Dengan demikian pandemi Covid-19 telah mendorong tumbuhnya ekosistem perdagangan digital dengan memanfaatkan teknologi mulai dari proses hingga pada pemasaran produk dan jasa. Kehadiran electronic commerce (e-commerce) yang tumbuh signifikan baik itu domestik maupun nondomestik menjadi salah satu wadah bagi pelaku UMKM untuk memasarkan produknya, dengan kata lain e-commerce merupakan solusi kemudahan dan keuntungan bagi kegiatan usaha dengan melakukan bargaining atau pertukaran barang dan jasa antara penjual dan pembeli tanpa akses yang terbatas, serta cepat dalam memperoleh suatu produk sesuai keinginan tanpa harus keluar rumah (Margaretha, 2018).
Mengenal era digitalisasi tidak selamanya dipandang selalu menguntungkan. Kondisi yang sekarang terjadi dalam praktik justru cenderung merugikan pelaku UMKM dengan munculnya perdagangan cross border e-commerce yang dilakukan oleh e- commerce nondomestik. Belum adanya norma hukum yang mengatur, maka terlihat jelas masih lemahnya kepastian dan perlindungan hukum yang diberikan kepada UMKM dari praktik perdagangan cross border e-commerce. Perdagangan cross border e-commerce merupakan salah satu jenis e-commerce internasional yang mirip dengan cross border e-tailling. Tindakan yang memungkinkan untuk splitting atau pemecahan transaksi pembelian barang dan jasa oleh Cross Border E-Commerce inilah yang membuat pelaku UMKM akan sangat dirugikan dan tersaingi secara tidak sehat dalam ekosistem pasar.
Menilik permasalahan cross border e-commerce yang terjadi, maka peraturan perundang-undangan khususnya hukum persaingan usaha Indonesia memiliki peran yang sangat penting juga mempunyai andil yang sangat besar. Menjadi persoalan lanjutan bahwa saat ini hukum persaingan usaha di indonesia belum mencapai taraf cross border, hal ini disimpulkan dari rumusan definisi pelaku usaha dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bahwa:
"Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi."
Adanya unsur "Kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia" maka terlihat jelas bahwa undang-undang persaingan usaha di sini terbatas dan tidak mempunyai daya extraterritorial. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan Hukum Persaingan Usaha di negara di Eropa yang penyelesaiannya dapat dilakukan secara cross border (European Commission. 2013).
Dalam tantangan dan persoalan cross border e-commerce seiring belum adanya
norma hukum yang mengatur, maka kebijakan green economy menjadi suatu solusi yang berkontribusi dalam hukum persaingan usaha yang akan datang. Prinsip umum yang digunakan dalam green economy, diantaranya (UNEP, 2020):
1)Ekonomi hijau merupakan sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan;
2)Ekonomi hijau meningkatkan tata kelola dan supremasi hukum, inklusif, demokratis, partisipatif, akuntabel, transparan, dan stabil.
Mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif memerlukan bauran kebijakan yang mencakup dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan dari proses pembangunan kebijakan tersebut akan mencakup kebijakan perdagangan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Jika dirancang dengan tepat dan diterapkan secara efektif, maka kebijakan persaingan adalah alat lain yang melengkapi kebijakan ini dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif (CMA, 2020).
Peluang yang diberikan oleh green economy dapat membantu mengatasi banyak dampak negatif di atas sekaligus mendukung beberapa jenis pembangunan ekonomi, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya denagra yang ikut serta dalam penandatanganan Paris Agreemen. Ekonomi hijau membutuhkan regulasi yang kuat dan sehat kerangka kebijakan yang benar-benar dilaksanakan dan ditegakkan. Hal ini perlu didukung oleh reformasi pasar dan ekonomi untuk menghindari model dan teori ekonomi tradisional yang mengesampingkan alam dan berinvestasi dalam kegiatan yang merusak lingkungan dan sosial. Sebaliknya, pasar dan strategi ekonomi dalam ekonomi hijau perlu dibentuk untuk mendukung kerangka kebijakan yang menetapkan aturan main, dan mendorong investasi dalam kinerja lingkungan yang baik, dalam modal alam dan dalam memungkinkan solusi untuk tantangan lingkungan dan social (UNEP, 2019).