Konflik ini membentuk dinamika kepribadian yang kompleks, di mana individu berupaya mencapai kepuasan tanpa melanggar norma sosial atau merusak diri sendiri.
Hubungan antara struktur kepribadian Freud (id, ego, superego) dengan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dapat dijelaskan melalui dinamika ketiga elemen tersebut, yaitu:Â
1.Dominasi Id dalam Perilaku Korupsi
Korupsi sering kali terjadi karena dorongan id yang dominan. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle) dan mendorong individu untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan tanpa mempertimbangkan norma, aturan, atau konsekuensi.Â
Dalam konteks korupsi, dorongan ini dapat berupa keinginan untuk memperkaya diri secara cepat (keserakahan), pemenuhan kebutuhan materialistis atau gaya hidup mewah dan rasa puas karena berhasil menguasai kekayaan publik tanpa takut terhadap hukuman. Ketika id mendominasi, individu menjadi impulsif dan tidak rasional, sehingga lebih cenderung mengabaikan dampak negatif tindakan korupsi terhadap masyarakat luas.
2.Ego yang lemah dalam mengendalikan dorongan Id
Ego berfungsi sebagai pengelola dan mediator antara id dan realitas, menggunakan prinsip kenyataan (reality principle). Namun, jika ego lemah atau tidak mampu mengendalikan dorongan impulsif dari id, individu cenderung menyerah pada godaan untuk melakukan korupsi, meskipun tahu bahwa tindakan tersebut salah secara moral atau ilegal.Â
Faktor-faktor yang melemahkan ego dalam konteks fenomena kejahatan korupsi dapat berupa lemahnya penegakan hukum dan kurangnya risiko nyata terhadap tindakan korupsi, tdak adanya mekanisme kontrol yang efektif, seperti pengawasan internal atau eksternal dan lingkungan yang permisif terhadap korupsi, sehingga ego kesulitan menilai tindakan secara rasional.
3.Superego yang tidak efektif atau terdistorsi
Superego bertugas menjaga individu agar mematuhi norma moral dan aturan sosial. Dalam kasus korupsi, superego mungkin tidak berkembang dengan baik atau terdistorsi karena beberapa faktor. Pertama, internalisasi nilai yang salah. Ketika lingkungan sosial, keluarga, atau institusi justru menormalisasi korupsi sebagai cara untuk mencapai kesuksesan, superego individu gagal berfungsi sebagai pengendali moral.Â
Lalu, tuntutan berlebihan dari superego. Dalam beberapa kasus, tekanan untuk memenuhi ekspektasi moral yang tinggi (seperti menjaga status sosial atau mendukung keluarga besar) dapat memicu individu untuk melakukan korupsi sebagai cara untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selanjutnya, kurangnya pendidikan moral. Minimnya pembentukan nilai etika dan integritas sejak usia dini dapat membuat superego kurang efektif dalam membatasi perilaku menyimpang.