Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Majelis Taklim

1 Mei 2022   21:15 Diperbarui: 1 Mei 2022   21:25 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Makkah, misalnya kita mengenal perguruan Shaulatiyah, yang pernah menjadi tempat belajar ulama sekaliber K.H. Hasyim Asy'ary (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (pendiri Nahdlatul Wathan Lombok-NTB). Dan hingga kini, model pengajian halaqah di perguruan Shaulatiyah ini (setelah kegiatannya dibatasi), dilanjutkan antara lain oleh Syaikh Alwi Al-Maliki dan kemudian putranya Syaikh Muhammad Alwi Al-Maliki. Dan masih berlangsung hingga hari-hari ini.

Bahkan ulama-ulama yang sering diidentifkasi sebagai penganut Wahhabi juga masih menggunakan pengajian model halaqah di sudut-sudut masjid Haram Makkah dan Madinah, biasanya antara shalat magrib dan isya, atau sehabis shalat subuh. Dan setiap guru halaqah mengajarkan disiplin ilmu tertentu.

Ketika menunaikan haji tahun 1986, saya pernah aktif mengikuti pengajian nahwu-sharaf di salah satu halaqah (majelis taklim) di Masjid Haram Makkah. Dan saya masih ingat salah satu pernyataan gurunya yang mengatakan: meskipun langit roboh dan bumi berguncang sekencang-kencangnya, tapi saya akan tetap mengatakan bahwa fail (kata pelaku) itu pasti marfu' (berbaris dhamma). Jika Anda tak paham nahwu-sharaf, tidak mungkin bisa merasakan sentuhan jenakanya pernyataan guru tersebut.

Entah kebetulan atau karena mengakui efektivitas dan keberkahan pengajian model halaqah ini, bahkan ulil Abshar Abdalla, pendiri dan tokoh utama Jaringan Islam Liberal, akhirnya juga menggunakan model halaqah melalui pengajian rutinnya yang membaca kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Gazaly, yang bahkan disebarkan secara live dan online.

Sekedar perbandingan, pengajian rutin yang diselenggarakan Emha Ainun Nadjib (kadang dinamai Maiyah atau Sinau Bareng), kalau dicermati, adalah pengajian dengan model halaqah (lagi di Indonesia disebut majelis taklim).

Tentu saja ada sejumlah kritik yang bisa dialamatkan ke pengajian model halaqah atau majelis taklim: yakni umumnya berlangsung dengan model monolog. Dialog apalagi lagi perdebatan jarang terjadi antara guru dan murid. Tapi ini terjadi tergantung gurunya.

Pada akhir 1980-an hingga medio 1990-an, secara pribadi, saya cukup sering mengikuti pengajian-pengajian halaqah (majelis taklim) di Masjid Haram Makkah, di beberapa masjid di Mesir, di Suriah bahkan beberapa kali di Turki, dan praktek dialog antara guru dan muridnya bisa terjadi. Jadi tergantung gurunya.

Lagi pula, keterbatasan atau mandegnya dialog antara guru dan murid/mahasiswa juga bisa terjadi di perguruan tinggi yang paling modern sekalipun. Tergantung guru-dosennya.

Memang belum ada risetnya. Tapi pengajaran atau transfer ilmu dan nilai-nilai keislaman melalui halaqah (majelis taklim) barangkali saja jauh lebih efektif, meski dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Pengajian dai Mama Dede di televisi yang diselenggarakan menggunakan model halaqah (majelis taklim), boleh jadi lebih berguna dan berpengaruh dibanding seminar-seminar keislaman melalui media online di era Zoom saat ini, yang melibatkan para intelektual dari lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi.

Karena itu, kecuali jika ada penelitian yang menyimpulkan lain, hingga saat ini, saya masih menilai bahwa legasi keislaman (dengan segala keragamannya) yang bertahan di seluruh wilayah nusantara saat ini, umumnya adalah hasil transfer ilmu keislaman melalui pengajian yang diselenggarakan dengan model halaqah (majelis-majelis taklim) di pondok-pondok, di masjid-masjid dan surau-surau dan kini sesekali di gedung-gedung dan berbagai platform media online.

Sebagai catatan penutup, ada satu sisi yang sering luput dari pengamatan orang yang terkesan meremehkan pengajian model halaqah (majelis taklim), yang mungkin disebabkan karena maqam-nya memang belum nyampe: yakni faktor keberkahan yang tercipta melalui interaksi langsung, secara face-to-face antara guru dan murid. Dan keberkahan itu hanya bisa dirasakan, dan tidak mungkin diselami secara maksimal melalui pisau analisis rasional yang paling ilmiah sekalipun.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, Ahad 01 Mei 2022/ 29 Ramadhan 1443H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun