Sebab, inti lailatul qadr adalah bobot pahalanya. Dan pahala adalah sebuah karunia. Dan karunia bisa dilimpahkan dalam beragam bentuk: kenyamanan, kebahagiaan, ketenangan jiwa, hidup tanpa menyesali masa lalu, menyambut hari depan tanpa kecemasan, dan juga keberlimpahan materil.
Namun saya cukup percaya diri untuk mengatakan begini: seorang hamba yang ditakdirkan mendapatkan lailatul qadr dapat diasumsikan mendapatkan peluang ilahiyah untuk dikabulkan apapun yang diinginkannya.
Jika Tak Bulat, Cukup Percikannya Saja
Secara pribadi, setiap bulan Ramadhan, saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya termasuk orang yang Insya Allah mendapatkan setidaknya percikan lailatul-qadr. Dan keyakinan ini mengacu pada dua alasan:
Pertama, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pada setiap Ramadhan, Allah swt pasti akan memilih paling sedikit satu orang hamba-Nya yang mendapatkan lailatul-qadr.
Kedua, sepanjang bulan Ramadhan, saya akan melantunkan doa seperti ini: Ya Allah, jika saya belum pantas meraih karunia lailatul-qadr, berkenanlah kiranya ya Allah, Engkau memasukkan saya ke dalam doa hambamu yang Engkau terima doanya dan Engkau pilih mendapatkan lailatul-qadr. Sebab saya yakin, orang-orang yang meraih lailatul-qadr adalah hamba-hamba pilihan, yang tentu tidak mungkin berdoa untuk dirinya sendiri saja.
Maka sekali lagi, Ya Allah, jika saya belum pantas meraih karunia lailatul-qadr, berkenanlah kiranya ya Allah, Engkau memasukkan saya ke dalam doa hambamu yang Engkau terima doanya dan Engkau pilih mendapatkan lailatul-qadr.
Dengan kata lain, jika aku tak pantas meraih lailatul-qadr secara utuh-dan-bulat, setidaknya saya-atau-Anda-atau dia termasuk hamba yang mendapatkan percikan berkah dan kemuliaan lailatul-qadr.
SELESAI
Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 29 Maret 2024/ 19 Ramadhan 1445H
Catatan: substansi utama Risalah ini pernah dimuat di akun Facebook saya pada 27 Juni 2015 (Mari Berharap Lailatul-Qadr) dan beberapa artikel di Kompasiana: