Mohon tunggu...
Sabellah RamadhianiFitri
Sabellah RamadhianiFitri Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Saya adalah penulis yang masih belajar. Saya suka menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Dari Sabang Sudahkah Sampai Merauke?

15 Mei 2022   00:06 Diperbarui: 15 Mei 2022   00:25 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekolah daring sepertinya hanya menguntungkan untuk masyarakat golongan menengah ke atas. Semua mata dapat melihat bagaimana kemajuan pendidikan di kota besar Indonesia melalui televisi, Youtube dan jejaring social. Terlebih disaat virus Covid-19 melanda Indonesia. Sempat viral beberapa video pelajar di internet yang rindu dengan momen belajar tatap muka di sekolah. Beberapa pelajar pun membagikan rekaman video di internet yang menampilkan setiap sudut ruang belajar mereka di sekolah: ruang kelas yang ber-AC, perpustakaan dengan tempat duduk yang nyaman, Wifi geratis, lapangan olahraga yang bagus nan luas, laboratorium computer yang berisi computer terkini. Bahkan ada yang memamerkan bahwa di sekolah mereka sudah memiliki alat pendeteksi suhu yang dimasa itu tergolong mahal.

Tidak sedikit juga industry per-filman Indonesia menyorot sekolah golongan masyarakat ke atas dengan fasilitas yang lengkap ke dalam sinetron dan film. Memang benar tempat pendidikan yang sarana dan fasilitas-nya lengkap seperti di televisi yang sering kita lihat adalah impian semua orang. Namun tidak semua anak dapat merasakan ruang kelas yang ber-AC. Ada banyak siswa  yang gedung sekolahnya rusak, atapnya reyot bahkan tak memiliki atap. Tentu saja hal itu mengganggu konsentrasi ketika belajar. Jika cuaca sedang panas atau turun hujan, kegiatan belajar terpaksa dihentikan. Ketika wabah virus Covid-19 melanda dan fasilitas pendidikan yang tidak mendukung, beberapa sekolah di daerah terpaksa harus tutup sebagai upaya pencegahan penyebaran virus Corona. Beberapa tenaga pendidikan tetap mengajar dengan cara mendatangi satu-persatu rumah anak didik. Semua perjuangan itu dilakukan agar anak bangsa yang berada di daerah terbelakang tidak tertinggal pendidikannya.

Selanjutnya, tidak semua orang tua dapat melihat anaknya pergi sekolah di jemput oleh bus yang khusus mengangkut anak sekolah. Karena jauh di daerah hingga pedalaman Indonesia masih ada orang tua dengan perasaan cemas mengantar anaknya ke gerbang pendidikan bagai mengantar anak kedalam pelukan malaikat maut. Sebab para calon penerus bangsa ini harus melewati jembatan gantung yang entah kapan akan runtuh dan menghanyutkan tubuh mungil mereka di air sungai yang mengalir deras.

Tidak sedikit juga calon penerus bangsa terpaksa berhenti sekolah karena factor ekonomi. Lebih miris lagi ternyata juga banyak calon penerus bangsa dari gender perempuan yang tidak mendapatkan pendidikan sejak dini hingga usia siap kerja karena factor budaya setempat yang masih kolot.

Sekilas, permasalahan pendidikan di bagian desa, daerah kecil dan pelosok Indonesia ini mirip dengan film MARS (Mimpi Ananda Raih Semesta: 2016. Salah satu film layar lebar tanah air yang menyorot situasi pendidikan di salah satu daerah Indonesia). Tokoh utamanya adalah Sekar Palupi yang tinggal di kaki gunung Kidul bersama ke dua orangtuanya. Ibunya bernama Tupon.

Disaat lingkungan sekitarnya beropini bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena akan kembali ke dapur juga. Teman-teman sebaya Sekar juga tidak ada yang sekolah karena factor ekonomi dan budaya yang masih kuno. Namun berbeda dengan Tupon, tanpa kenal lelah dengan kasih sayangnya, dia membesarkan Sekar untuk terus sekolah dan rajin belajar. Meski berkali-kali dihina oleh tetangga dan ditertawakan karena setiap hari dia menyuruh Sekar untuk pergi sekolah, padahal Tupon sendiri tidak pernah sekolah, tidak pandai membaca dan menulis. Tetapi, Tupon tetap sabar dan terus mengantar Sekar pergi ke sekolah, mengantar sekar untuk belajar mengaji dengan menggunakan sepeda tua. Semua perjuangan yang Tupon lakukan adalah untuk masa depan anaknya, Sekar. Berkat kegigihan Tupon untuk mengantarkan anaknya ke gerbang pendidikan, Sekar berhasil sekolah hingga ke perguruan tinggi dan meraih gelar master dalam bidang astronomi di Oxford University, Inggris.

