Mohon tunggu...
Ahmad Sabirin
Ahmad Sabirin Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Ahmad Sabirin lahir pada tanggal 19 Juli 1998 di Kota Khatulistiwa Pontianak Kalimantan Barat mulai menulis sejak nyantri di Pon-Pes Al-Amien Prenduan, ia menulis puisi, esai, cerpen dan artikel. Dua kali menjadi peserta lomba Esai Internasional yang dilakasanakan oleh Gulen Institute dengan Tema “Kemiskinan” pada tahun 2014 dan dilaksanakan oleh UNISCO dengan tema “Perdamaian” pada tahun 2015. Kumpulan puisi Perempuan (2013), Sebelum Hujan Turun (2014), Mati atau Menjadi Mayat Hidup (2015) dan sekarang sedang merangkumkan Novel perdananya yang berjudul “HINA”.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Solusi Perlindungan Pelaku UMKM dalam Meningkatkannya Perdagangan Cross Border E-commerce

27 Oktober 2022   20:27 Diperbarui: 27 Oktober 2022   20:30 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penolakan akan tunduk pada aturan negara Indonesia bisa saja terjadi dikarenakan pelaku usaha tidak memiliki anak usaha atau pendirian usaha di Indonesia, padahal kemajuan kegiatan perdagangan lintas negara sedang marak dan tidak dapat terawasi secara rinci siapa saja pelaku usaha didalamnya, seperti contoh akun bisnis pada Shopee yang berada pada luar negeri tidak dapat dilihat satu persatu siapa saja pelaku usaha didalamnya sehingga memudahkan mereka untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak mengikuti aturan persaingan usaha di Indonesia. Kewenangan mengenai penegakan hukum persaingan usaha yang terjadi pada luar wilayah dari yuridiksi Indonesia yang dalam hal ini terpaku pada prinsip ekstrateritorial ternyata tidak menjadi mendapatkan perhatian lebih oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hal ini bisa terjadi dimungkinkan karena KPPU kurang hati-hati dalam melihat kondisi persaingan usaha saat ini yang semakin berkembang dan merasa bahwa kondisi persaingan usaha di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja. KPPU merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-undang mengenai persaingan usaha dan merupakan lembaga independen yang tidak terikat oleh pengaruh serta kekuasaan pemerintah. Tugas dan wewenang KPPU ada dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5 tahun 1999. Nantonya, apabila terjadi atau terduga adanya suatu pelanggaran dalam kegiatan persaingan usaha, maka KPPU akan bergerak dan melakukan penegakan hukum. Penegakanyangnantinya akandilakukan meliputi pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan hingga pada titik pembuatan putusan untuk pelaku usaha tersebut (Rai, 2016).

Sejatinya, kembali membahas mengenai penegakan hukum dalam persaingan usaha yang belum jelas arah mengenai prinsip ekstrateritorial didalamnya, melihat lebih jauh pada Pasal 1 huruf e, yaitu:

"Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis." Pengertian definisi dari kata "perjanjian" apabila dikaitkan dengan Pasal 1 huruf g, yaitu:"Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi." Adanya kesinambungan antara 2 pasal ini, dapat terlihat bahwa perjanjian yang dimaksud hanya mengenai perjanjian yang ada dan terjadi pada wilayah hukum Indonesia saja, di mana penerapan prinsip yang digunakan juga terbatas pada prinsip teritorial sebagai landasan yang menyusunnya (Ahmad, 2016).

Tidak adanya perjanjian antar negara atau multilateral dan bilateral dalam menegakkan hukum persaingan usaha dalam bentuk ekstrateritorial juga menjadi salah satu hambatan besar bagi perkembangan aturan antar negaranya. Oleh sebab itu, KPPU sendiri terhambat dalam memproses laporan mengenai permasalahan persaingan usaha tidak sehat, meskipun pada dasarnya KPPU harus bergerak untuk mencari bukti. Namun tidak adanya laporan serta aturan hukum yang jelas juga menjadi salah satu sulitnya bergerak dalam negara hukum ini. Di samping itu, penempatan eksekusi putusan di Indonesia masih bersifat teritorialitas menempatkan sulitnya dilaksanakan suatu putusan pengadilan yang hanya berlaku pada wilayah Indonesia saja. Eksekusi untuk wilayah luar Indonesia atau luar negeri sulit dilakukan atau bahkan dapat dikatakan mustahil mengingat tidak adanya aturan yang berlangsung, padahal penanganan eksekusi terlebih dalam kasus perdagangan pada masa cross border e-commerce ini sangat penting agar bisa menertibkan pelaku usaha asing yang nakal dan bermain-main pada aturan yang ada.

Tidak adanya kerja sama internasional mengenai hukum perdagangan yang

mengarah pada persaingan usaha dalam jalur cross border e-commerce memberikan kesan bahwa tiap negaranya masih ingkar pada aturan hukum masyarakat internasional dan tidak mengandalkan hukum dalam mekanismenya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kerjasama antar negara untuk membentuk otoritas persaingan usaha yang lebih taat hukum baik secara bilateral maupun multilateral, hal ini tidak saja menguntungkan bagi negara Indonesia tapi juga negara lain, mengingat dengan adanya kepastian hukum bisa membantu para pelaku usaha yang sedang merintih maupun pelaku usaha yang menjaga kestabilan usahanya.

Kebijakan Green Economy sebagai Sebuah Solusi dalam Tantangan Pelaku UMKM di Tengan Meningkatnya Perdagangan Cross Border E-Commerce.

Penggunaan istilah green economy berawal dari diskusi seputar permasalahan lingkungan yang berorientasi kepada "Pembangunan berkelanjutan" pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1992 yang dikenal juga sebagai KTT Rio (D Amato, dkk, 2019). Inisiasi ini kemudian mulai diimplementasikan setelah krisis keuangan global pada tahun 2008 ketika masyarakat internasional berupaya menghidupkan ekonomi dengan cara yang lebih berkelanjutan. United Nations Environment Programme (UNEP) merumuskan definisi green economy yang hingga saat ini dapat diterima secara umum sebagai ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesejahteraan sosial, serta secara signifikan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Dengan kata lain penerapan green economy dapat mengubah praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang merusak lingkungan menjadi perekonomian yang ramah lingkungan.

Dalam hal mengatur dan menjaga kegiatan ekonomi agar berjalan tertib dan seimbang merupakan salah satu peranan hukum di Indonesia. Melalui peraturan perundang-undangan yang berperan sebagai batasan pengawas sekaligus memberikan kepastian hukum bagi setiap pelaku eknomomi di Indonesia. Tidak terkecuali salah satu bentuknya dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu, pembangunan di bidang ekonomi pun harus diorientasikan kepada perlindungan terhadap lingkungan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, demokrasi dalam bidang ekonomi memberi kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk berpartisipasi aktif di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang efektif, sehat, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Prinsip ekonomi yang berupaya memperoleh keuntungan (profit) yang sebesar-besarnya terkadang tidak luput dari exploitasi yang mengesampingkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan green economy dalam hukum persaingan usaha merupakan tantangan dan solusi yang dibutuhkan saat ini.

Menilik sudut pandang perokonomian nasional sejak pandemi Covid-19 telah menyebabkan guncangnya penawaran dan permintaan yang drastis. Runtuhnya penawaran dan permintaan untuk barang dan/atau jasa menyebabkan arus perdagangan dan pendapatan nasional berkontraksi. Pada tahun 2020, International Monetary Fund (IMF) pun telah mengkonfirmasi terjadinya resesi tingkat global (Mark, 2020). Tidak terkecuali di Indonesia, pandemi Covid-19 mempengaruhi hampir disetiap sektor ekonomi. Menyikapi persoalan yang terjadi, mengingat berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah bulan Maret 2021, jumlah UMKM lokal mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 61,07%, (Kementrian Investasi RI, 2020) maka langkah solutif untuk meningkatkan UMKM ke arah digitalisasi sangatlah penting dalam pemulihan ekonomi nasional. Pengembangan UMKM digital menjadi salah satu jalan alternatif untuk menyelamatkan UMKM di masa pandemi Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun