Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Majelis Taklim

1 Mei 2022   21:15 Diperbarui: 1 Mei 2022   21:25 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rasulullah saw mentransfer ajaran Islam kepada para sahabat-sahabatnya di Makkah dan Madinah umumnya dilakukan dengan model halaqah (Rasulullah saw duduk, dan para sahabat duduk melingkar mengelilingi Sang Nabi sambil mendengarkan petuah-petuahnya).

Formasi duduk melingkar dan mengelilingi inilah yang disebut halaqah (lingkaran). Banyak sekali hadits Nabi yang menceritakan kasus-kasus yang menggambarkan Nabi sedang memberikan pengajian di masjid dengan model halaqah.

Sistem pengajaran Islam dengan model halaqah inilah, yang entah sejak kapan, di Indonesia disebut pengajian dan/atau majelis taklim.

***

Sebelum lanjut, mungkin perlu juga memberikan telaahan etimologis tentang kata atau istilah halaqah, pengajian, majelis taklim dan juga universitas.

Berdasarkan kamus Lisanul-Arab, kata halqah atau halaqah bermakna segala hal yang melingkar. Lisanul-Arab memberikan contoh dengan ungkapan yang mengatakan, "Wahai yang duduk dalam halaqah". Bahwa seseorang yang duduk ditengah lingkaran akan dilaknat, karena membelakangi sebagian yang hadir, yang mengakibatkan ia dicela oleh orang yang duduk dibelakangnya.

Istilah pengajian sendiri berasal dari kata kaji atau kajian, yakni mengkaji, lalu popouler dengan kata mengaji. Dalam perkembangannya, kata mengaji ini biasanya lebih dikonotasikan dengan mengaji (membaca) Quran.

Sementara kata majemuk majlis-taklim bermakna pertemuan pengajaran yang melibatkan peserta yang duduk. Kata majelis sendiri berasal dari akar kata ja-la-sa (duduk), yang dalam bahasa Melayu kadang diartikan dewan. Makanya ada Dewan Perwakilan Rakat (DPR) atau Majelis Perwakilan Rakyat (MPR).

Sekedar catatan, istilah majelis taklim, setahu saya, tidak populer di hampir semua negara Arab. Memang ada pengajian yang menggunakan kata majelis, tetapi biasanya dinisbatkan ke nama gurunya, misalnya Majlis Syaltut (maksudnya pengajian yang gurunya adalah Syaltut).

Belakangan kata majemuk majelis-taklim memang cenderung diredusir pemahamannya seolah-olah khusus untuk emak-emak saja atau pengajiian tahlilan-dzikiran. Tetapi sejatinya, majelis taklim adalah salah satu model pertemuan untuk transfer pengetahuan dan pengalaman antara guru dan peserta didiknya.

Kata university (Inggris) berasal dari bahasa Latin universitas yang secara letterlijk bermakna menyeluruh (a whole). Dan seperti diketahui, secara histroris, universitas (dalam pengeritian tempat belajar untuk mendapatkan gelar akademik tertentu) pertama kali didirikan oleh biarawan Gereja Katholik di Eropa, yakni University of Bologna di Italia pada tahun 1088M (sekitar tahun 481 H) atau menjelang ekspedisi pertama Perang Salib tahun 1089M.

***

Jika dilakukan penelusuran historis secara sekilas, tidak ada kesimpulan lain kecuali bahwa para ulama empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali) dan juga ulama penulis-pengumpul enam kitab hadis (Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasai, Ibun Majah dan Abu Daud) umumnya belajar dengan model pengajian halaqah (majelis taklim).

Perbedaannya ulama-ulama besar ini mengembangkan pengetahuannya di bidangnya masing-masing melalui riset lanjutan yang mendalam. Dan pendalaman itupun dilakukan, lagi-lagi, dengan mengikuti pengajian halaqah (majelis taklim).

Ilustrasinya: misalnya dalam suatu pengajian halaqah, Imam Bukhari mendengar sebuah hadits dari perawi-A yang mengaku menerima-mendengar dari perawi-B. Untuk mendalami hadits tersebut, Imam Bukhari berangkat untuk menemui Perawi-B untuk memastikan originalitas hadits tersebut, begitu seterusnya. 

Melalui penelusuran yang dilakukan melalui duduk bersila dalam pengajian halaqah di hadapan seorang guru hadist inilah, sehingga kita mengenal rumusan beragam derajat hadits (shahih, hasan, maudhu', bathil dan seterusnya).

Jika membaca sejarah penyebaran Islam di Nusantara, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa para Walisongo mengajarkan Islam kepada para jamaah muridnya juga dengan model halaqah (sang Wali duduk, kadang di atas kursi, dan murid-muridnya duduk melingkari atau mengelilingi sang Wali), makanya disebut halaqah, yang sekali lagi, entah sejak kapan di Indonesia disebut pengajian atau majelis taklim.

Karena itulah, tidak ada legasi tentang institusi pendidikan berjenjang pada periode Walisongo. Tak seorang pun murid Walisongo yang bertitel master atau doktor atau professor.

Tradisi pengjian model halaqah para Walisongo itulah, yang kemudian selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad dilanjutkan oleh para kiai di pondok-pondok pesantren ketika mengajarkan dan mentransfer ajaran Islam kepada murid-muridnya.

