2.Ojo Gumunan
Ungkapan "Ojo Gumunan" mengajarkan untuk tidak mudah terheran-heran terhadap sesuatu, karena hal tersebut dapat membuat seseorang lebih rentan diperdaya. Sikap yang terlalu mudah terkagum-kagum sering kali membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan memahami sesuatu secara mendalam, sehingga berpotensi terjebak pada hal-hal yang tampak menarik namun menyesatkan.
3.Ojo Kagetan
Ungkapan "Ojo Kagetan" mengajarkan kita untuk tidak mudah terkejut dalam menghadapi kejadian hidup, dengan selalu tawakal dan menerima takdir Tuhan. Prinsip ini mengingatkan kita untuk tidak berbesar kepala saat sukses dan tidak putus asa saat gagal. Hal ini juga mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam perasaan "seandainya" atau menyalahkan orang lain atas peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya, ajaran luhur KGPAA Mangkunegara IV dalam sastra klasik Serat Tripama (tri ‘tiga’ dan umpama ‘perumpamaan’ merujuk pada tiga tokoh dalam dunia pewayangan) yaitu:
Bambang Sumantri (Patih Suwanda), putra Resi Wisanggeni, mengabdi kepada Prabu Harjuna Sasrabahu di Maespati. Ia terkenal atas kesaktiannya, keberanian dan tanggung jawabnya dalam menyelesaikan tugas-tugas berat, seperti memindahkan Taman Sriwedari dengan bantuan adiknya, Sukasrana. Ia gugur melawan Prabu Dasamuka. Kumbakarna adalah pejuang tanpa pamrih yang berperang demi cinta tanah air, meski tidak sepakat dengan tindakan rajanya. Ia memilih gugur sebagai pahlawan demi bangsa dan negaranya. Adipati Karna Basusena adalah panglima Hastinapura yang cakap berperang. Sebagai bentuk balas budi atas kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Duryudana, ia bertekad menjalankan darma prajurit meskipun sadar akan kalah melawan saudaranya, Arjuna.
Mangkunegara IV mengakui kelemahan mereka, seperti sikap Bambang Sumantri yang menantang rajanya, sifat raksasa Kumbakarna yang dipengaruhi amarah, dan keputusan Adipati Karna melawan keluarganya. Namun, kelemahan itu tertebus oleh darma bakti mereka: Nuhoni trah utama, Nuhoni kesatriyane hing tekad labuh negari dan Ciptanira harsa males sih, menjadikan mereka teladan sikap keprajuritan.
Why
Pemimpin memiliki peran strategis dalam menciptakan perubahan, baik di tingkat individu, organisasi, maupun masyarakat luas. Dalam konteks budaya Jawa, Mangkunegara IV menekankan pentingnya pemimpin untuk "menghidupkan rasa" atau menguasai raos gesang yang mengacu pada kemampuan untuk memimpin dengan kepekaan batin, empati dan integritas.Â
Pendekatan ini sangat relevan, terutama dalam upaya pencegahan korupsi dan transformasi memimpin diri sendiri. Berikut adalah alasan mengapa kemampuan menghidupkan rasa menjadi penting untuk diterapkan dalam kepemimpinan menurut Mangkunegara IV:
1.Empati dalam Kepemimpinan (Bisa Rumangsa, Ojo Rumangsa Bisa)