Mengagungkan tamu lebih ke soal rasa. Jangan heran, ketika bertamu ke rumah seseorang, perasaan kita seolah seperti “burung dalam sangkar”: ingin secepatnya keluar dari rumah itu. Sebaliknya, sering juga kita bertamu ke rumah seseorang, dan perasaan kita seperti “ikan di dalam air”: betah tak ingin keluar dari rumah itu.
Dari perlakuan terhadap tamu juga, muncul kearifan lokal yang kira-kira berbunyi begini: “Jika ingin melihat ciri pemimpin yang baik, lihatlah gaya dan caranya memperlakukan tamunya.”
Saya termasuk yang salut pada gaya dan pola hidup sebagian kiai-kiai pondok di Indonesia. Melayani semua tamunya dengan cara yang sama. Seorang kiai pernah berkata “salah satu pekerjaan utama para kiai adalah menerima tamu.”
Namun saat ini banyak di antara kita yang sering memposisikan tamunya sebagai “pembawa masalah”, bukan sebagai “pembawa berkah”.
Sebagian orang juga menilai bahwa kedatangan tamu identik dengan beban dan anggaran tambahan. Padahal mengagungkan tamu tidak selalu identik dengan mewahnya pelayanan, atau penyediaaan menu makanan/minuman yang mahal dan wah.
Jangan pernah berpura-pura tulus menerima kedatangan tamu. Sebab kepura-puraan itu akan ditelanjangi oleh gaya dan cara memperlakukan tamu Anda.
Syarifuddin Abdullah | 15 Oktober 2016 / 14 Muharram 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H