh karena itu, keseimbangan antara Id, Ego, dan Superego sangat penting dalam membentuk kepribadian yang sehat. Jika salah satu elemen ini terlalu dominan atau lemah, individu cenderung mengalami konflik internal yang dapat memengaruhi perilakunya. Ego yang lemah, misalnya, tidak mampu mengendalikan dorongan Id atau memenuhi tuntutan Superego, sehingga dapat memicu perilaku menyimpang atau tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Menurut Freud, energi psikis bersifat tetap dan tidak dapat hilang, tetapi dapat berpindah ke bentuk energi lain, seperti energi fisiologis. Id dan sifat-sifat intrinsiknya menjadi penghubung antara energi tubuh dan kepribadian. Dalam proses psikis, insting memegang peranan penting karena berfungsi sebagai sumber energi yang mengarahkan perilaku manusia. Insting yang ada dalam Id terbagi menjadi dua jenis:
1.Insting hidup yang bertujuan menjaga keberlangsungan hidup individu, seperti makan, minum, dan kebutuhan seksual. Bentuk energi yang mendukung insting ini disebut Libido.
2.Insting mati yang cenderung destruktif dan mengarah pada kehancuran atau kematian. Contohnya adalah dorongan untuk merusak atau bertindak agresif, seperti perkelahian.
Kedua insting tersebut sering kali bercampur dalam suatu tindakan. Sebagai contoh, kegiatan makan yang dapat dianggap sebagai campuran antara kedua insting tersebut. Dorongan makan (Eros) mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan biologis dan bertahan hidup, sementara dorongan destruktif muncul melalui proses fisik seperti menggigit, mengunyah, dan menelan makanan.
Energi psikis berasal dari Id dan didistribusikan ke seluruh aspek kepribadian, yaitu Id, Ego, dan Superego. Karena energi ini terbatas, terjadi persaingan dalam penggunaannya. Ego yang berperan sebagai mediator, tidak memiliki energi sendiri dan harus meminjam dari Id melalui mekanisme yang disebut identifikasi. Mekanisme ini membantu individu mengenali kebutuhan mereka dengan membandingkan keinginan batiniah dan kenyataan di luar.
Sementara itu, Id bekerja tanpa membedakan realitas, seperti halusinasi atau ingatan dalam memenuhi keinginannya. Sebaliknya, Ego menggunakan pendekatan logis dan proses berpikir rasional (proses sekunder) untuk memilih tindakan yang sesuai.Â
Jika Ego tidak berhasil memenuhi kebutuhan Id, energinya dialihkan untuk kegiatan lain, termasuk menahan impuls Id yang berlebihan atau agresif. Dalam hal ini, kekuatan pengekang Ego disebut anticathexis, sedangkan dorongan Id disebut cathexis.
Sebagai pengelola kepribadian, Ego bertugas mengintegrasikan Id, Ego, dan Superego agar tetap seimbang. Energi juga disalurkan ke Superego yang mulai terbentuk sejak masa kanak-kanak melalui proses pendidikan moral, nilai tradisional, dan kedisiplinan yang diberikan oleh orang tua.Â
Penghargaan atau hukuman dari orang tua berkontribusi dalam membentuk Superego. Namun, jika energi ini diambil kembali oleh Id, hal ini dapat memunculkan perilaku impulsif atau primitif.
Pada dasarnya, kehidupan manusia melibatkan konflik antara dorongan kuat dari Id dan kekuatan penahan dari Ego serta Superego. Id mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan, sementara Ego berusaha menyeimbangkannya dengan realitas dan Superego mengarahkan individu pada moralitas dan aturan sosial.Â
Konflik ini membentuk dinamika kepribadian yang kompleks, di mana individu berupaya mencapai kepuasan tanpa melanggar norma sosial atau merusak diri sendiri.
Hubungan antara struktur kepribadian Freud (id, ego, superego) dengan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat dijelaskan melalui dinamika ketiga elemen tersebut, yaitu:Â
1.Dominasi Id dalam Perilaku Korupsi
Korupsi sering kali terjadi karena dorongan id yang dominan. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle) dan mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan tanpa mempertimbangkan norma, aturan, atau konsekuensi.Â
Dalam konteks korupsi, dorongan ini dapat berupa keinginan untuk memperkaya diri secara cepat (keserakahan), pemenuhan kebutuhan materialistis atau gaya hidup mewah dan rasa puas karena berhasil menguasai kekayaan publik tanpa takut terhadap hukuman. Ketika id mendominasi, individu menjadi impulsif dan tidak rasional, sehingga lebih cenderung mengabaikan dampak negatif tindakan korupsi terhadap masyarakat luas.
2.Ego yang lemah dalam mengendalikan dorongan Id
Ego berfungsi sebagai pengelola dan mediator antara id dan realitas, menggunakan prinsip kenyataan (reality principle). Namun, jika ego lemah atau tidak mampu mengendalikan dorongan impulsif dari id, individu cenderung menyerah pada godaan untuk melakukan korupsi, meskipun tahu bahwa tindakan tersebut salah secara moral atau ilegal.Â
Faktor-faktor yang melemahkan ego dalam konteks fenomena kejahatan korupsi dapat berupa lemahnya penegakan hukum dan kurangnya risiko nyata terhadap tindakan korupsi, tdak adanya mekanisme kontrol yang efektif, seperti pengawasan internal atau eksternal dan lingkungan yang permisif terhadap korupsi, sehingga ego kesulitan menilai tindakan secara rasional.
3.Superego yang tidak efektif atau terdistorsi
Superego bertugas menjaga individu agar mematuhi norma moral dan aturan sosial. Dalam kasus korupsi, superego mungkin tidak berkembang dengan baik atau terdistorsi karena beberapa faktor. Pertama, internalisasi nilai yang salah. Ketika lingkungan sosial, keluarga, atau institusi justru menormalisasi korupsi sebagai cara untuk mencapai kesuksesan, superego individu gagal berfungsi sebagai pengendali moral.Â
Lalu, tuntutan berlebihan dari superego. Dalam beberapa kasus, tekanan untuk memenuhi ekspektasi moral yang tinggi (seperti menjaga status sosial atau mendukung keluarga besar) dapat memicu individu untuk melakukan korupsi sebagai cara untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selanjutnya, kurangnya pendidikan moral. Minimnya pembentukan nilai etika dan integritas sejak usia dini dapat membuat superego kurang efektif dalam membatasi perilaku menyimpang.
Jika superego terlalu dominan, seseorang akan merasa terus-menerus bersalah, yang tercermin dalam sikap moralistik, religius, dan merasa harus selalu hidup sesuai dengan norma-norma moral. Hal ini akan membuatnya merasa selalu berdosa. Sebaliknya, jika id yang dominan, seseorang akan menjadi sangat egois, narsistik, dan individualistis, hanya peduli dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain.Â
Ketika id mengambil alih dan ego serta superego lemah, dorongan-dorongan biologis yang tidak terkendali akan membuat seseorang menjadi sangat mementingkan diri sendiri, memaksakan kehendaknya, dan bersikap sewenang-wenang. Dia hanya peduli untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun harus merugikan orang lain. Perilaku anti-sosial ini muncul karena kurangnya nilai-nilai moral dalam pemenuhan keinginan pribadi.Â
Ego yang lemah akan kesulitan menghadapi dorongan-dorongan id dan tuntutan dari superego, sehingga cenderung memenuhi keinginan-keinginan tersebut tanpa mempertimbangkan dampaknya. Oleh karena itu, keseimbangan antara id, ego, dan superego sangat penting untuk mencegah perilaku korupsi dan menciptakan masyarakat yang lebih etis dan bertanggung jawab.
Freud mengidentifikasi lima tahap perkembangan kepribadian yang dilalui setiap individu, yaitu oral, anal, phallis, laten, dan genital. Â
*Tahap oralÂ
Pada tahap oral, bayi berinteraksi terutama melalui mulut, di mana refleks mengisap memainkan peran yang sangat penting. Mulut menjadi penting untuk proses makan dan bayi merasakan kepuasan melalui stimulasi oral seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya bergantung pada pengasuh untuk pemberian makan, mereka juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui rangsangan ini.
Konflik utama yang muncul pada tahap ini adalah penyapihan, di mana anak harus mulai mengurangi ketergantungannya pada pengasuh. Jika terjadi fiksasi pada tahap ini, Freud berpendapat bahwa individu mungkin menghadapi masalah ketergantungan yang dapat tercermin dalam kebiasaan seperti makan berlebihan, minum, atau menggigit kuku.
*Tahap analÂ
Pada tahap anal, Freud berpendapat bahwa fokus utama libido terletak pada kemampuan anak untuk mengendalikan kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama dalam tahap ini adalah pelatihan toilet, di mana anak belajar untuk mengontrol kebutuhan tubuhnya. Proses kontrol ini membantu anak merasa bangga dan mandiri.
Freud menyatakan bahwa keberhasilan dalam tahap ini sangat bergantung pada pendekatan orang tua dalam mengajarkan pelatihan toilet. Orang tua yang memberikan pujian dan penghargaan ketika anak menggunakan toilet pada waktu yang tepat akan menghasilkan hasil yang positif, serta membuat anak merasa mampu dan produktif.
 Freud juga percaya bahwa pengalaman positif pada tahap ini membentuk dasar bagi perkembangan seseorang menjadi individu yang kompeten, produktif, dan kreatif.
Namun, tidak semua orang tua memberikan dukungan yang tepat. Beberapa orang tua malah menghukum, mengejek, atau memalukan anak untuk memberikan efek jera. Freud menganggap bahwa respons orang tua yang tidak tepat dapat menyebabkan dampak negatif. Jika orang tua terlalu keras atau mulai pelatihan toilet terlalu dini, Freud percaya ini dapat membentuk kepribadian anal-retentif, di mana individu tersebut menjadi terlalu teratur, kaku, dan obsesif.
*Tahap phallisÂ
Pada tahap phallic, perhatian utama anak terfokus pada organ reproduksi. Anak mulai menyadari perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai pesaing karena ibu harus membagi kasih sayangnya dengan ayah. Kompleks Oedipus menggambarkan perasaan anak laki-laki yang ingin memiliki ibu dan menggantikan posisi ayah. Namun, anak juga merasa takut bahwa ayah akan menghukum mereka karena perasaan tersebut.
*Tahap latenÂ
Periode laten adalah masa eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, namun diarahkan ke hal-hal lain seperti pencapaian intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting untuk mengembangkan keterampilan sosial, komunikasi, dan rasa percaya diri. Freud menggambarkan fase laten sebagai periode yang relatif stabil. Karena itu, fase ini sering kali tidak disebutkan sebagai tahap utama dalam teori, melainkan sebagai periode yang terpisah.
*Tahap genitalÂ
Pada tahap terakhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan minat seksual yang mendalam terhadap lawan jenis. Sementara pada tahap sebelumnya, fokus utama adalah pada pemenuhan kebutuhan pribadi. Pada tahap ini, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain mulai muncul. Jika tahap-tahap sebelumnya berhasil dilalui dengan baik, individu diharapkan menjadi pribadi yang seimbang, penyayang, dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah mencapai keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan.
Tahap-tahap perkembangan kepribadian biasanya berlangsung secara normal, bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya. Namun, terkadang perkembangan kepribadian seseorang bisa terhambat. Meskipun usia bertambah, individu mungkin masih terjebak dalam tahap perkembangan yang lebih awal. Freud menyebut kondisi ini sebagai fiksasi.
Ketidakpuasan pada masa oral, seperti saat disapih atau kelahiran adik dapat menyebabkan gejala regresi (kemunduran), di mana anak menjadi lebih bergantung pada orang tua dan menunjukkan perasaan cemburu. Hal ini bisa memengaruhi perkembangan kepribadian anak, membuatnya merasa tidak aman, selalu ingin perhatian, dan egosentris. Sebaliknya, kepuasan berlebihan juga dapat berdampak buruk, mengarah pada ketidakmandirian, bersikap tamak, dan haus perhatian.Â
Selain itu, kepuasan berlebihan pada fase oral dapat membentuk oral incorporation personality pada masa dewasa, yaitu kepribadian yang terfokus pada pengumpulan pengetahuan atau harta benda serta membuat seseorang mudah terpengaruh orang lain. Sedangkan ketidakpuasan dapat menyebabkan sifat tamak dan selalu merasa tidak puas dalam mengumpulkan harta.
Fiksasi pada tahap oral yang dikemukakan oleh Freud dapat dikaitkan dengan perilaku korupsi, di mana ketidakpuasan dan keinginan berlebihan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mendorong individu menjadi tamak, mengumpulkan kekayaan secara tidak sah, atau bergantung pada kekuasaan. Hal ini juga dapat mengarah pada sikap manipulatif dan dominan yang sering terlihat dalam tindakan korupsi.
Kecenderungan seseorang dalam mengumpulkan harta mencerminkan perilaku yang menyimpang. Hal itu disebabkan oleh adanya gangguan dalam perkembangan kepribadian pada masa kanak-kanak. Dengan demikian, seorang pelaku korupsi dapat dipandang sebagai seseorang yang belum mencapai kedewasaan dan masih perlu berusaha untuk memperbaiki perkembangan kepribadiannya.
Daftar PustakaÂ
Tharir, Andi. 2016. Psikologi Kriminal. Bandar Lampung:Aura Publishing
LBS, Nabila., Muhizar Muchtar., Zaifatur Ridha. 2023. Psikoanalisis Sigmund Freud Dalam Penerapan Pembinaan Akhlak Siswa Di Kelas VII MTsN 1 Langkat. Journal Homepage, 4 (1), 212-213.
Rahmawati, Sustania., Arbaiyah Yusuf., Zahra 'Aisy K, Syaharani. 2023. Peranan Teori Belajar Psikoanalisa Dalam Pembentukan Karakter Remaja. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9 (19), 770-772.
Jofipasi, Rendy Amora., Jon Efendi., Robbi Asri. 2023. Pengaruh Dinamika Pendekatan Psikoanalisis
TerhadapKematangan Karir Pada Anak Berkebutuhan Khusus. Journal of Special Education Lectura, 1 (2), 34-35.
Wardianti, Yuanita., Dian Mayasari. 2016. Pengaruh Fase Oral Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Bimbingan dan Konseling Indonesia, 1 (2), 37.
Habibie, Alfadl. 2017. Pengenalan Aurat Bagi Anak Usia Dini Dalam
Pandangan Islam. Jurnal Pendidikan : Early Childhood, 1 (2), 4-6.
Ardiansyah., Sarinah., Susilawati., Juanda. 2022. Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Jurnal Kependidikan, 7 (1), 26-28.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H