Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kearifan Lokal (07): Sekilas Filosofi Rumah Panggung

5 Januari 2016   11:31 Diperbarui: 5 Januari 2016   18:53 1636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: http://rumahminimal.com/wp-content/uploads/2015/06/Desain-rumah-panggung-minimalis-Rumahkayumurah.jpg"]

[/caption]

Syarifuddin Abdullah | Selasa, 05 Januari 2016

Kalau sempat dan berkenan, cobalah sesekali mencermati tradisi pembangunan rumah panggung di wilayah Sulawesi pada umumnya terutama di Sulsel, Sulbar dan Minahasa, dan Anda akan mendapatkan penjelasan yang hampir semuanya rasional terkait kearifan lokal, atau – if you will – filosofi yang melatarbelakangi setiap bagian dari rumah panggung.

Rumah panggung yang sempurna dan tanggung

Rumah panggung sempurna adalah rumah panggung yang bagian bawahnya (kolong rumah) setinggi sekitar 2,5 meter. Hampir semua rumah adat, misalnya Balla Lompoa di Sungguminasa Gowa adalah rumah panggung sempurna, yang bagian bawahnya bisa difungsikan untuk berbagai tujuan: beternak, bale-bale untuk istirahat, tempat menyimpan hasil pertanian, parkir kendaraan dan lain-lain.

Namun di beberapa wilayah, kita bisa menemukan rumah panggung yang tanggung, yang bagian bawahnya (kolong rumah) hanya setinggi sekitar satu meter (bahkan kurang), yang banyak ditemukan di wilayah Mamuju, Sulbar. Alasannya, konon karena dulu, Mamuju merupakan wilayah yang rawan gempa dan angin kencang, makanya warga membangun rumah panggungnya dengan ketinggian yang tanggung.

[caption caption="File pribadi"]

[/caption]

Atap (Bubungan) berbentuk kerucut

Bubungan (atap) yang berbentuk kerucut pada rumah panggung, konon merupakan cara menyiasati sinar matahari, pada jam-jam panas di siang hari (11.00 s/d 14.00).

Dengan bentuk kerucut, sengatan matahari tidak menabrak permukaan atap secara langsung, karena sengatan itu akan tergelincir mengikuti kemiringan atap yang berbentuk kerucut itu.

Rumah panggung dua badan

Ada rumah panggung “satu badan”, yang hanya memiliki satu bubungan yang berbentuk kerucut, dengan lebar badan rumah rata-rata 7 s/d 8 meter.

Tapi juga mudah ditemukan rumah panggung dua badan (punya dua bubungan), dan lebar badan rumahnya sekitar 15-16 meter. Rumah dua badan ini, dulu merupakan salah satu indikator kemakmuran pemilik rumah. Sekarang tidak lagi, sebab sudah banyak rumah satu badan yang lebih mahal biayanya dibanding rumah berbadan dua.

Rumah panggung dengan tiang-tiang yang lurus

Membangun rumah panggung saat ini memerlukan biaya tinggi. Karena itu sangat jarang sebuah rumah panggung, yang menggunakan tiang yang semuanya lurus, kecuali tiang-tiang di bagian depan. Artinya setiap rumah selalu menggunakan tiang yang agak-agak bengkok.

Namun berdasarkan pengamatan saya, terutama di wilayah Sulsel, rumah panggung yang menggunakan tiang kayu dengan kelurusan yang nyaris sempurna, dan umumnya terbuat dari kayu besi, dapat ditemukan di wilayah kabupaten Barru, yang berjarak sekitar 80 km dari Makassar ke utara, setelah melewati Kab Maros dan Pangkep, dan dapat ditempuh dari Makassar sekitar 2 jam.

Kenapa rumah panggung kayu dan bukan rumah Jawa?

Bagi orang Sulawesi, rumah batu yang lantainya menempel ke tanah, biasanya disebut “Rumah Jawa”, yang mulai dikenal secara luas di Sulawesi sejak terjadi transmigrasi angkatan pertama ke Sulawesi, di jaman Bung Karno (kalau gak salah sekitar 1959). Tidak aneh, di wilayah Sulawesi Barat, misalnya, ada sebuah kecamatan bernama Kecamatan Wonomulyo, dan semua desanya memakai nama-nama Jawa: Desa Kediri, Desa Sumberjo, Desa Bumiayu dan seterusnya.

Pertanyaannya, kenapa orang Sulawesi jaman dulu pada umumnya membangun rumah panggung kayu, dan bukan “rumah jawa” dari batu-semen.

Ada sejumlah alasan yang sangat praktis dan rasional, sekaligus merupakan kearifan melakoni kehidupan keseharian, yang digali dan/atau mengacu pada tuntutan lokal.

Rumah kayu menjadi pilihan, saya pikir, karena material bangunan yang tersedia di depan mata dan mungkin relatif murah (ketika itu) adalah kayu. Belum ada pabrik semen dan tradisi membuat batu bata belum dikenal.

Aslinya, semua rumah panggung menggunakan atap rumbia, yang dianyam. Alasannya, mungkin karena kerajinan membuat genteng dari tanah liat, belum dikenal. Atap rumbia juga relatif mudah diperoleh dan kadang gratis. Atap rumbia juga diyakini dapat meredam sengatan terik matahari, dan akhirnya cuaca di dalam rumah lebih sejuk, di musim panas sekalipun. Sekarang sudah banyak rumah panggung yang menggunakan atap seng, dan akibatnya, cuaca di dalam rumah pun gerahnya minta ampun.

Salah satu ciri khas utama rumah panggung kayu adalah semua bagiannya pasti ada celah ke udara bebas. Sebab lantai atau dinding rumah yang terbuat dari papan kayu, dibuat serapat apapun, pasti ada celah sekecil dan setipis apapun, yang membuat sirkulasi udara menjadi sangat alami. Penghuni tidak perlu pasang air conditioner (AC). Makanya, generasi Sulawesi yang dilahirkan dan hidup di rumah panggung kayu, jarang terserang “masuk angin”, sebab mereka sudah akrab dengan angin sejak kecil. (Bandingkan misalnya dengan rumah petak di kota-kota besar, saat ini, yang memiliki ruang terbuka ke udara bebas hanya di bagian depan. Sementara bagian belakang, samping kanan-kiri, tak ubahnya seperti kotak saja).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun