Kedua, KSA tak memiliki dukungan signifikan di dalam wilayah Yaman, di utara, barat ataupun selatan. Sebab pasukan reguler Yaman yang loyal kepada Presiden Yaman yang digulingkan, Abduh Rabbu Mansour Hadi, yang awalnya diduga solid, ternyata amat rapuh dan ringkih.
Kalau mengamati jalannya pertempuran di Yaman selama dua tahun lebih, KSA dan koalisinya juga terkesan miskin intelijen tempur untuk mengetahui dan memastikan sasaran.
Lagi pula, milisi kabilah-kabilah yang pro Koalisi (baca pro KSA), yang sebagian berbasis di selatan, tidak bisa diandalkan, dan tidak cukup solid untuk melancarkan serangan dan pertempuran yang berdisiplin dan sistematis.
Ketiga, untuk melancarkan serangan ke Yaman, tampaknya KSA tidak memiliki alasan etis dan legalitas yang cukup memadai dan kuat untuk menggempur Yaman. Banyak orang bingung menemukan alasan etis dan legalitas untuk menjustifikasi serangan KSA terhadap Yaman, yang notabene sudah lama dikategorikan "negara gagal".
Untuk menutupi alasan etis dan legalitas serangan itu, KSA sebenarnya sudah mencoba menutupinya dengan cara membentuk Koalisi yang terdiri dari 10 negara (Bahrain, Jordan, Kuwait, Maroko, Mesir, Qatar, Saudi, Senegal, Sudan, UAE). Tapi belakangan berita-berita tentang Koalisi itu kian lama makin menguap.
Kesimpulan yang kemudian mengemuka adalah bahwa sejumlah anggota Koalisi menilai alasan etis dan legalitas serangan terhadap Yaman terlalu "Saudi banget": khawatir terhadap Al-Houti yang bermazhab Syiah dan didukung oleh Iran.
Akibatnya, setelah berjalan beberapa bulan dan sampai hari ini, meskipun disebut Koalisi Pimpinan Saudi (Saudi led-coalition), praktis serangan ke Yaman adalah serangan KSA, tentu dengan bantuan beberapa negara Teluk, terutama Uni Arab Emirates (UAE).
Sebenarnya masih ada beberapa faktor lain, yang bisa dideret di sini. Namun dengan tiga faktor di atas  saja, sudah cukup untuk mengatakan KSA masuk kubangan di Yaman dan belum tahu way-out yang elegan. Dan konsekuensinya berujung pada sederet kebijakan dan kesimpangsiuran yang sudah terjadi dan tampaknya masih akan berlanjut. Dan berikut adalah beberapa catatan:
Pertama, awalnya operasi menyerang Yaman menggunakan sandi Operation Decisive Storm (Operasi Badai Ketegasan), 26 Maret 2015. Tapi setelah berlangsung kurang dari satu bulan, nama sandinya diubah menjadi Operation Restoring Hope (Operasi Mengembalikan Harapan) 22 April 2015). Dan sejauh yang saya amati, tidak pernah ada penjelasan rasional kenapa sandi operasi itu diubah.
Perubahan sandi operasi militer itu menunjukkan tidak matangnya operasi KSA di Yaman, sejak awal. Atau boleh jadi, perubahan sandi adalah indikator kepercayaan diri akan kemenangan. Mungkin juga perubahan nama sandi operasi itu karena tidak solidnya Koalisi 10 negara.
Kedua, tidak ada yang meragukan kemampuan finansial KSA untuk membiayai perang di Yaman. Tapi sebuah perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun dan belum ada tanda-tanda akan berakhir seperti apa, justru membuktikan bahwa Perang Yaman sudah di luar kendali dan telah melenceng jauh dari frame of time, dan tentu telah menelan biaya yang besar. Meskipun harus diakui bahwa dalam sejarah, memang belum pernah ada perang yang benar-benar terkendali. Namun perang yang tidak jelas wayout-nya sesungguhnya sudah merupakan kekalahan.