***
Jika dilakukan penelusuran historis secara sekilas, tidak ada kesimpulan lain kecuali bahwa para ulama empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali) dan juga ulama penulis-pengumpul enam kitab hadis (Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasai, Ibun Majah dan Abu Daud) umumnya belajar dengan model pengajian halaqah (majelis taklim).
Perbedaannya ulama-ulama besar ini mengembangkan pengetahuannya di bidangnya masing-masing melalui riset lanjutan yang mendalam. Dan pendalaman itupun dilakukan, lagi-lagi, dengan mengikuti pengajian halaqah (majelis taklim).
Ilustrasinya: misalnya dalam suatu pengajian halaqah, Imam Bukhari mendengar sebuah hadits dari perawi-A yang mengaku menerima-mendengar dari perawi-B. Untuk mendalami hadits tersebut, Imam Bukhari berangkat untuk menemui Perawi-B untuk memastikan originalitas hadits tersebut, begitu seterusnya.Â
Melalui penelusuran yang dilakukan melalui duduk bersila dalam pengajian halaqah di hadapan seorang guru hadist inilah, sehingga kita mengenal rumusan beragam derajat hadits (shahih, hasan, maudhu', bathil dan seterusnya).
Jika membaca sejarah penyebaran Islam di Nusantara, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa para Walisongo mengajarkan Islam kepada para jamaah muridnya juga dengan model halaqah (sang Wali duduk, kadang di atas kursi, dan murid-muridnya duduk melingkari atau mengelilingi sang Wali), makanya disebut halaqah, yang sekali lagi, entah sejak kapan di Indonesia disebut pengajian atau majelis taklim.
Karena itulah, tidak ada legasi tentang institusi pendidikan berjenjang pada periode Walisongo. Tak seorang pun murid Walisongo yang bertitel master atau doktor atau professor.
Tradisi pengjian model halaqah para Walisongo itulah, yang kemudian selama bertahun-tahun, bahkan berabad-abad dilanjutkan oleh para kiai di pondok-pondok pesantren ketika mengajarkan dan mentransfer ajaran Islam kepada murid-muridnya.
Dalam komunitas Syiah, pengajaran doktrin dan syariatnya juga tetap mengandalkan pengajian dengan model halaqah (lingkaran). Dan hingga saat ini masih menjadi tradisi utama di Qom, Iran dan Najaf-Karbala Irak. Sedemikian rupa sehingga setiap ulama Syiah yang sudah bergelar hujjatul-islam atau ayatullah masing-masing pasti memiliki pengajian majelis-taklim yang rutin.
Sebutlah tokoh-tokoh Islam sepanjang sejarah Nusantara, dari Aceh hingga Halmahera, dari abad ke-14 di era Walisongo hingga abad ke-20-an, dan hampir semua nama-nama besar di bidang keislaman adalah terutama karena hasil pendidikan dan pengajaran melalui model halaqah (lagi, di Indonesia disebut majelis taklim atau pengajian).
Ulama-ulama besar nusantara di abad ke-20 yang pernah belajar di Makkah dan/atau Yaman, umumnya menimba ilmu pengetahuan melalui pengajian model halaqah (lagi, di Indonesia disebut majelis taklim).