Dalam komunitas Syiah, pengajaran doktrin dan syariatnya juga tetap mengandalkan pengajian dengan model halaqah (lingkaran). Dan hingga saat ini masih menjadi tradisi utama di Qom, Iran dan Najaf-Karbala Irak. Sedemikian rupa sehingga setiap ulama Syiah yang sudah bergelar hujjatul-islam atau ayatullah masing-masing pasti memiliki pengajian majelis-taklim yang rutin.

Sebutlah tokoh-tokoh Islam sepanjang sejarah Nusantara, dari Aceh hingga Halmahera, dari abad ke-14 di era Walisongo hingga abad ke-20-an, dan hampir semua nama-nama besar di bidang keislaman adalah terutama karena hasil pendidikan dan pengajaran melalui model halaqah (lagi, di Indonesia disebut majelis taklim atau pengajian).

Ulama-ulama besar nusantara di abad ke-20 yang pernah belajar di Makkah dan/atau Yaman, umumnya menimba ilmu pengetahuan melalui pengajian model halaqah (lagi, di Indonesia disebut majelis taklim).

Di Makkah, misalnya kita mengenal perguruan Shaulatiyah, yang pernah menjadi tempat belajar ulama sekaliber K.H. Hasyim Asy'ary (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (pendiri Nahdlatul Wathan Lombok-NTB). Dan hingga kini, model pengajian halaqah di perguruan Shaulatiyah ini (setelah kegiatannya dibatasi), dilanjutkan antara lain oleh Syaikh Alwi Al-Maliki dan kemudian putranya Syaikh Muhammad Alwi Al-Maliki. Dan masih berlangsung hingga hari-hari ini.

Bahkan ulama-ulama yang sering diidentifkasi sebagai penganut Wahhabi juga masih menggunakan pengajian model halaqah di sudut-sudut masjid Haram Makkah dan Madinah, biasanya antara shalat magrib dan isya, atau sehabis shalat subuh. Dan setiap guru halaqah mengajarkan disiplin ilmu tertentu.

Ketika menunaikan haji tahun 1986, saya pernah aktif mengikuti pengajian nahwu-sharaf di salah satu halaqah (majelis taklim) di Masjid Haram Makkah. Dan saya masih ingat salah satu pernyataan gurunya yang mengatakan: meskipun langit roboh dan bumi berguncang sekencang-kencangnya, tapi saya akan tetap mengatakan bahwa fail (kata pelaku) itu pasti marfu' (berbaris dhamma). Jika Anda tak paham nahwu-sharaf, tidak mungkin bisa merasakan sentuhan jenakanya pernyataan guru tersebut.

Entah kebetulan atau karena mengakui efektivitas dan keberkahan pengajian model halaqah ini, bahkan ulil Abshar Abdalla, pendiri dan tokoh utama Jaringan Islam Liberal, akhirnya juga menggunakan model halaqah melalui pengajian rutinnya yang membaca kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Gazaly, yang bahkan disebarkan secara live dan online.

Sekedar perbandingan, pengajian rutin yang diselenggarakan Emha Ainun Nadjib (kadang dinamai Maiyah atau Sinau Bareng), kalau dicermati, adalah pengajian dengan model halaqah (lagi di Indonesia disebut majelis taklim).

Tentu saja ada sejumlah kritik yang bisa dialamatkan ke pengajian model halaqah atau majelis taklim: yakni umumnya berlangsung dengan model monolog. Dialog apalagi lagi perdebatan jarang terjadi antara guru dan murid. Tapi ini terjadi tergantung gurunya.

Pada akhir 1980-an hingga medio 1990-an, secara pribadi, saya cukup sering mengikuti pengajian-pengajian halaqah (majelis taklim) di Masjid Haram Makkah, di beberapa masjid di Mesir, di Suriah bahkan beberapa kali di Turki, dan praktek dialog antara guru dan muridnya bisa terjadi. Jadi tergantung gurunya.

Lagi pula, keterbatasan atau mandegnya dialog antara guru dan murid/mahasiswa juga bisa terjadi di perguruan tinggi yang paling modern sekalipun. Tergantung guru-dosennya.

Memang belum ada risetnya. Tapi pengajaran atau transfer ilmu dan nilai-nilai keislaman melalui halaqah (majelis taklim) barangkali saja jauh lebih efektif, meski dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Pengajian dai Mama Dede di televisi yang diselenggarakan menggunakan model halaqah (majelis taklim), boleh jadi lebih berguna dan berpengaruh dibanding seminar-seminar keislaman melalui media online di era Zoom saat ini, yang melibatkan para intelektual dari lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi.

Karena itu, kecuali jika ada penelitian yang menyimpulkan lain, hingga saat ini, saya masih menilai bahwa legasi keislaman (dengan segala keragamannya) yang bertahan di seluruh wilayah nusantara saat ini, umumnya adalah hasil transfer ilmu keislaman melalui pengajian yang diselenggarakan dengan model halaqah (majelis-majelis taklim) di pondok-pondok, di masjid-masjid dan surau-surau dan kini sesekali di gedung-gedung dan berbagai platform media online.

Sebagai catatan penutup, ada satu sisi yang sering luput dari pengamatan orang yang terkesan meremehkan pengajian model halaqah (majelis taklim), yang mungkin disebabkan karena maqam-nya memang belum nyampe: yakni faktor keberkahan yang tercipta melalui interaksi langsung, secara face-to-face antara guru dan murid. Dan keberkahan itu hanya bisa dirasakan, dan tidak mungkin diselami secara maksimal melalui pisau analisis rasional yang paling ilmiah sekalipun.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, Ahad 01 Mei 2022/ 29 Ramadhan 1443H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun