3.Pupuh ketiga (Pucung) yang terdiri dari 15 bait yang dimulai dari bait 33 hingga 47. Pupuh ini mengajarkan bahwa ilmu harus dipraktikkan, diawali dengan kemauan karena kemauan adalah kekuatan yang menguatkan kesabaran dalam hati.Â
Untuk mencapai keberhasilan, seseorang harus memiliki tiga sikap penting: rela tanpa penyesalan, sabar tanpa mudah marah dan ikhlas berserah diri kepada Tuhan.
4.Pupuh keempat (Gambuh), terdiri dari 35 bait yang dimulai dari bait 48 hingga 82. Pupuh ini menjelaskan tentang catur sembah, yaitu empat cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan:
a) Sembah raga adalah ibadah salat lima waktu, dimulai dengan bersuci menggunakan air. Sembah raga harus dilakukan dengan tekun karena dapat menyehatkan tubuh, menenangkan hati dan meredakan pikiran yang kacau.
b) Sembah cipta dilakukan melalui tirakat untuk membersihkan hati dengan cara melawan nafsu. Sembah cipta harus dijalankan dengan tekun, istiqomah, hati-hati dan sabar.
c) Sembah jiwa ditujukan kepada jiwa atau sukma, berkaitan dengan batin. Sembah jiwa dapat dilakukan setelah seseorang melaksanakan sembah cipta dan hanya dapat dilakukan dengan kesucian batin.
d) Sembah rasa adalah pemahaman diri melalui rasa yang sejati. Orang yang merasakan rasa sejati telah dapat menyatukan dirinya dengan Allah (manunggaling kawula gusti). Dalam ajaran tasawuf Jawa, orang tersebut telah melewati tahap mahu, sakar, dan suhu.
5.Pupuh kelima (Kinanthi), terdiri dari 18 bait yang dimulai dari bait 83 hingga 100. Pupuh ini berfungsi sebagai bait-bait tambahan dalam Serat Wedhatama yang berfungsi untuk memperjelas maksud dari serat tersebut.Â
Untuk dapat mengamalkan semua ajaran dalam Serat Wedhatama, seseorang harus memiliki sifat sabar, tawakal, ikhlas dan berbudi luhur. Apabila mampu melaksanakan ajaran-ajaran tersebut, diharapkan manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam hidupnya.
Manunggaling Kawula lan Gusti mengajarkan bahwa manusia harus dengan sadar mengutamakan niat baik yang tulus dan ikhlas dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks kepemimpinan, konsep ini berarti memiliki kesadaran akan peran kita, kapan saatnya memimpin dan kapan saatnya mengikuti.Â
Saat memimpin, maka yang menjadi prioritas adalah kepentingan orang yang dipimpin, sedangkan ketika dipimpin, kita harus mengikuti arahan dan kebijakan pemimpin dengan penuh kesadaran. Dalam tradisi filsafat Jawa, terdapat pandangan mengenai kategori pemimpin yang dibagi menjadi tiga tipe utama: