A. Pendahuluan
Menurut definisi dalam kamus, penerjemahan merupakan pengubahan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain atau pengubahan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain dan sebaliknya ( The Merriam- Webster Dictionary,1984).
Yang dimaksud dengan bentuk bahasa ialah kata, frase, kalusa, kalimat, paragraf, dan lain-lain, baik lisan maupun tulisan. Bentuk itu disebut struktur lahir bahasa, yaitu bagian struktural bahasa yang biasa terlihat dalam bentuk cetak atau terdengar dalam ujaran. Dalam penerjemahan, bentuk bahasa sumber diganti dengan bentuk bahasa sasaran.
Bahasa asal terjemahan tersebut disebut bahasa sumber (bsu), sedangkan bahasa hasil terjemahannya disebut bahasa sasaran (bsa). Menerjemahkan berarti :
1. Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber.
2. Menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya.
3. Mengungkap kembali makna yang sama tersebut dengn menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
B. Pembahasan
* Ayat Al-Qur’an (QS. Al-Isra’:24)
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
Artinya : “ Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
- Menurut pandangan saya arti yang penulis berikan kurang tepat dalam pemilihan diksinya dalam kata ارْهَمْهُمَا penulis mengartikan “kasihilah mereka keduanya” seharusnya “sayangilah mereka” dan akan lebih baik jika arti dari كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil, serta ayat yang penulis ambil hanya separuh dari ayat 24 surat Al-Isra’ sehingga menjadikan pembaca menjadi ambigu akan arti yang penulis berikan.
- Karena menurut saya walaupun ada arti tersirat dalam kata ارْحَمْهُمَا “sayangilah mereka (kedua orang tua)” tetapi tetap saja disini tidak ada subjek yang dituju sebelum dhamir muttashil. Jadi menurut saya akan lebih baik jika potongan ayat 24 surat al-Isra’ ini dimasukkan semua kedalam tulisan penulis, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an : وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ – ٢
- Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.
- Namun menurut tafsir jalalain artinya, yaitu : (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada keduanya (dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku waktu kecil.”)
Sementara, arti perkata dari ayat ini adalah, Wakhfid artinya dan turunkan/rendahkan lahumaa artinya terhadap keduanya janaaha artinya sayap (dirimu) adzzulli artinya rendah diri mina artinya dari/dengan arrahmati artinya kasih sayang waqul artinya dan ucapkanlah rrabbi artinya (wahai) Tuhanku irhamhumaa artinya kasihanilah keduanya kamaa artinya sebagaimana rabbayaanii artinya keduanya memeliharaku shagiraa artinya waktu kecil.
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/qpk2xf430/keutamaan-surat-al-mulk
* Hadist
إِنَّ سُورَةً فِي الْقُرْآنِ ثَلَاثِينَ آيَةً شَفَعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ: تَبارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ
Artinya : “ Sesungguhnya di dalam Al-Qur'an terdapat suatu surat berisikan tiga puluh ayat dapat memberi syafaat bagi pembacanya hingga ia mendapat ampunan, yaitu Tabarakal Lazi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk).”
Menurut pendapat saya lebih baik mengartikan kalimat سُورَةً فيْ القُرْانِ ثَلَاثِيْنَ ايَةً dengan di dalam al-qur’an terdapat satu surat, mengandung tiga puluh ayat. Dan seharusnya menambahkan kata yang setelah kata ayat atau sebelum kata dapat dan menurut pandangan saya pribadi seharusnya penulis menuliskan perawi dari hadist tersebut di dalam teks yang ia tulis. Dan pada awalnya menurut saya dalam penulisan hadist, sangat penting untuk menyebutkan perawinya. karena tujuannya agar jelas dan pembaca atau pendengar tahu asal muasal hadist ini. Dan sebagaimana unsur yang terkandung didalam hadist haruslah ada sanad, matan. Namun, Setelah saya mencari dari beberapa sumber buku dalam hadist ini Saya menemukan banyak perawi yang berbeda. berikut hadist dengan perawi yang lengkap dan beberapa sumber buku yang saya temukan dengan perawi yang berbeda :
قَالَ اَحْمَدُ : حَدَثْنَا حَجَاجُ بْنُ محَمَدٍ وَابْنُ جَعْفَرٍ , قَالَ : حَدَثْنَا شُعْبَهٌ, عَنْ قَتَادَةٍ, عَنْ عَبَّاسِ الجُشَمِى, عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ , عَنْ رَسُوْلِلّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : (اِنَّ سُوْرَةً فِي القُرْانِ ثَلَاثِيْنَ ايَة شَفَعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ : تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ المُلْكُ).
Kitab Ahmad ibn Hanbal, karya ibn hanbal, juz 3, hal. 159.
Dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal hadist tersebut dipaparkan dengan sanad dan matan yang sama,hanya penambahan perawi pada awal sanad yaitu perawi Abdullah dan ayahnya (Ahmad ibn Hanbal), hajjaj bin Muhammad di gantikan oleh ayahnya Abdullah Ahmad ibn Hanbal.
Sunan Ibn Majah, karya ibn Majah dengan no. 3786, bab pahala membaca al- Qur’an.
Dalam Sunan Ibn Majah tersebut dipaparkan dengan sanad dan matan yang sama hanya penambahan perawi pada awal sanad saja yaitu Abu Bakar Bin Abi Syaibah sebagai ganti Hajjaj bin Muhammad dan Abu Usamah sebagai ganti Muhammad bin Ja’far.[2]
Sunan Abi Daud, karya Abi Daud, juz 2 halaman 59, dengan no. 1400.
Dalam sunan Abi Daud hadist tersebut dipaparkan dengan sanad dan matan yang sama, hanya terdapat penambahan perawi pada awal sanad yaitu perawi Umaru bin Marzuki sebagai ganti dari Muhammad bin Ja’far.
Sunan at-Tirmidzi karya at-Tirmidzi, juz 4, hal 408,dengan no. 2900.
Dalam sunan at-Tirmidzi hadist ini dipaparkan dengan sanad dan matan yang sama, tetapi terdapat perbedaan dari segi perawi pada awal sanadnya yaitu perawi Muhammad bin Basyar sebagai ganti perawi Hajjaj bin Muhammad.
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/r21wvu320/tiga-perangai-buruk-dan-tiga-sifat-penangkalnya
* Perkataan Ulama
Dalam kitab nashaih al –ibad, Syekh Nawawi Al Bintani menjelaskan bahwa Malik bin Dinar pernah berkata:
إحبس ثلاث بثلاث حتّى تكون من المؤمنين التكبر بالتواضح والحرص بالقناعة والحسد بالنّصيحة
Artinya : “ Cegahlah tiga perkara (yang jelek) dengan tiga perkara (yang baik) sehingga engkau benar-benar termasuk orang yang beriman, yaitu cegahlah sifat takabur dengan tawadhu, cegahlah sifat rakus dengan qanaah, cegahlah sifat hasud dengan nasihat.”
Analisis dari kandungan arti dari teks diatas menurut saya sudah bagus, karena penulis memberi informasi dengan detail (bahwa perkara apa yang dimaksud), namun baiknya kata jelek, dapat diubah dengan buruk, karena kata jelek disini kurang baku. Dan penulis pun menerjemahkan teksnya secara paralel yang menggunakan kata cegahlah dari awal sampai akhir terjemahan. Tetapi penulis menuliskan nama ulama dengan langsung ke bahasa Indonesia, menurut saya akan lebih baik jika dituliskan dengan Bahasa Arab lalu setelah itu diartikan. Seperti : قال مالك بن دينار رضي الله عنه
Dan menurut saya jika diartikan perkata tentang makna penting yang terdapat dalam kalam tersebut yaitu :
التكبر : “ Takabur ialah memandang diri sendiri dengan pandangan bahwa dirinya mulia dan memandang orang lain dengan pandangan bahwa orang itu hina/lemah.”
الحريص : “ rakus adalah mencurahkan segala perhatian dalam mencari sesuatu (dunia).”
القناعة : “ Qona’ah adalah senang terhadap pembagian Allah padanya.”
الحسد : “ hasud/ iri dan dengki adalah mengharapkan hilangnya kenikmatan orang lain, agar berpindah kepadanya.”
النصيحة : “ hasud/ iri dan dengki adalah mengharapkan hilangnya kenikmatan orang lain, agar berpindah kepadanya.”
C. Kesimpulan
Dalam setiap penerjemahan teks tentu makna yang didapat akan berbeda, hal itu terjadi karena perbedaan pendapat serta ilmu yang masing-masing penulis miliki dan kuasai, serta berdasarkan faktor pengambilan dan teori dari berbagai sumber dan referensi yang penulis ambil. Serta di dalam penerjemahan suatu teks Al-Qur’an, Hadist, dan Pendapat Ulama haruslah berhati-hati dan butuh ketelitian penuh agar teks tersebut diterjemahkan berdasarkan struktur gramatikal yang baik. Kualitas atau kebahasaan penerjemahan dapat diukur melalui tingkat ketepatan terjemahan itu sendiri.
D. Daftar Pustaka
Mildred L.Larson, Penerjemahan Berdasar Makna, Terj. Kencanawati Taniran, Jakarta: Arcan, 1989
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Kementerian Agama, RI, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Bandung: Syaaml Qur‟an, 2012.
Shalihah, S. (2017). Terjemah Bahasa Arab Antara Teori dan Praktik. Jurnal At-Ta’dib, 12, 184-202.
Zaimah, Neli Rahmawati. 2010. Pembelajaran Menerjemah (Upaya Mencari Strategi Yang Efektif), Program Pascasarjana Magister Pendidikan UIN Sunan Kalijaga.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000: cet.II,h.31.
jurnalgarut.pikiran-rakyat.com
https://quran.kemenag.go.id/sura/17
https://tafsirweb.com/4628-surat-al-isra-ayat-24.html
https://www.republika.co.id/berita/puu0ru313/hakikat-tawadhu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H