Freedom of conscience biasa diartikan hak untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) keyakinan keagamaan atau prinsip moralitas orang lain (the right to follow one's own beliefs in matters of religion and morality).
Mungkin bisa juga disebut "kebebasan beraqidah".
Pada 2 September 2020, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, di Perancis semua orang bebas mengkritik, termasuk menghujat Tuhan (freedom to blaspheme) yang menurutnya mengacu atau bagian dari kebebasan beragama/beraqidah (freedom of conscience).
Selanjutnya, pada 02 Oktober 2020, di Les Mureaux, tidak jauh dari sekolah yang kemudian menjadi lokasi pemenggalan leher guru Samuel Paty (16 Oktober 2020), Presiden Perancis menyampaikan pidato yang diyakini sebagai penyebab utama munculnya reaksi umat Islam di berbagai negara.
Macron menjelaskan beberapa poin "RUU Secularity and Liberty Law", antara lain: para imam masjid di Perancis akan dilarang mengikuti training di luar Perancis; mengurangi praktek home-schooling (di kalangan rumah tangga Muslim); semua ormas dan yayasan Islam harus menandatangani kontrak kesetiaan kepada nilai-nilai Republik Perancis (the Republic's values) sebagai syarat untuk mendapatkan subsidi pemerintah; Bahwa di Perancis ada kelompok komunitas yang hidup berdasarkan nilai-nilai dari negara asal mereka, yang bertentangan dengan nilai-nilai Republik Perancis; bahwa Islam radikal adalah ideologi yang ingin menghancurkan Republik Perancis; pihak berwajib di setiap wilayah Perancis setiap bulan menutup sekolah-sekolah yang mengajarkan paham radikal; dan Islam sedang dalam posisi krisis di berbagai negara.
Dan kajian tentang freedom of conscience itu sebenarnya bukan barang baru. Sebagai perbandingan, di dalam Quran, ada penggalan awal ayat 29, Surat Al-Kahfi yang berbunyi begini:
....
(Wa qulil-haqqu min rabbikum, fa man sya'a fal-yu'min, wa man sya'a fal-yakfur)
Ada beberapa versi terjemahan bahasa Indonesianya. Salah satunya saya ambil dari "Quran, Tafsir dan Terjemahannya" yang diterbitkan Departemen Agama: "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir."
Terjemahan bahasa Inggrisnya juga banyak versinya. Salah satunya berbunyi begini: "Whoever wants, let him believe, and whoever wants, let him disbelieve".
Terjemahan Inggris Quran karya Maulana Muhammad Ali menggunakan kalimat yang lain: "The Truth is from your Lord; so let him who please believe, and let him who please disbelieve".
Maknanya sama, penekanannya saja yang beda-beda tipis.
Saya coba membaca ulang beberapa buku tafsir klasik berbahasa Arab. "Tafsir At-Thabary" memaknai ayat itu agak lain. Menurutnya, kalimat ayat itu adalah salah satu bentuk ancaman, bukan penyerahan atau pembiaran kepada seorang manusia untuk beriman atau tidak beriman. Imam Thabary mengatakan, maksudnya adalah bahwa jika Allah menghendaki seseorang menjadi beriman, maka orang itu akan beriman. Sebaliknya, jika Allah menghendari seseorang menjadi kafir, maka ia akan kafir.
Saya tidak begitu sependapat dengan cara dan argumen acuan Imam Thabary ketika memaknai ayat tersebut. Karena itu, dalam beberapa artikel, jika mengutip ayat itu, saya menerjemahkannya dengan bahasa yang agak gaul: "Yang mau beriman, silahkan! Yang mau kafir, silahkan juga!" Ra opo-opo.
Saya tertarik menulis artikel singkat ini tentang ayat itu, sambil berharap dapat dijadikan sebagai salah satu acuan perbandingan ketika menyikapi pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron tentang Islam dan umat Islam, yang belakangan diributkan banyak orang.
Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 04-11-2020M/ 18-03-1442H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H