“Lakukan pengobatan pada ayah gadis itu, biayanya biar saya yang urus,” kata Raka pada stafnya.
“Dan kamu, ikut saya,” sambung Raka, meninggalkan Kayana dengan air matanya.
“Kenapa kamu melakukan itu Kayana! Kamu tau itu akan mencoreng harga diri kamu sebagai dokter!” bentak Raka kepada Kayana.
Sedari tadi pandangan Raka tidak lepas dari Kayana. Terlihat wanita itu menangis tersedu-sedu. Raka tidak tau apa yang di rasakan Kayana kenapa Kayana kekeuh ingin menolong anak tadi. Kalau bukan Kayana yang meminta Raka tidak akan melakukan itu.
“Jawab abang, Kayana! Nggak guna kamu nangis seperti itu!” bentak Raka, bahkan suaranya lebih keras dari tadi. Raka tidak peduli dengan orang yang mengintip di celah cendelanya. Mungkin orang-orang penasaran apa yang terjadi.
“Aku pernah berada di posisi itu, dan rasanya sangat menyakitkan,” kata Kayana sambil terisak.
“Aku nggak mau menyesal jika tidak menolong anak itu Bang.” Kayana menatap wajah Raka dalam, ia melihat Raka terkejut dengan ucapannya.
“Di posisi itu?” tanya Raka, tidak mengerti perkataan Kayana, Raka berharap apa yang ada dipikirannya tidak menjadi kenyataan.
Kayana menjelaskan bahwa ayahnya menderita kanker otak, dan harus di operasi. Kejadiannya sama seperti gadis tadi.
“Ana, abang minta maaf, abang ti—“
“Maaf, abang tau gimana menderitanya aku dulu. abang nggak akan ngerti gimana ak—“ deringan telpon Kayana menghentikan ucapannya. Jantung Kayana berdetak kencang melihat id celler yang meneleponnya.