Ketika mulai melancarkan operasi militer untuk memerangi kelompok Al-Houti di Yaman pada 26 Maret 2015, selama beberapa minggu pertama, Jubir militer Kerajaan Saudi Arabia (KSA), Mayjen Ahmad Asiri, berkali-kali sesumbar di media menegaskan, operasi telah berjalan sesuai tahapan frame of time yang telah ditentukan.
Sedemikian rupa pernyataan publik yang ditayangkan live hampir setiap hari itu, sehingga terkesan ingin menggiring dan meyakinkan publik pemirsa bahwa seolah-olah operasi militer di Yaman akan segera tuntas besok atau lusa harinya.
Tapi bagi pemirsa dan pengamat yang cermat, pernyataan Jubir militer itu sekedar konsumsi media. Propaganda perang. Dan terbukti banyak kelirunya. Sebab intervensi KSA di Yaman sampai Agustus 2017, telah berlangsung 2 tahun + 5 bulan.
Secara pribadi, saya yang cuma paham sedikit tentang kulit-kulit teori perang, sejak awal sudah menduga dan menyampaikan dalam beberapa diskusi terbatas: KSA masuk ke perangkap kubangan yang tidak akan mudah dan mungkin nantinya akan kebingunan menemukan jalan keluarnya.
Sebab untuk mengalahkan Al-Houti di Yaman, KSA dan koalisinya harus mampu memasuki dan menguasai ibukota Sana'a, yang dikuasai oleh Al-Houti. Persoalannya, untuk memasuki Sana'a, ada beberapa syarat utama, yang mohon maaf dan dengan segala hormat, semuanya tidak dimiliki oleh KSA saat itu dan juga saat ini.
Pertama, untuk memasuki dan mengambil alih Sana'a diperlukan pengerahan pasukan darat secara massif. Dan KSA tidak memiliki atau mungkin tidak siap menanggung konsekuensi jika harus mengerahkan pasukan darat dalam jumlah besar ke Yaman.
Sebab secara geografis, wilayah tempur di Yaman bagian utara dan barat sangat luas. Belum lagi medannya yang tandus. Dan umumnya jalan akses dari Saudi ke/dari Sana'a melintasi dan meliuk-liuk di lembah pegunungan, sehingga pasukan darat penyerang bisa menjadi makanan empuk bagi milisi Al-Haouti.
Selain itu, meskipun memiliki berbagai jenis senjata mutakhir, tapi militer KSA tak memiliki pengalaman tempur darat berskala besar. KSA memang pernah terlibat aktif dalam Operation Desert Storm (17 January 1991 - 28 Februari 1991) untuk membebaskan Kuwait. Tapi itu operasi Amerika, Bung.
Disadvantage ini (absennya pasukan darat skala besar) coba ditutupi dengan cara memaksimalkan serangan dari selatan (Aden), dengan pertimbangan medannya relatif bersahabat, banyak kabilah pendukung Koalisi yang berbasis di selatan dan timur Sana'a, dan Pemerintahan Abduh Rabbu Mansour Hadi yang tergulingkan juga berbasis di selatan. Tapi lagi-lagi: tak ada pasukan darat dalam jumlah besar. Beberapa kali memang diberitakan, pasukan Koalisi sempat merangsek ke provinsi yang melingkari ibukota Sana'a dari arah barat-laut, selatan, tenggara dan timur. Namun tampaknya penetrasi itu bisa dipukul mundur oleh milisi Al-Houti.
Untuk menutupi tidak adanya pasukan darat berskala massif tersebut, KSA memaksimalkan gempuran udara. Tapi secara militer, mengandalkan serangan udara saja, tanpa dukungan pasukan darat, tidak akan efektif.
Selain itu, gempuran udara juga sangat rentan dengan pembunuhan rakyat sipil (non-kombatan) dan hancurnya infrastruktur. Belakangan muncul sebuah laporan tim PBB yang menyebutkan, ribuan anak-anak dan ibu-ibu tewas akibat gempuran udara, yang memang sulit membedakan mana pasukan tempur dan mana rakyat non-kombatan.
Kedua, KSA tak memiliki dukungan signifikan di dalam wilayah Yaman, di utara, barat ataupun selatan. Sebab pasukan reguler Yaman yang loyal kepada Presiden Yaman yang digulingkan, Abduh Rabbu Mansour Hadi, yang awalnya diduga solid, ternyata amat rapuh dan ringkih.
Kalau mengamati jalannya pertempuran di Yaman selama dua tahun lebih, KSA dan koalisinya juga terkesan miskin intelijen tempur untuk mengetahui dan memastikan sasaran.
Lagi pula, milisi kabilah-kabilah yang pro Koalisi (baca pro KSA), yang sebagian berbasis di selatan, tidak bisa diandalkan, dan tidak cukup solid untuk melancarkan serangan dan pertempuran yang berdisiplin dan sistematis.
Ketiga, untuk melancarkan serangan ke Yaman, tampaknya KSA tidak memiliki alasan etis dan legalitas yang cukup memadai dan kuat untuk menggempur Yaman. Banyak orang bingung menemukan alasan etis dan legalitas untuk menjustifikasi serangan KSA terhadap Yaman, yang notabene sudah lama dikategorikan "negara gagal".
Untuk menutupi alasan etis dan legalitas serangan itu, KSA sebenarnya sudah mencoba menutupinya dengan cara membentuk Koalisi yang terdiri dari 10 negara (Bahrain, Jordan, Kuwait, Maroko, Mesir, Qatar, Saudi, Senegal, Sudan, UAE). Tapi belakangan berita-berita tentang Koalisi itu kian lama makin menguap.
Kesimpulan yang kemudian mengemuka adalah bahwa sejumlah anggota Koalisi menilai alasan etis dan legalitas serangan terhadap Yaman terlalu "Saudi banget": khawatir terhadap Al-Houti yang bermazhab Syiah dan didukung oleh Iran.
Akibatnya, setelah berjalan beberapa bulan dan sampai hari ini, meskipun disebut Koalisi Pimpinan Saudi (Saudi led-coalition), praktis serangan ke Yaman adalah serangan KSA, tentu dengan bantuan beberapa negara Teluk, terutama Uni Arab Emirates (UAE).
Sebenarnya masih ada beberapa faktor lain, yang bisa dideret di sini. Namun dengan tiga faktor di atas  saja, sudah cukup untuk mengatakan KSA masuk kubangan di Yaman dan belum tahu way-out yang elegan. Dan konsekuensinya berujung pada sederet kebijakan dan kesimpangsiuran yang sudah terjadi dan tampaknya masih akan berlanjut. Dan berikut adalah beberapa catatan:
Pertama, awalnya operasi menyerang Yaman menggunakan sandi Operation Decisive Storm (Operasi Badai Ketegasan), 26 Maret 2015. Tapi setelah berlangsung kurang dari satu bulan, nama sandinya diubah menjadi Operation Restoring Hope (Operasi Mengembalikan Harapan) 22 April 2015). Dan sejauh yang saya amati, tidak pernah ada penjelasan rasional kenapa sandi operasi itu diubah.
Perubahan sandi operasi militer itu menunjukkan tidak matangnya operasi KSA di Yaman, sejak awal. Atau boleh jadi, perubahan sandi adalah indikator kepercayaan diri akan kemenangan. Mungkin juga perubahan nama sandi operasi itu karena tidak solidnya Koalisi 10 negara.
Kedua, tidak ada yang meragukan kemampuan finansial KSA untuk membiayai perang di Yaman. Tapi sebuah perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun dan belum ada tanda-tanda akan berakhir seperti apa, justru membuktikan bahwa Perang Yaman sudah di luar kendali dan telah melenceng jauh dari frame of time, dan tentu telah menelan biaya yang besar. Meskipun harus diakui bahwa dalam sejarah, memang belum pernah ada perang yang benar-benar terkendali. Namun perang yang tidak jelas wayout-nya sesungguhnya sudah merupakan kekalahan.
Ketiga, secara politis, tujuan utama KSA dalam menggempur Yaman adalah menggulingkan pemerintahan Al-Houti (tentu dalam upaya membendung pengaruh dan penetrasi Iran dan ideologi Syiah di Yaman) dan mengembalikan Abduh Rabbu Mansour Hadi ke kursi Presiden Yaman. Dan sejauh ini, belum ada indikasi kuat bahwa tujuan utama itu akan teralisir.
Keempat, di tengah ketidakjelasan itu, pada pertengahan Agustus 2017, tiba-tiba santer berita yang menyebutkan, Putra Mahkota Muhammad bin Salman sejak April 2017 sudah melakukan komunikasi email dengan pihak Amerika yang mengirim pesan bahwa KSA ingin keluar dari Yaman (baca: ingin menghentikan perang di Yaman). Seiring dengan itu, muncul juga berita bahwa KSA ingin membuka dialog dengan Iran. Hanya aneh, karena berita bahwa KSA ingin membuka dialog dengan Iran belakangan dibantah oleh pejabat Kerajaan Saudi yang tidak dipublikasikan identitasnya.
Jangan memulai sesuatu yang tak terbayang bagaimana mengakhirinya. Dan ketika bingung bagaimana mengakhirinya, maka jalan terbaik adalah mengakhiri kebingungan itu. Sebab cara terbaik mengatasi lingkaran setan adalah menggunting atau memotong lingkaran setan itu.
Syarifuddin Abdullah | 19 Agustus 2017 / 26 Dzul-qa'dah 1438H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H