Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pernah Saya Melarang Anak Mengerjakan PR-nya, Ini Argumennya

24 Juli 2018   12:00 Diperbarui: 24 Juli 2018   15:34 2616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Singkat cerita, pak/guru itu memang tidak menelepon balik. Dan setelah itu, anak saya memang tidak pernah lagi diwajibkan mengerjakan PR seperti di atas (234 dikurangi 178) selama duduk di kelas 2 dan 3 SD.

Padahal, seandainya pun pak/ibu gurunya menelepon, saya cuma ingin bertanya dan memastikan apakah ada standar teorinya untuk memberikan PR pengurangan (234 dikurangi 178) untuk kelas 2 SD.

Sebab sering terjadi, para guru SD berimprovisasi sendiri di kelas, memaksa anak didiknya untuk memahami materi pelajaran, tanpa acuan yang jelas. Malah terkesan ada guru SD atau sekolahan yang sok jagoan atau berlomba dan bersaing antar guru dalam hal menjejali anak muridnya materi pelajaran tanpa acuan teoritis yang jelas.

Dan protes saya itu bukannya tanpa alasan.

Pertama, sekali lagi, dulu, dulu lho, saya diajari model pengurangan seperti itu (234 dikurangi 178) ketika kelas 4 atau 5 SD. Dan saya tidak memiliki argumentasi yang cukup untuk menerima bahwa anak-anak sekarang lebih cerdas daripada anak-anak jadul (jaman dulu).

Orang-orang Indonesia yang saat ini berusia lebih dari 50-an tahun dan menjadi jagoan di bidangnya masing-masing adalah anak-anak yang tidak pernah diajari pengurangan seperti itu (234 dikurangi 178) waktu kelas 2 SD.

Kedua, saya kenal beberapa teman yang pernah bertugas di Eropa dan membawa serta anak-anak mereka, dan karena itu, menyekolahkan anaknya di sekolah dasar di Eropa. Dan setelah habis penugasan, membawa pulang lagi anaknya ke Indonesia.

Contoh kasus: seorang teman bertugas di Jerman, dan anaknya sudah kelas 3 SD di Jerman, ketika harus kembali ke Indonesia. Anaknya itu kemudian dimasukkan di kelas 3 juga di sebuah SD di Jakarta. Betapa kagetnya, karana  si anak itu ternyata tidak mampu mengikuti pelajaran kelas 3 SD di Jakarta, karena standar pelajarannya jauh lebih tinggi dibanding kelas 3 yang sederajat SD di Jerman. Solusinya, anak itu terpaksa harus dikursuskan kurang lebih satu semester agar mampu mengikuti pelajaran kelas 3 di Jakarta. 

Kesimpulan saya, standar materi ajar di Indonesia untuk kelas 3 SD jauh lebih tinggi dibanding kelas sederajat di Jerman. Saya tidak tahu, ini aneh atau atau hanya soal gagah-gagahan pihak sekolah dan guru di Indonesia atau ada yang salah dengan kurikulum nasional.

Ketiga, namanya sekolah dasar, materi ajar mestinya memang seharusnya adalah dasar-dasar pengetahuan, yang diatur sesuai dengan jenjangnya.

Sebagai gambaran, murid sekolah dasar di negara-negara maju diajari tiga materi utama:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun