Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pernah Saya Melarang Anak Mengerjakan PR-nya, Ini Argumennya

24 Juli 2018   12:00 Diperbarui: 24 Juli 2018   15:34 2616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika anak pertama saya masih duduk di kelas dua SD, pada suatu malam di rumah, saya melihat Bundanya sibuk mengajarinya PR (Pekerjaan Rumah) matematika: pengurangan bilangan ratusan.

Anak saya terlihat kebingungan dan menguras tenaganya, namun tidak paham-paham juga, meski sudah berkali-kali diajari oleh ibunya melakukan pengurangan itu. Saya lalu iseng bertanya, "Kayaknya susah banget PR-nya?"

"Iya, nih, PR-nya susah banget. Mana gurunya mewajibkan harus bisa", kata anak saya.

Lalu saya melihat soal PR-nya: 234 dikurangi 178.

Seingat saya, waktu masih SD dulu, pengurangan seperti itu baru diajarkan ketika duduk di kelas 4 atau bahkan kelas 5 SD. Dan memang sulit. Sebab untuk menyelesaikan satu kolom pengurangan itu (4 dikurangi8), angka 4 harus mengambil satu dari angka di sebelah kirinya (3), sehingga angka 4 menjadi 14, kemudian dikurangi 8, dan hasilnya adalah 6. Selanjutnya, angka di kolom dua (3) karena sudah diambil 1 berarti tinggal 2, jika dikurangi 7, hasilnya minus 5. Maka angka 2 itu harus mengambil satu lagi dari angka di sebelah kirinya (1), sehingga angka 2 menjadi 12, dikurangi 7, hasilnya adalah 5. Dengan demikian, 234 dikurangi 178 = 56. 

Pengurangan berbelit seperti itu, saya pikir, tentu memaksa seorang anak untuk berpikir tiga tahap untuk menyelesaikan satu kolom pengurangan. Artinya, terlalu berlebihan untuk anak kelas 2 SD.

Mungkin karena itu, saya agak emosi melihat soal PR-nya. Dan spontan saya perintahkan anak untuk tidak usah mengerjakan PR-nya itu.

"Kalau guru marah dan bertanya kenapa PR tidak dikerjakan, gimana menjawabnya, ayah?" Anak saya bertanya memprotes.

"Bilang kepada gurumu, ayahku melarangku untuk mengerjakan PR itu. Kalau pak/ibu gurumu yang memberikan PR itu tidak terima, minta dia telepon ke ayah!" Jawab saya dengan nada agak tinggi.

Akhirnya, anak saya memang tidak mengerjakan PR tersebut. Lalu di kertas PR itu, saya tulis tangan komentar yang kira-kira berbunyi begini: "Yth Bapak/Ibu guru. Apakah PR 234 dikurangi 178 ini layak diberikan kepada anak kelas 2 SD?"

Dan besoknya, anak saya juga menyampaikan kepada pak/ibu gurunya untuk menelepon saya (ayah) jika tidak menerima larangan saya.

Singkat cerita, pak/guru itu memang tidak menelepon balik. Dan setelah itu, anak saya memang tidak pernah lagi diwajibkan mengerjakan PR seperti di atas (234 dikurangi 178) selama duduk di kelas 2 dan 3 SD.

Padahal, seandainya pun pak/ibu gurunya menelepon, saya cuma ingin bertanya dan memastikan apakah ada standar teorinya untuk memberikan PR pengurangan (234 dikurangi 178) untuk kelas 2 SD.

Sebab sering terjadi, para guru SD berimprovisasi sendiri di kelas, memaksa anak didiknya untuk memahami materi pelajaran, tanpa acuan yang jelas. Malah terkesan ada guru SD atau sekolahan yang sok jagoan atau berlomba dan bersaing antar guru dalam hal menjejali anak muridnya materi pelajaran tanpa acuan teoritis yang jelas.

Dan protes saya itu bukannya tanpa alasan.

Pertama, sekali lagi, dulu, dulu lho, saya diajari model pengurangan seperti itu (234 dikurangi 178) ketika kelas 4 atau 5 SD. Dan saya tidak memiliki argumentasi yang cukup untuk menerima bahwa anak-anak sekarang lebih cerdas daripada anak-anak jadul (jaman dulu).

Orang-orang Indonesia yang saat ini berusia lebih dari 50-an tahun dan menjadi jagoan di bidangnya masing-masing adalah anak-anak yang tidak pernah diajari pengurangan seperti itu (234 dikurangi 178) waktu kelas 2 SD.

Kedua, saya kenal beberapa teman yang pernah bertugas di Eropa dan membawa serta anak-anak mereka, dan karena itu, menyekolahkan anaknya di sekolah dasar di Eropa. Dan setelah habis penugasan, membawa pulang lagi anaknya ke Indonesia.

Contoh kasus: seorang teman bertugas di Jerman, dan anaknya sudah kelas 3 SD di Jerman, ketika harus kembali ke Indonesia. Anaknya itu kemudian dimasukkan di kelas 3 juga di sebuah SD di Jakarta. Betapa kagetnya, karana  si anak itu ternyata tidak mampu mengikuti pelajaran kelas 3 SD di Jakarta, karena standar pelajarannya jauh lebih tinggi dibanding kelas 3 yang sederajat SD di Jerman. Solusinya, anak itu terpaksa harus dikursuskan kurang lebih satu semester agar mampu mengikuti pelajaran kelas 3 di Jakarta. 

Kesimpulan saya, standar materi ajar di Indonesia untuk kelas 3 SD jauh lebih tinggi dibanding kelas sederajat di Jerman. Saya tidak tahu, ini aneh atau atau hanya soal gagah-gagahan pihak sekolah dan guru di Indonesia atau ada yang salah dengan kurikulum nasional.

Ketiga, namanya sekolah dasar, materi ajar mestinya memang seharusnya adalah dasar-dasar pengetahuan, yang diatur sesuai dengan jenjangnya.

Sebagai gambaran, murid sekolah dasar di negara-negara maju diajari tiga materi utama:

a. Pola perilaku standar dalam berhubungan dengan orang lain. Materi ini sama dengan materi akhlak. Misalnya bagaimana memperlakukan, berbicara dan menyapa dengan santun orang yang lebih tua, sebaya, dan yang lebih muda; cara berpakaian; menjaga kebersihan; dan seterusnya.

b. Berbahasa yang benar dan santun, sesuai bahasa asli ibunya. Dalam kasus Indonesia tentu adalah bahasa indonesia. Materi bahasa ini berkaitan langsung dengan materi perilaku standar.

c. Matematika dasar, yang intinya adalah logika atau berpikir logis. Sebab pelajaran matematika bukan hanya soal tambah-kurang-kali-bagi, tapi yang lebih utama dalam pelajaran matematika untuk tingkat sekolah dasar adalah mengarahkan anak didik untuk berpikir logis. Angka 9 misalnya bisa diperoleh lewat berbagai cara: 3+3+3; 3x3; 5+5-1; dan seterusnya. Jadi selain belajar perhitungan dasar juga menanamkan pola berpikir logis: bahwa segala sesuatunya harus melalui proses yang logis. Tujuannya agar anak tidak terbiasa berpikir instan, sim salabim dan gampang terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat klenis-mistis.

Saya mungkin salah. Soalnya saya bukan pakar pendidikan. Namun hingga saat ini, saya masih meyakini penuh semua argumen yang dijelaskan dalam artikel ini, ketika saya melarang anak untuk mengerjakan PR-nya itu. Any suggestions?

Syarifuddin Abdullah | 24 Juli 2018 / 11 Dzul-qa'dah 1439H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun