Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Seorang Almarhum dari Alam Barzakh

5 Agustus 2019   16:30 Diperbarui: 5 Agustus 2019   17:09 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ini, yang kutulis dari alam barzakh, mengulas periode waktu selama 7 hari pertama sejak aku dinyatakan meninggal dunia.


Layar-1

Persis seminggu silam, seorang dokter menulis keterangan resmi yang menjelaskan bahwa secara medis dan klinis, badan atau tubuhku telah meninggal dunia pada hari-tanggal-bulan-tahun sekian, jam sekian, menit sekian, dan detik sekian. Tubuhku tak lagi bernyawa. Telah wafat dan disemati predikat almarhum, sebagian menyebutku mendiang atau yang mangkat.

Sesaat kemudian, kabar wafatku pun beredar secara berantai di beberapa group Medsos. Sebagian mendengarkan kabar wafatku langsung dari orang lain. Hampir semua orang yang mendengar kabar wafatku langsung berdoa, dengan caranya masing-masing:  mengucapkan atau menuliskan kalimat inna-lillahi-wa-inna-ilaihi-raji'un, yang dicopy-paste.

Catatan ini, yang kutulis dari alam barzakh, mengulas periode waktu selama 7 hari sejak aku dinyatakan meninggal dunia. Tentu periode waktu sepekan itu berdasarkan siklus perhitungan waktu manusia di dunia.

Sebab, setelah rohku memasuki alam barzakh, aku atau rohku juga baru menyadari bahwa di alam barzakh ini tak ada lagi siklus waktu: tak ada malam, tidak ada siang, tak pula ada pagi-siang-sore, malam-tengah malam, dini hari. Tak ada perbedaan kemarin-hari ini-esok hari dan seterusnya.

Pendek kata, alam barzakh tak mengenal predikat waktu. Sebelum-kini-sesudah telah menjadi satu dimensi. Masa lalu - masa kini - masa depan melebur menjadi nir-demensi waktu.

Dan bukan hanya itu. Di sini, di alam barzakh ini, juga tak ada dimensi ruang. Akibatnya, tak ada kiri-atau-kanan, tak lagi ada muka-atau-belakang, tak pula ada atas-atau-bawah, tak ada lagi yang bisa dikategorikan jauh atau pun dekat. Tak ada dikhotomi antara terjangkau dan tak-terjangkau.

Layar-2

Aku tak ingat persis bagaimana proses perpisahan antara rohku dan tubuhku,  yang menandai bahwa aku telah mati, meninggal dunia.

Juga tak ingat apakah roh atau nyawaku itu keluar dari ubun-ubun kepalaku, atau keluar melalui ujung jari jempol kaki kananku, atau dari jari telunjuk tangan kananku, atau jari kelingking tangan kiriku. Sekalabat, rohku terpisahkan dari jasadku.

Seingatku, pada malam Jumat sepekan lalu itu, sepulang kerja, aku berbaring di ruang tamu di rumahku. Lalu tiba-tiba mengalami semacam keadaan sulit bernapas secara normal. Saat itu, aku sempat berbersyahadat dua-tiga kali, sebelum akhirnya rohku terlepas dari jasadku, yang menurut medis, sekali lagi, aku telah meninggal dunia. Mati.

Namun, setelah momentum perpisahan roh dan jasadku, ternyata rohku tak mengalami perubahan tabiat apapun. Aku merasa, kesadaran rohku tetap seperti saat aku masih hidup di dunia. Bisa melihat dan mengamati.

Kini aku bergaul dengan roh-roh lain yang terpisahkan dari ratusan-ribuan-jutaan-milaran jasad, yang telah lebih dulu atau berbarengan meninggal dunia denganku.

Layar-3

Sesaat kemudian, yang hanya berselisih sepersekian detik dari momen sejak aku dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, dari "dunia lain", aku (atau mungkin mata rohku) tetap bisa melihat dan mengamati semua orang-orang terdekatku yang bersedih, berkabung dan menangis.

Aku mengamati sebagian teman-temanku hadir melayat, beberapa tetanggaku nimbrung, kolega-kolegaku sebagian hadir melayat dan sebagian lainnya mengirimkan karangan bunga. Keluargaku yang tinggal jauh dari lokasi wafatku mengirimkan doa.

Dari semua ucapan duka itu, yang paling banyak adalah mereka yang berkabung dengan menulis kata berduka melalui media sosial.

Selama beberapa jam setelah meninggal dunia, ketika jenazahku masih disemayamkan di rumah duka, aku mengamati jenazahku terbaring kaku, diam tak berdaya, terbungkus kain, dilayat dan dikelilingi banyak pelayat, yang datang silih berganti.

Kemudian jenazahku dimandikan dan dikafani, disembahyangkan, lalu dipapa ke tandu, kemudian diantar ke kuburan, dimasukkan ke liang lahat, dan dibacakan doa. Setelah itu, aku mengamati semua pelayat pulang dari kuburan dan kembali ke tempatnya masing-masing.