Sekar adalah salah satu contoh tokoh yang membuktikan meski dengan keterbatasan ekonomi dan hidup di lingkungan yang menganggap bahwa pendidikan tidak penting. Namun, dia berhasil menjadi contoh untuk anak bangsa lain agar tetap gigih meraih pendidikan apapun rintangannya. Mungkin di luar sana ada banyak Sekar lain yang tak tersorot berita. Ada juga anak yang tidak dapat mengenal siapa itu Sekar sehingga mereka masih buta akan pendidikan.

Berbagai upaya juga sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar aspek pendidikan bisa merata dan dirasakan oleh seluruh anak bangsa dari kota besar hingga ke pelosok negeri. Upaya tersebut diantaranya yang pertama, pemerintah membuat kebijakan wajib belajar 12 tahun. Kedua, pemerintah memberi dana bantuan ke sekolah-sekolah negeri untuk siswa yang tidak mampuh atau biasa dikenal dengan dana BOS. Ketiga, pemerintah menugaskan dan menyebarkan tenaga pendidikan ke daerah-daerah. Keempat, Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi agar penyebaran pendaftaran peserta didik dapat menyebar tidak hanya focus di sekolah yang dilabeli favorit.

Ternyata upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah belum bisa mengatasi masalah pendidikan yang ada di Indonesia. Masih sering tersorot media dan berita, bahwa tidak sedikit jumlah anak daerah yang tidak bisa merasakan bangku pendidikan. Anak-anak dari golongan menengah ke atas tentu saja tak perlu khawatir dengan masalah pendidikan. Mereka bisa lebih focus belajar. Tetapi berbeda dengan anak dari golongan menengah ke bawah. Ada beberapa factor yang menyebabkan masih banyak anak yang tidak bisa merasakan bangku pendidikan. Diantaranya sebagai berikut:

  • Faktor lingkungan dan budaya yang masih kuno
  • Faktor ekonomi dan tidak semua daerah menerima dana bantuan sekolah tepat waktu
  • Tempat menimba ilmu yang tidak layak pakai
  • Kekurangan tenaga pengajar
  • Akses menuju ke sekolah yang tidak aman
  • Akses informasi yang masih terbatas

Untuk meng-sukseskan gerakan pemerataan pendidikan dari Sabang sampai Merauke sebagai gerbang awal merdeka belajar, pertama-tama sebaiknya pemerintah tidak hanya memberikan dana bantuan untuk sekolah ke sekolah yang berada di daerah terpencil. Tetapi, juga memberikan dana dan menyediakan tenaga kerja untuk memperbaiki akses jalan, listrik, memberi dana agar sinyal dan jaringan internet bisa masuk ke Desa. Karena internet akan sangat dibutuhkan selama belajar daring. Jika seluruh desa di Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke sudah bisa mengakses internet, pemerataan pendidikan akan lebih mudah diwujudkan serta kemungkinan Indonesia bisa menjadi sentra pangsa pasar digital. Selanjutnya pemerintah juga harus memperhatikan pembangunan jembatan yang layak pakai dan aman untuk menuju gerbang pendidikan.

Jika akses jalan di seluruh daerah terpencil ini sudah baik, penerangan ada dimana-mana maka para orang tua juga merasa aman ketika mengantar anaknya pergi untuk menuntut ilmu. Bantuan dari pemerintah dan tenaga social juga akan mudah masuk dan tepat waktu. Para tenaga pengajar juga akan terbantu ketika harus menjalankan kewajibannya: datang ke sekolah dan mendidik calon penerus bangsa. Sementara listrik berguna untuk siswa yang akan mengerjakan PR di malam hari dan internet memberikan kemudahan untuk mengakses informasi serta pelajaran,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun