Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." -Gus Dur
Toleran, dikutip dari situs Kamus besar Bahasa indonesia (KBBI), "bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri".Â
Hal tersebut dapat diartikan sebagai suatu sikap saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan antara individu agar tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran.Â
Sikap tersebut merupakan sebuah sikap yang harus diambil bagi setiap warga negara Indonesia, terutama dengan beragamnya agama penduduk-penduduk Indonesia dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Sikap toleransi dengan saling mengenal dan memahami budaya masing-masing agama penting dalam masyarakat yang semakin beragam, hingga toleransi menjadi pondasi utama untuk menciptakan harmoni dan kedamaian.Â
Selain agama, sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan ras, Indonesia dengan bangga memiliki semboyan bhinneka tunggal ika, yang menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, toleransi tidak hanya berarti menerima keberadaan orang lain yang berbeda, tetapi juga melibatkan upaya aktif untuk memahami perspektif mereka.Â
Hal tersebut menjadi sangat relevan di era globalisasi dengan interaksi antar individu dari beragam latar belakang yang semakin beragam, serta berbagai budaya-budaya yang semakin marak dikembangkan.Â
Penerapan dan perkembangan sikap toleransi sangat penting untuk ditanggapi, terutama murid-murid sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran penting untuk melanjutkan sikap toleransi dan semakin menjembatani budaya-budaya Indonesia agar menyatu.Â
Berdasarkan Modul Belajar Mandiri Calon Guru yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, "Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosial kultur, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945".Â
Dari kutipan tersebut dapat diimplikasikan bahwa pendidikan dalam sekolah sudah menanamkan prinsip semangat kehidupan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, salah satunya berupa Persatuan Indonesia dari sila ke-3 Pancasila.Â
Karena itu, Kolese Kanisius sebagai lembaga pendidikan yang ternama di jenjang SMP dan SMA, mengadakan kegiatan ekskursi bagi angkatan SMA kelas 12. Ekskursi dalam konteks ini menjadi sebuah kegiatan pembelajaran diluar kelas yang langsung menerjunkan kami kedalam pengalaman langsung melain dari mencerna paparan teori dalam ruang belajar.Â
Murid-murid dipilah menjadi kelompok-kelompok yang kemudian lanjut dilontarkan ke berbagai pondok pesantren di provinsi Jawa Barat.Â
Kegiatan kali ini, diri saya dan 21 teman lainnya serta dua guru pendamping terlontar jauh ke kota Tasikmalaya di Pondok Pesantren Amanah Muhammadiyah. Pengalaman belajar dengan ikut serta secara langsung dan memperoleh pengetahuan autentik dan nyata sungguh menarik.Â
Pelan-pelan rombongan santri-santri menyambut keragaman Kanisian yang mendatangi dengan aneka kepercayaan dan aneka golongan. Namun dibalik variatifnya bentuk-bentuk perbedaan, tanpa keraguan segera tampak keakraban antar sesama.Â
Pandangan awal kegiatan ini menjadi sangat beda saat telah disambut dengan tangan terbuka. Setelah kata-kata sambutan, kami segera diajak berjalan keliling pesantren, melihat lingkungan yang begitu berbeda dari kota pusat ekonomi sungguh menyegarkan. Asrama yang dibedakan antara santri dan santriwati dengan ciri khas masing-masing kamarnya.Â
Lokasi yang dipenuhi kehijauan pula serta bangunan-bangunan yang meski terlihat tidak memadai, bagi mereka merupakan tempat kenangan-kenangan bersama teman dihasilkan. Kesederhanaan yang sangat tampak pada lokasinya pun menjadi sesuatu yang hingga kini menjadi hal yang sangat saya patuti untuk menjadi kebiasaan sehari-hari.Â
Berikutnya kami diarahkan ke ruangan dimana kami akan menetap untuk 3 hari 2 malam kedepannya. Ruangan tersebut berukuran besar, cukup untuk menampung 22 murid tanpa kesulitan, serta lantai yang diselimuti oleh karpet yang meski kasar, namun berfungsi sebagai tatakan menghindari lantai yang dingin.Â
Sisa hari kami diisi dengan mengikuti kegiatan-kegiatan setelah sekolah para santri-santri seperti silat, bermain basket, memanah, dan banyak lainnya. Malamnya kami diarahkan ke pendopo untuk makan bersama sambil bertukar cerita dari masing-masing kita. Kami menikmati hidangan yang sederhana namun mengenyangkan dengan penuh sukacita dengan bertukar senyuman.Â
Berikutnya kami diarahkan ke masjid untuk melakukan semacam pertukaran budaya bersama ustad. Diawali dengan mengambil perwakilan dari pesantren Amanah untuk memberi gambaran besar mengenai kehidupan di pesantren dan dilanjut dengan perwakilan dari Kolese Kanisius yang beragama Muslim untuk memberi kesan-kesan kehidupan bersekolahnya.Â
Setelah sesi berbagi tersebut, pak ustad kemudian memberi sebuah sesi khusus untuk mengajarkan cara menggunakan sarung secara benar dengan mengambil salah satu santri amanah dan mengambil saya sebagai perwakilan murid Kanisius. Sedikit yang saya tahu ternyata metode yang diajarkan adalah metode yang dianggap sulit dan untuk acara formal saja, sehingga menghabiskan waktu sekitar 10 menit untuk akhirnya mendapat hasil lipatan sarung yang indah.Â
Malam pun ditutup pada pukul 10 malam dan kami segera beres-beres untuk menyiapkan diri untuk kegiatan esok hari. Sesungguhnya saya ingin untuk melihat dinamika dalam kelas para santri-santri yang dari cerita-ceritanya terdengar cukup berat dengan jauh lebih banyak pelajaran yang diberi.
 Ternyata kami diajak untuk mendaki gunung Galunggung melalui "tangga kuning" yang terdiri dari 620 anak tangga dan perjalanan ke lokasinya pun sudah sangat menarik dengan menumpangi truk dan selama perjalanan menikmati udara jam 7 pagi yang segar.Â
Setelah sampai dan menguasai anak tangga, kami dikejutkan dengan pandangan kota Tasikmalaya yang begitu memesona dan ternyata daerah gunung Galunggung sempat menjadi tempat kaderisasi bagi anggota OSIS baru. Calon-calon anggota OSIS pesantren Amanah akan dilepas bebaskan di alam liar selama lima hari dan berusaha hidup menggunakan apa adanya yang diberikan alam.Â
Kami lanjut menjelajahi keindahan kota Tasikmalaya dengan diajak ke salah satu pemandian air panas alami dan menutup dengan hidangan ikan bakar bersama-sama. Kembalinya ke kamar waktu sudah menunjukkan pukul dua siang dan dengan badan yang lelah serta terbakar matahari, kami semua lelah dan beristirahatlah kita.Â
Waktu seketika berlalu dan waktu kini  mendekati pukul 17, yang mana seharusnya kami bangun jam 16 padahal. Ternyata guru pembimbing kami juga terbaring lelap, sehingga kegiatan yang seharusnya berlangsung pada jam 17 dimundurkan satu setengah jam.Â
Waktu luang tersebut kami manfaatkan untuk lebih banyak bersosialisasi dengan teman-teman santri dengan mengikuti kembali kegiatan setelah sekolah mereka. Banyak dari kami juga berjalan-jalan lebih mendalami pondok pesantren dan beberapa pergi ke toko serba ada Alfamart di sebelah pesantren untuk memperlengkapi kembali stok camilan dan  air.Â
Matahari pun lanjut terbenam dan hari mulai padam, kami kembali bertemu dibawah atap pendopo untuk menikmati hidangan malam terakhir kita. Setelah melahap santapan, kami berarah balik ke masjid untuk mengikuti acara berikutnya.Â
Kami diajak untuk mengikuti vocab session, yang mana mereka diberi satu kosakata dalam bahasa inggris dan bahasa arab. Pengalaman tersebut sungguh menyerukan terutama dengan cerianya para santri-santri dari SMP hingga SMA dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya.Â
Kami pun dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok untuk mendampingi dan membantu kakak-kakak kelas 12 yang mengajar para santri-santri lainnya, serta untuk bercerita-cerita. Suasana selama kegiatannya sungguh ceria dengan tawa dan tepuk tangan yang bergema dalam masjid.Â
Meskipun malam sudah menunjukkan pukul 8 pun, kami masih ada satu acara penutup yang telah direncanakan, yaitu pentas seni bersama santri dan santriwati SMA. Memasuki aula, kami sudah lelah dan berkeringat serta rangkaian kegiatan selanjutnya yang tidak jelas membuat kami agak kecewa.Â
Namun ternyata karena menjadi suatu sesi karaoke, membuat atmosfer ruang aula semakin bersemangat dengan nyanyi-nyanyi bersama. Teman-teman dari Kanisius ikut serta dalam memainkan piano dan melakukan duet dengan salah satu guru yang ternyata merupakan kontestan Indonesian Idol  dengan suara yang merdu.Â
Berbagai lagu dimainkan dan dinyanyikan hingga pukul 11 malam yang kemudian diakhiri dengan sesi foto bersama untuk mengakhiri malam terakhir kita. Kami segera kembali ke kamar dan tertidur pulas, menanti-nanti hari terakhir untuk kembali ke Kolese Kanisius.Â
Pagi harinya, kami menikmati santapan terakhir kami dan menutupnya dengan kata-kata penutup dari kepala sekolah Amanah serta sesi foto-foto lagi untuk menandakan berakhirnya kegiatan ekskursi Kolese Kanisius dengan Pondok Pesantren Amanah Muhammadiyah.Â
Selama tiga hari tersebut, saya banyak mempelajari, merefleksi, dan menyadari berbagai bentuk nilai-nilai dan sikap-sikap yang dapat dikembangkan. Dari awal, saya menyadari bahwa perbedaan-perbedaan seperti agama, ras, suku, dan lainnya bukanlah sebuah alasan untuk membeda-bedakan kami masing-masing. Â
Mengambil kutipan dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau yang sering dikenal sebagai Gusdur, "Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya."Â
Terutama sebagai umat-umat katolik yang merupakan hasil karya Tuhan dan dengan ajaran Santo Ignatius Loyola, kita sebagai ciptaan sang pencipta memiliki derajat kesetaraan yang sama dengan tujuan hidup yang sama, yakni untuk memuji, menyembah, dan mengabdi pencipta kita.
Selain kesetaraan, dalam ranah pendidikan pun ternyata tidak jauh berbeda dari yang akan dialami oleh sekolah-sekolah pada umumnya.Â
Mungkin banyak dari umat-umat berbeda kepercayaan yang memiliki pola pikir bahwa pondok pesantren minim edukasi seperti umumnya dan lebih menekankan terhadap ajaran-ajaran beragama, namun setelah mengalaminya langsung dan meski melihat sekilas ke dalam kelas-kelas, sesungguhnya mereka tidak jauh berbeda dari kehidupan persekolahan umumnya. Kegiatan setelah sekolahnya pun tidak kalah menarik dan sehat seperti silat, memanah, dan bermain basket.Â
Hidangan yang diberi juga sebenarnya tidak semenarik yang dibayangkan, terutama saat melihat cara mencuci piringnya yang ternyata tanpa sabun. Lauk yang diberi hanya satu dengan porsi yang mencukupi, meski tentu semboyan "kesederhanaan" sangat dijunjung tinggi, mencuci piring tanpa sabun agak berlebihan dengan memakan di piring yang masih ada bercak nasi sebelumnya.Â
Namun, pendopo dengan hawa indah dikelilingi kehijauan daerah sawah, segala ketidaknyamanan hilang disertai tawa dan canda yang menemani.Â
Maka dari itu, tantangan berada di tangan masing-masing kita, apakah toleransi ingin dikembangkan, diterima, dan mempersatukan demi kemajuan. Setelah pengalaman tiga hari yang begitu singkat rasanya, tiada muncul sekalipun rasa kebencian, bengis, segan, dan lainnya.Â
Cahaya harapan persatuan kuat antar generasi muda tidak jauh digapai dan sudah saatnya kita sebagai generasi penerus menyampingkan segala pandangan-pandangan kami dan berusaha melanjutkan apa yang telah diperjuangkan pahlawan-pahlawan kami untuk menyatukan bangsa dan memajukan negara.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI