Rumah panggung dua badan
Ada rumah panggung “satu badan”, yang hanya memiliki satu bubungan yang berbentuk kerucut, dengan lebar badan rumah rata-rata 7 s/d 8 meter.
Tapi juga mudah ditemukan rumah panggung dua badan (punya dua bubungan), dan lebar badan rumahnya sekitar 15-16 meter. Rumah dua badan ini, dulu merupakan salah satu indikator kemakmuran pemilik rumah. Sekarang tidak lagi, sebab sudah banyak rumah satu badan yang lebih mahal biayanya dibanding rumah berbadan dua.
Rumah panggung dengan tiang-tiang yang lurus
Membangun rumah panggung saat ini memerlukan biaya tinggi. Karena itu sangat jarang sebuah rumah panggung, yang menggunakan tiang yang semuanya lurus, kecuali tiang-tiang di bagian depan. Artinya setiap rumah selalu menggunakan tiang yang agak-agak bengkok.
Namun berdasarkan pengamatan saya, terutama di wilayah Sulsel, rumah panggung yang menggunakan tiang kayu dengan kelurusan yang nyaris sempurna, dan umumnya terbuat dari kayu besi, dapat ditemukan di wilayah kabupaten Barru, yang berjarak sekitar 80 km dari Makassar ke utara, setelah melewati Kab Maros dan Pangkep, dan dapat ditempuh dari Makassar sekitar 2 jam.
Kenapa rumah panggung kayu dan bukan rumah Jawa?
Bagi orang Sulawesi, rumah batu yang lantainya menempel ke tanah, biasanya disebut “Rumah Jawa”, yang mulai dikenal secara luas di Sulawesi sejak terjadi transmigrasi angkatan pertama ke Sulawesi, di jaman Bung Karno (kalau gak salah sekitar 1959). Tidak aneh, di wilayah Sulawesi Barat, misalnya, ada sebuah kecamatan bernama Kecamatan Wonomulyo, dan semua desanya memakai nama-nama Jawa: Desa Kediri, Desa Sumberjo, Desa Bumiayu dan seterusnya.
Pertanyaannya, kenapa orang Sulawesi jaman dulu pada umumnya membangun rumah panggung kayu, dan bukan “rumah jawa” dari batu-semen.
Ada sejumlah alasan yang sangat praktis dan rasional, sekaligus merupakan kearifan melakoni kehidupan keseharian, yang digali dan/atau mengacu pada tuntutan lokal.
Rumah kayu menjadi pilihan, saya pikir, karena material bangunan yang tersedia di depan mata dan mungkin relatif murah (ketika itu) adalah kayu. Belum ada pabrik semen dan tradisi membuat batu bata belum dikenal.