Meskipun disadari bahwa undang-undang persaingan usaha bukanlah alat utama untuk mengatasi masalah lingkungan. Namun, Hukum Persaingan Usaha memiliki peran untuk dimainkan dan dapat dikatakan lebih dari sekedar mendukung dalam mencapai green economy. Hal ini didasarkan oleh beberapa negara anggota European Union (UE) yang telah mengkonkritiasi green economy kedalam Hukum Persaingan Usahanya.
Secara historis Komisi Eropa berserta negara anggota EU telah menggunakan pendekatan green economy sebagai langkah tujuan keberlanjutan sebagaimana tercantum dalam perjanjian Treaty of the Functioning European Union (TFEU) dan Piagam Uni Eropa tentang Hak Fundamental Uni Eropa yang bisa disebut sebagai ketentuan konstitusional. Khususnya pada Pasal 37 yang menyatakan bahwa "Perlindungan lingkungan dan peningkatan kualitas lingkungan harus diintegrasikan ke dalam kebijakan penghimpunan (Treaty of the Functioning European Union (TFEU), 2020). Kemudian pasal 3 ayat 3 TEU menegaskan kembali bahwa Uni Eropa bekerja untuk pembangunan berkelanjutan (The Treaty On European Union (TEU), 2020). Tidak terkecuali hukum persaingan usaha juga digunakan sebagai instrumen dalam mencapai tujuan berkelanjutan.
Meninjau dari segi teknis hukum persaingan usaha secara tradisional dikenal dari dua perspektif yang berbeda yaitu Hukum Persaingan Usaha menjadi "Perisai" dan hukum persaingan usaha menjadi "Pedang." Penerapan hukum persaingan usaha dapat dijadikan sebagai "Pedang" untuk mencapai keberlanjutan dapat dicapai melalui larangan terhadap tindakan yang menyimpang dari sudut pandang keberlanjutan. Sementara itu, hukum persaingan usaha sejauh aspek pendukung sebagai "Perisai" memungkinkan tindakan yang diarahkan untuk mencapai keberlanjutan dalam mengimbangi efek keberlanjutan (Jurgita, 2020). Gambaran jelas terhadap Hukum Persaingan Usaha sebagai "Pedang" ditinjau berdasarkan penerapan Pasal 101 ayat 3 TFEU.
Penerapan Pasal 101 ayat 3 TFEU tercermin dalam kasus pembuat mobil di Jerman, di mana Komisi Eropa mengenakan denda sebesar EUR 875.189.000 pada BMW dan grup Volkswagen (Audi dan Porche) karena melanggar aturan antimonopoli EU khususnya Pasal 101 ayat 1 TFEU dengan berkolusi pada pengembangan teknis di area pembersihan nitrogen oksida (European Commission. 2013). Selain itu, dapat terlihat juga dalam kasus deterjen yang melibatkan Henkel, Unilever dan Procter & Gamble yang terlibat dalam prilaku stabilisasi pasar dengan tidak menggunakan inisiatif lingkungan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif atas yang lain. Tinjauan kasus ini menggambarkan implementasi green economy dalam hukum persaingan usaha di UE.
Penerapan green economy dalam hukum persaingan usaha di Eropa telah memberikan dorongan baru kepada bisnis untuk mengejar inisiatif keberlanjutan dalam hukum persiangan usahanya. Namun, kenyataan ini berbanding terbalik dalam praktiknya di Indonesia. Jika melihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, tidak ada satu pasal pun membahas dan/atau mengadopsi kebijakan green economy. Ditambah persoalan mengenai cross border e-commerce yang belum memiiki instrumen hukum membuat tantangan baru dalam pembaharuan hukum persaingan usaha yang berorientasi dan berwawasan lingkungan.
Persoalan mengenai Cross Border E-Commerce bukanlah suatu hal yang baru, tetapi sampai saat ini kesadaran akan pentingnya pembaharuan hukum belumlah tercapai. Pemerintah memiliki peran penting untuk melakukan intervensi dengan mengenakan pajak kepada pelaku cross border e-commerce yang berdampak negatif terhadap persaingan usaha dan lingkungan sehingga dibutuhkan instrumen hukum persaingan usaha yang baru serta diarahkan kepada tujuan dalam membangun iklim persaingan di pasar yang sehat dan berwawasan lingkungan, serta memaksimalkan kesejahteraan UMKM lokal.
Pada hakekatnya prinsip kebijakan hukum persaingan usaha mengacu pada larangan atau penghapusan praktik yang membatasi persaingan tidak sehat. Dari sudut pandang penegakan hukum persaingan usaha dengan menggunakan green economy terhadap praktik cross border e-commerce merupakan solusi baru dalam menjawab dan mengidentifikasi masalah berupa (a) Setiap kali terdapat tindakan yang mempengaruhi lingkungan dapat dikenai sanksi oleh aturan hukum persaingan di tengah praktik cross border e-commerce. (b) Setiap pertimbangan lingkungan dalam relevan dengan penyelesaian suatu kasus, maka pertimbangan tersebut dapat dipertimbangkan untuk membuat suatu keputusan. Dewasa ini dengan adanya praktik cross border e-commerce secara politis, dan legitimasi hukum persaingan usaha yang akan mendatang diharapkan tidak hanya menyediakan kepastian hukum semata, tetapi di era saat ini kebutuhan hukum persaingan usaha dengan menggunakan kebijakan green economy di mana ekonomi pasar berada di bawah tantangan kelestarian lingkungan menjadi hal yang penting.
Simpulan
Berdasarkan dari penelitian di atas maka para penulis di sini ingin menyimpulkan hasil daripada penelitian ini. Pergerakan pembentukan aturan hukum mengenai perdagangan ekstraterirorial di Indonesia masih belum memiliki landasan hukum yang jelas. Padahal adanya dasar hukum yang akan menjadi jalur dari jalannya perdagangan lintas negara ini sangat penting, mengingat diperlukan pencegahan dan/atau bahkan penanggulangan mengenai segala konflik yang mungkin terjadi. Terlebih kegiatan perdagangan erat hubungannya dengan monopolistik dan persaingan tidak sehat sehingga perlu dibentuk peraturan yang mengikat baik di dalam Indonesia atau bahkan oleh negara-negara internasional untuk mencegah adanya tindakan penyalahgunaan kemajuan perdagangan internasional. Tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan persaingan sendiri yaitu untuk memaksimalkan kesejahteraan konsumen dan pera pelaku usaha. Dalam memaksimalkan upaya tersebut diperlukan syarat yang harus dipenuhi yaitu efisiensi alokatif. Ini adalah situasi yang menunjukan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen ditawarkan kepada mereka sesuai dengan harga yang mereka inginkan. Munculnya praktik cross border e-commerce yang melakukan splitting harga membuat rugi UMKM lokal. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai peran untuk melakukan intervensi melalui perpajakan sebagai solusi dalam memperkuat perlindungan para pelaku usaha dan konsumen sehingga dengan ini dapat menciptakan eksternalitas untuk menyesuaikan prilaku mereka.
Rekomendasi
Adapun demi tercapainya tujuan ideal dalam di tengah praktik cross border e-commerce, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendukung hal tersebut adalah dengan membentuk payung hukum mengenai ketentuan ekstrateritorial dalam perdagangan lintas negara (cross border e-commerce) yang bisa menguntungkan UMKM dalam negeri atau melindungi segala aktivitas perdagangan lintas Negara, serta membentuk perjanjian internasional dengan negara-negara lain untuk bisa mengimbangi peraturan dalam negeri, peraturan internasional yang dibentuk mengenai larangan, hukuman, dan juga apa saja yang harus ditaati dalam perdagangan lintas negara yang tentunya tidak hanya melibatkan dua negara saja.