[caption caption="File pribadi"][/caption]
Ini sebenarnya lagu lama. Setiap kali terjadi aksi teror, beberapa minggu setelahnya, semua orang bicara soal urgensi deradikalisasi. Itupun, kalau dicermati, tawaran gagasan yang muncul lebih sebagai pengulangan yang berulang-ulang. Habis itu seppiiiiii, terus aksi teror terjadi lagi, dan kembali semua orang bicara deradikalisasi, begitu seterusnya.
Kalau yang dimaksud adalah mengubah seorang radikal menjadi moderat, saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada efektivitas program deradikalisasi. Dan catatan kritis ini akan fokus pada beberapa asumsi dasar program deradikalisasi yang terkesan dipaksakan:
Pertama, jangankan mengubah seorang radikal menjadi moderat, mengubah seorang penganut paham NU tulen menjadi Muhammadiyah – atau sebaliknya – itu nyaris mustahil. Ini soal faham, dan faham itu memiliki rujukan, acuan argumentasi, kerangka teoritis dan landasan sejarah. Singkatnya, ini persoalan tafsir terhadap teks dan sejarah.
Kedua, suka tidak suka, radikalisme adalah ideologi yang memiliki rujukan, acuan argumentasi, kerangka teoritis dan landasan historisnya. Jangan hanya karena tidak setuju, kita lantas menggampangkan persoalan dengan mengatakan: radikalisme adalah ideologi yang ngawur. Sebab sepanjang sejarah, fenomena radikal adalah isu sentral dalam setiap agama dan aliran ideologi manapun.
Ketiga, ideologi radikal adalah sebuah faham yang sebenarnya kuno, dan senantiasa muncul dalam berbagai bentuk variannya, hampir pada setiap periode zaman. Dan itu membuktikan ideologi radikal tidak pernah mati, dan sulit ditanggulangi apalagi diberantas. Artinya diperlukan kecerdasan menyiasati tentang how to deal with radicalism. Mengelola kompleksitas yang saling bertubrukan memang tidak gampang.
Keempat, radikalisme selalu eksklusif, mulai dari metode pemahaman dan prose rekrutmen sampai ke lingkungan pergaulan. Mereka gampang curiga kepada dunia di luar lingkungannya. Maka seorang radikal Muslim umumnya hanya percaya pada mentornya.
Untuk membaca buku tertentu saja, dia harus izin dulu kepada mentornya. Jadi kalau pelaku program deradikalisasi menulis buku tentang deradikalisasi yang dipublikasikan – baik oleh lembaga pemerintah atau non-pemerintah – bisa dipastikan tidak akan dibaca oleh mereka yang sudah radikal, yang notabene menjadi sasaran program deradikalisasi. Dibaca pun tidak.
Contoh lain, di beberapa penjara, komunitas radikal ini bahkan melaksanakan shalat Jumat sendiri, terpisah dari shalat jumatan yang diselenggarakan pihak penjara. Mereka tidak mau mendengar khatib Jumat, yang tidak sealiran.
Kelima, seperti umumnya terminologi sosial, istilah radikal adalah sebuah term yang lentur, tergantung posisi dan perspektif apa yang digunakan dalam menilai dan menentukan apakah sebuah gagasan/perilaku dapat disebut radikal atau tidak radikal.
Di zaman pergerakan, seorang pejuang kemerdekaan akan diposisikan radikal atau ektremis oleh rezim penjajah. Di zaman Orde Baru kita mengenal istilah Raka (Radikal Kanan) yang dikonotasikan dengan kelompok Islam, dan Raki (Radikal Kiri), yang diasosiasikan dengan kelompok sosialis kiri (baca PKI).
Dan semua yang diposisikan radikal itu (kanan ataupun kiri) tidak mengakui diri mereka sebagai radikal. Mereka bersikap normal saja.
Keenam, jangan salah, untuk menjadi seorang radikal itu tidak gampang. Ada jenjang indoktrinasinya dan faktor loyalitas seorang rekrutmen kepada perekrutnya. Dan sesuatu yang dicapai dengan sulit, tentu akan melekat dan sulit diubah. Makanya, mengubah seorang radikal menjadi tidak radikal (moderat) juga tidak bisa digampangkan.
Ketujuh: tapi okelah. Kalau kita berkonsensus harus melakukan program deradikalisasi, maka diperlukan pemahaman cermat tentang klasifikasi sasaran program deradikalisasi. Di sini, kacamata pukul rata tidak bisa digunakan, yang tidak mempertimbangkan bahwa bobot radikalisme juga bisa berlapis-lapis.
Dan bobot berlapis tentang radikalisme seseorang atau kelompok itu dapat dilihat dalam diagram yang disederhanakan sebagai berikut:
[caption caption="File pribadi"]
Penjelasan diagram:
Lingkaran-1 (merah): figur atau kelompok atau organisasi, yang dapat dikategorikan telah mencapai titik kematangan radikalisme; Dan siap memperjuangkan ideologi radikalnya dengan cara kekerasan sekalipun (teror); Nyaris mustahil diubah menjadi moderat; Jumlahnya tidak terlalu banyak. Catatan: mereka yang sudah berangkat untuk berjihad ke Suriah dapat diklasifikasi bagian dari lingkaran lapis-1 (merah).
Lingkaran-2 (kuning): mereka yang memiliki pengetahuan relatif utuh tentang paham radikalisme, namun belum pernah terlibat langsung atau pun tidak langsung dalam aksi teror. Alumni beberapa ponpes tertentu di Indonesia masuk dalam kategori ini. Dan mereka cukup rentan bergeser ke lingkaran-1. Tidak ada angka pasti tentang jumlahnya, tapi diperkirakan ribuan orang.
Lingkaran-3 (abu-abu): yakni mereka yang sebenarnya tidak/belum utuh pemahaman radikalismenya, tapi cenderung menjadi simpatisan atau bersikap “dapat memahami” ideologi radikal. Mereka rentan menjadi sasaran rekrutmen. Jumlahnya bisa puluhan ribu orang.
Sementara lingkaran-4 (hijau): adalah masyarakat umum yang moderat dan cenderung anti radikal. Mereka inilah yang harus dibentengi agar tidak terkontaminasi oleh pemikiran deologi radikal.
Harus dicatat bahwa pergeseran dari lingkaran kuning, lalu masuk ke lingkaran merah bisa terjadi setiap saat, begitu juga dari lingkaran abu-abu ke lingkaran kuning.
Bila lingkaran berlapis radikalisme itu dikaitkan dengan program deradikalisasi, gambaran kesimpulannya kira-kira begini:
- Program deradikalisasi cenderung akan gagal total alias gak ngefek di lingkaran-1 (merah);
- Program deradikalisasi memiliki peluang sukses yang sangat terbatas dalam menggarap komunitas lingkaran-2 (kuning);
- Program deradikalisasi memiliki peluang sukses dan gagal secara seimbang, fifty-fifty, ketika menggarap komunitas lingkaran-3 (abu-abu).
Persoalannya, kita belum memiliki pemetaan yang cermat tentang jumlah komunitas pada setiap lapis itu (merah, kuning, abu-abu). Jangan heran bila program deradikalisasi sering dituding gagal.
Syarifuddin Abdullah | Rabu, 20 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H