Di kuburan, aku melihat tubuhku teronggok kaku, tak berdaya di dalam ruang sebidang tanah, seukuran jenazahku, yang bagian atasnya dilapisi papan pelindung, yang tertimbun tanah di kedalaman sekitar 1,5 meter di bawah permukaan bumi. Tak satu pun hartaku yang diikutkan untuk dikuburkan bersama jenazahku. Hanya aku dan kain kapan, yang pengikatnya telah dilepas.

Layar-4

Dari alam barzakh, aku mengamati beberapa orang datang ke rumahku, sebagian dari mereka aku kenal sebelumnya, sebagian lainnya tidak pernah bertemu sebelumnya. Mereka diundang untuk membacakan ayat-ayat quran selama tujuh malam berturut-turut. Khataman quran dan setiap malam mereka mendoakan semoga pahala bacaan Quran itu mengalir untukku di alam barzakh.

Layar-5

Dari alam barzakh, aku dapat mengambati beberapa orang yang pernah menjadi muridku secara langsung ataupun tidak langsung, mereka yang pernah belajar sesuatu kebaikan dariku. Dari merekalah aku mendapatkan semacam "siraman kedamaian" setiap kali para mantan muridku itu mempraktekkan dan/atau mengamalkan ilmu yang pernah aku ajarkan kepada mereka.

Aku juga melihat si Fulan, Allan dan yan lainnya, yang pernah aku bantu dengan sepenuh ikhlas, yang tak pernah lupa berdoa untukku. Doa mereka senantiasa menjadi penyejuk arwahku di alam barzakh.

Layar-6

Dari alam barzakh, dengan mata rohku, aku bisa mengamati seluruh bagian bumi seperti seorang manusia melihat sebutir telur. Dari berbagai titik di bumi itu, aku melihat beberapa titik yang memancarkan sinar yang begitu membahagiakan. Aku tak bisa mengidentifikasinya satu per satu.

Namun salah satu di antara titik cahaya itu muncul dari sebuah rumah, berbentuk mushalla yang pernah aku mampiri untuk shalat, dan setelah shalat, aku memasukkan sejumlah uang recehan ke celengan yang diletakkan di pintu mushalla. Di titik lain muncul dari sebuah panti asuhan yang aku pernah menyisihkan uang relatif besar untuk pembangunannya.

Aku diberitahu bahwa cahaya kebahagiaan itu disebabkan oleh sumbangan yang aku masukkan ke celengan mushalla dan panti asuhan, yang kemudian digunakan untuk memperbaiki kerusakan bangunan mushalla dan panti asuhan itu. Mungkin ini yang disebut amal jariyah. Makin besar kadar keikhlasanku dalam nilai sumbangannya, semakin besar cahaya yang memancarkan kebahagiakan untukku.

Layar-7

Tapi aku pun bisa melihat orang-orang yang pernah aku zalimi, sengaja ataupun tidak disengaja, juga orang yang pernah aku perlakukan secara tidak layak.

Sebagian dari mereka memaafkan kezalimanku, sebagian lainnya memaafkanku setengah hati, namun sebagian kecil dari mereka masih mendendam, dan tak memberi maaf kepadaku. Dari mereka inilah aku terus dirongkrong dan mendapatkan semacam "lembar tagihan" yang membebaniku di alam barzakh, yang tentu saja tak bisa lagi aku "membayar atau melunasinya". Aku hanya berharap, mereka memaafkan kezalimanku.

Layar-8

Saya tahu, setelah membaca ulasan singkat tentang alam barzakh di atas, uneg-uneg yang mungkin langsung muncul di benak Anda semua para pembaca adalah pertanyaan: "Apakah surga dan neraka itu benar adanya?"

Jika aku tuliskan tentang surga dan neraka itu, dari alam barzakh ini, kalian pembaca yang masih hidup di dunia, mustahil bisa mempercayainya. Sebab imajinasi paling liar sekalipun dari kalian yang masih berpredikat manusia yang masih hidup di dunia, takkan mampu menggapainya. Tak tepermanai.

Tak ada kosakata dalam bahasa apapun di dunia yang mampu menggambarkan misalnya tentang kenyamanan dan ketersiksaan di alam barzakh.

Kalau ingin menggambarkan sesuatu yang nyaman dengan kosakata "nyaman" atau "sangat nyaman", misalnya, pun tidak akan bisa menggambarkannya secara persis. Dan perbendaharaan kosakataku tidak mampu menggambarkan tingkat kenyamanannya.

Begitu juga kalau saya mau menggambarkan ketersiksaan dengan menggunakan kotakata "sangat pedih" pun takkan mampu menggambarkan kepedihannya.

Di alam barzakh ini, segala hal yang telah kulihat dan sudah kualami selama satu minggu pertama, sungguh benar-benar berbeda.

Sesuatu yang tak pernah dilihat oleh mata kepala manusia yang masih hidup, tak pula pernah didengar oleh telinga manusia yang masih hidup, bahkan tak pernah sekedar terlintas pun di imajinasi paling liar oleh manusia yang masih hidup di dunia.

Syarifuddin Abdullah | Den Haag, 05 Agustus 2019/ 04 Dzul-hijjjah 1440H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun