Kearifan-kearifan lokal dalam menerima dan memperlakukan tamu bisa ditemukan di setiap komunitas etnis di manapun, termasuk di Indonesia. Dan hampir semuanya masih tetap layak dipertahankan. Meski sebagian sudah tak lazim lagi dipraktekkan.
Saya pernah melakukan perjalanan ke Kecamatan Mambi, Mamasa Sulbar (ketika masih menjadi wilayah Sulsel), dan saat itu belum ada penginapan. Padahal saya harus menginap. Atas saran seorang teman, saya mendatangi rumah seorang warga. Setelah memperkenalkan diri dengan santun, saya meminta perkenannya untuk diizinkan menginap di rumahnya. Warga itu tanpa pikir panjang: mempersilahkan saya menginap di rumahnya, selama 4 hari: tempat disediakan, seprei baru dan kelambunya dipasang, makan/minum gratis dan selama itu, saya dilayani seperti tamu hotel.
Ketika akan pamitan, saya bertanya; “Kenapa bapak-ibu memperlakukan saya sedemikian istimewa? Padahal bapak-ibu belum mengenal saya sebelumnya”. Warga itu menjawab enteng, “Para orangtua di kampung mengajari kami: pantang dan pemali menolak tamu yang sedang dalam perjalanan, dan meminta ingin menginap di rumah kami”.
Beragam cara menerima tamu itu bertujuan memuliakan tamu, mengagungkannya. Di kota Qom Iran, seorang teman bercerita, masih banyak warganya yang mempertahankan tradisi menerima dan memperlakukan pendatang/tamu selama tiga hari dengan fasilitas: tempat gratis dan makanan gratis. Siapa pun tamu itu.
Kalau ada ungkapan “pembeli adalah raja”, maka “Tamu adalah permaisurinya”. Setiap tamu layak dan berhak diperlakukan seperti raja atau permaisuri, yang dimuliakan dan diagungkan.
Di kalangan sebagian orang Mandar: kalau bertamu ke rumahnya, seluruh penghuni rumah akan sibuk tunggang langgang menyediakan sajian makan besar, dan tuan rumah akan “mewajibkan” sang tamu untuk makan, meski belum waktunya makan besar (siang dan malam).
Tradisi dan kearifan lokal tentang memuliakan tamu itu, semakin kental setelah dipertegas oleh teks-teks suci di semua agama, yang mengajarkan umatnya untuk menghormati tamu. Dalam Islam, misalnya, mengagungkan tamu bahkan dijadikan sebagai salah satu indikator kualitas keberimanan seorang Muslim.
“Anggap saja rumah sendiri”, adalah ungkapan yang sering terdengar dari tuan rumah kepada tamunya. Kira-kira semakna dengan ungkapan Bahasa Inggris “Serve yourself”. Tapi saat ini, ungkapan itu tampaknya berubah menjadi sekedar ungkapan basa-basi. Hanya terucap manis di mulut, tapi tak dimaknai di dalam hati, dan tamunya tetap diposisikan sebagai orang asing.
Karena tuntutan gaya hidup dan sentuhan protokoler modern, saat ini semua tamu harus pakai appoinment (janjian dulu) untuk menentukan waktu bertamunya, durasinya, bahkan pakaian tamu dan penjamunya,. Kadang bahkan dikonfirmasi dulu kepada tamunya: suka minum apa: panas atau dingin? Makanan ala Eropa modern atau tradisional? Cemilannya kur pie atau singkon rebus?
Mungkin Anda pernah – atau malah sudah sering – bertamu ke rumah seseorang, dan setelah beberapa lama, si tuan rumah bolak-balik menengok jam. Mengirim isyarat mengusir kepada tamunya: ini sudah jam berapa, sudah kelamaan, sudah waktunya pulang.
Sesama kolega kerja pun di satu kantor bertahun-tahun, banyak yang tidak/belum pernah saling berkunjung, dengan alasan bahwa rumah tinggal adalah ruang privat. Kalau ada teman yang tiba-tiba menelepon untuk bertamu ke rumah, kita lebih memilih untuk menjamunya di restoran. Tidak salah juga memang. Tapi kesannya kok takut amat kedatangan tamu di rumah.
Mengagungkan tamu lebih ke soal rasa. Jangan heran, ketika bertamu ke rumah seseorang, perasaan kita seolah seperti “burung dalam sangkar”: ingin secepatnya keluar dari rumah itu. Sebaliknya, sering juga kita bertamu ke rumah seseorang, dan perasaan kita seperti “ikan di dalam air”: betah tak ingin keluar dari rumah itu.
Dari perlakuan terhadap tamu juga, muncul kearifan lokal yang kira-kira berbunyi begini: “Jika ingin melihat ciri pemimpin yang baik, lihatlah gaya dan caranya memperlakukan tamunya.”
Saya termasuk yang salut pada gaya dan pola hidup sebagian kiai-kiai pondok di Indonesia. Melayani semua tamunya dengan cara yang sama. Seorang kiai pernah berkata “salah satu pekerjaan utama para kiai adalah menerima tamu.”
Namun saat ini banyak di antara kita yang sering memposisikan tamunya sebagai “pembawa masalah”, bukan sebagai “pembawa berkah”.
Sebagian orang juga menilai bahwa kedatangan tamu identik dengan beban dan anggaran tambahan. Padahal mengagungkan tamu tidak selalu identik dengan mewahnya pelayanan, atau penyediaaan menu makanan/minuman yang mahal dan wah.
Jangan pernah berpura-pura tulus menerima kedatangan tamu. Sebab kepura-puraan itu akan ditelanjangi oleh gaya dan cara memperlakukan tamu Anda.
Syarifuddin Abdullah | 15 Oktober 2016 / 14 Muharram 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H