Kedua, bagi orang yang karena tuntutan pekerjaannya harus melakukan perjalanan (baca: penerbangan) reguler antar kota atau antar negara, test PCR menjadi bagian inti biaya operasional. Dan itu tidak murah. Di Indonesia, biaya test PCR sekitar Rp600 ribu sampai Rp900 ribu. Di Belanda, test PCR di klinik swasta sebesar 150 euros (sekitat Rp2,5 juta).
Seorang kawan di Amerika Serikat mengatakan, test PCR gratis di seluruh negara bagian. Tapi kalau mau test PCR dengan pelayanan khusus, yang hasilnya bisa diperoleh sekitar 3 jam setelah test, bayar 600 USD (sekitar Rp8,5 juta).
Kalau dirata-rata biaya test PCR sekitar Rp1 juta, dan jumlah kasus positif covid secara global, saat artikel ini ditulis, sudah mencapai sekitar 85 juta kasus positif, berarti peredaran duit terkait PCR sudah mencapai lebih dari Rp85 triliun (ini belum termasuk test PCR yang hasilnya negatif, yang jumlahnya mungkin lebih banyak dibanding yang positif).
Ketiga, dari enam kali test PCR itu, saya mencermati ada perbedaan metode usap (swab)-nya. Di semua negara, metode pengambilan sampel memang hanya di dua titik: tenggorokan dan lobang hidung.
Di Belanda, pengambilan sampel di hidung hanya dilakukan di satu lubang hidung (kiri atau kanan), dan menusuknya ke lobang hidung tidak terlalu dalam. Saya test PCR di Jakarta, pengambilan sampelnya di dua lubang hidung sekaligus (kanan dan kiri), ditusuk dalam banget, dan alatnya diputar-putar pula di dalam lubang hidung, sehingga mengakibatkan geli-geli perih dan air mata menetes.
Keempat, tak terhindarkan, melakukan enam kali test PCR dalam rentang waktu sekitar satu setengah bulanan mungkin bisa dikategorikan kombinasi antara waspada-dan-paranoid. Sering sulit membedakan keduanya.
Kelima, secara global, sebagian besar yang melalukan test PCR dan hasilnya positif adalah kategori OTG (Orang Tanpa Gejala). Artinya, jika tak melakukan test PCR sebenarnya santai saja. Begitu test PCR dan hasilnya positif, walaupun kategorinya OTG, urusannya menjadi panjang dan merepotkan.
Keenam, pencegahan selalu lebih baik. Mengindari segala kemungkinan terpapar dengan ketat mengikuti semua protokol kesehatan adalah cara yang jauh lebih aman dibanding terpapar meskipun menjadi pasien OTG.
Ketujuh, saat ini memang sudah ada vaksin. Tapi mendapatkan giliran vaksinasi juga belum dapat diprediksi, karena ada skala prioritas. Selain itu, jumlah ketersediaannya masih terbatas. Saya memperkirakan, virus corona ini masih akan terus mengintai sampai akhir tahun 2021. Dan kapasitas atau jumlah vaksin covid-19 ini mirip dengan jumlah perahu sekoci di kapal yang umumnya tidak pernah cukup untuk menyelamatkan semua penumpang.
Kedelapan, seseorang yang pernah positif covid-19 kemudian pulih, secara medis, umumnya diasumsikan akan memiliki imunitas (kekebalan) alami. Semoga. Namun periode atau durasi waktu imun alami yang diperoleh setelah pulih belum ada kesepakatan di kalangan para ahli.
Sebagai catatan, di Belanda, pada Agustus 2020, tercatat ada empat kasus pasien yang mengalami dua kali terpapar covid-19, dalam rentang waktu satu sampai dua bulanan. Semoga saya tidak mengalaminya lagi.