Artinya : “ Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
- Menurut pandangan saya arti yang penulis berikan kurang tepat dalam pemilihan diksinya dalam kata ارْهَمْهُمَا penulis mengartikan “kasihilah mereka keduanya” seharusnya “sayangilah mereka” dan akan lebih baik jika arti dari كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil, serta ayat yang penulis ambil hanya separuh dari ayat 24 surat Al-Isra’ sehingga menjadikan pembaca menjadi ambigu akan arti yang penulis berikan.
- Karena menurut saya walaupun ada arti tersirat dalam kata ارْحَمْهُمَا “sayangilah mereka (kedua orang tua)” tetapi tetap saja disini tidak ada subjek yang dituju sebelum dhamir muttashil. Jadi menurut saya akan lebih baik jika potongan ayat 24 surat al-Isra’ ini dimasukkan semua kedalam tulisan penulis, sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an : وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيٰنِيْ صَغِيْرًاۗ – ٢
- Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.
- Namun menurut tafsir jalalain artinya, yaitu : (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua) artinya berlaku sopanlah kamu terhadap keduanya (dengan penuh kesayangan) dengan sikap lemah lembutmu kepada keduanya (dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana) keduanya mengasihaniku sewaktu (mereka berdua mendidik aku waktu kecil.”)
Sementara, arti perkata dari ayat ini adalah, Wakhfid artinya dan turunkan/rendahkan lahumaa artinya terhadap keduanya janaaha artinya sayap (dirimu) adzzulli artinya rendah diri mina artinya dari/dengan arrahmati artinya kasih sayang waqul artinya dan ucapkanlah rrabbi artinya (wahai) Tuhanku irhamhumaa artinya kasihanilah keduanya kamaa artinya sebagaimana rabbayaanii artinya keduanya memeliharaku shagiraa artinya waktu kecil.
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/qpk2xf430/keutamaan-surat-al-mulk
* Hadist
إِنَّ سُورَةً فِي الْقُرْآنِ ثَلَاثِينَ آيَةً شَفَعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ: تَبارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ
Artinya : “ Sesungguhnya di dalam Al-Qur'an terdapat suatu surat berisikan tiga puluh ayat dapat memberi syafaat bagi pembacanya hingga ia mendapat ampunan, yaitu Tabarakal Lazi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk).”
Menurut pendapat saya lebih baik mengartikan kalimat سُورَةً فيْ القُرْانِ ثَلَاثِيْنَ ايَةً dengan di dalam al-qur’an terdapat satu surat, mengandung tiga puluh ayat. Dan seharusnya menambahkan kata yang setelah kata ayat atau sebelum kata dapat dan menurut pandangan saya pribadi seharusnya penulis menuliskan perawi dari hadist tersebut di dalam teks yang ia tulis. Dan pada awalnya menurut saya dalam penulisan hadist, sangat penting untuk menyebutkan perawinya. karena tujuannya agar jelas dan pembaca atau pendengar tahu asal muasal hadist ini. Dan sebagaimana unsur yang terkandung didalam hadist haruslah ada sanad, matan. Namun, Setelah saya mencari dari beberapa sumber buku dalam hadist ini Saya menemukan banyak perawi yang berbeda. berikut hadist dengan perawi yang lengkap dan beberapa sumber buku yang saya temukan dengan perawi yang berbeda :
قَالَ اَحْمَدُ : حَدَثْنَا حَجَاجُ بْنُ محَمَدٍ وَابْنُ جَعْفَرٍ , قَالَ : حَدَثْنَا شُعْبَهٌ, عَنْ قَتَادَةٍ, عَنْ عَبَّاسِ الجُشَمِى, عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ , عَنْ رَسُوْلِلّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قَالَ : (اِنَّ سُوْرَةً فِي القُرْانِ ثَلَاثِيْنَ ايَة شَفَعَتْ لِصَاحِبِهَا حَتَّى غُفِرَ لَهُ : تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ المُلْكُ).
Kitab Ahmad ibn Hanbal, karya ibn hanbal, juz 3, hal. 159.
Dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal hadist tersebut dipaparkan dengan sanad dan matan yang sama,hanya penambahan perawi pada awal sanad yaitu perawi Abdullah dan ayahnya (Ahmad ibn Hanbal), hajjaj bin Muhammad di gantikan oleh ayahnya Abdullah Ahmad ibn Hanbal.
Sunan Ibn Majah, karya ibn Majah dengan no. 3786, bab pahala membaca al- Qur’an.