Pernah denger istilah kampung kusta? Kalau sekilas kok seakan jadi stigma bahwa orang yang menderita kusta harus tinggal di kampung ini ya? Apakah memang seharusnya seperti itu?
Di Indonesia, dari literatur yang saya baca, setidaknya ada 60 kampung kusta dari tahun 1950an sampai sekarang. Stigma bagi OYPMK (orang yang pernah mengidap kusta) terus saja terjadi karena kurangnya informasi dan edukasi kepada masyarakat.
Penyakit kusta ini disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae, penyakit ini memang menular tapi tidak semudah virus covid-19 ataupun virus flu. Bisa menular melalui droplet atau kontak erat dalam jangka panjang.
Pada awalnya peneliti yakin bahwa kusta ini berasal dari negara Chinna atau negara yang berdekatan dengan garis khatulistiwa seperti India atau Afrika.
Namun laporan jurnal PLOS Pathogens pada tahun 2018 memberikan gambaran lain, darimana kusta pertama kali menyebar.
Temuan tersebut menduga jika Eropa menjadi titik asal muasal penyakit kusta. Kesimpulan tersebut diambil setelah tim melakukan analisis terhadap 90 kerangka dengan tulang yang memiliki karakteristik kusta dari seluruh Eropa, dan dari periode waktu sekitar 400-1400 Masehi.
Kusta itu menular jika kita kontak selama lebih dari 20 jam dalam satu minggu, ingat ya dalam 1 minggu, kalau sehari cuma ketemu 2 jam (total 14 jam dalam satu minggu), kemungkinan besar kita masih bisa terhindar dari bakteri penyebab penyakit kusta.
Selain itu, pasien kusta yang yang sudah mengkonsumi obat yang direkomendasikan WHO selama 2x24jam, maka pasien tersebut sudah tidak bisa menularkan kepada orang lain. Tapi pasien tetap harus kontrol ke dokter untuk kontrol kesehatan/berobat jalan.
Tindakan cepat harus dilakukan jika orang terdekat kita terindikasi penyakit kusta, segera dibawa kedokter, jangan dijauhi atau malah dipasung hingga pembatasan akses untuk mendapat hak kesehatannya. Justru ini memperburuk keadaan pasien atau orang-orang terdekat.
Kembali membahas kampung kusta, konon awalnya kampung kusta ini adalah cara Belanda untuk memutus rantai penyebaran kusta. Semacam lockdown atau isolasi satu daerah agar penyebaran tidak meluas.
Kampung kusta yang terdekat dari tempat tinggal saya ada di di Karangsari, Neglasari, Tangerang - Banten. Sejarah kenapa para penyintas berkumpul di daerah ini karena pembangunan rumah sakit khusus kusta yaitu Rumah Sakit Sitanala pada tahun 28 Juli 1951 oleh ibu wakil presiden kala itu ibu Rahmi Hatta.
Penamaan Sitanala diambil dari nama seorang dokter yang pertama kali berkecimpung dan berjasa dalam menangani penderita kusta di Indonesia, yaitu Dr. J.B. Sitanala.
Keberadaan kampung kusta di Tangerang ini, sedikit banyak membantu para penyintas yang terstigma oleh masyarakat umum. Di kampung ini solidaritas mereka sangat kuat, saling tolong menolong dan menguatkan satu sama lain.
Para penyintas yang merasa "terusir" di kampung halamannya, walau sudah sembuh, tapi memang terlihat dalam kondisi fisiknya, bisa menjadi warga "normal" di kampung kusta tanpa harus memikirkan padangan orang lain terhadap mereka.
Kondisi kampung kusta saat ini jauh lebih kondusif, diskriminasi hanya cerita masa lalu, OYPMK kini bisa hidup berdampingan dengan masyarakat non penderita. Mereka sudah tidak sungkan bergaul satu sama lain, dalam segala aspek kehidupan.
Tapi apakah selamanya harus seperti itu? OYPMK serasa di isolasi, tidak bisa berkembang seperti layaknya warga negara Indonesia yang mempunyai hak untuk hidup?
Tentunya tidak mudah dan butuh proses, saya pun kalau dihadapkan dengan penderita kusta yang kondisi fisiknya tidak selengkap orang normal tentu akan ada rasa canggung dan butuh waktu untuk menyesuaikan. Tapi itu bukan berarti kita menganggap mereka lebih rendah dari kita, karena sejatinya semua manusia diciptakan sama oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Data Kementerian Kesehatan RI per tanggal 24 Januari 2022, mencatat jumlah kasus kusta terdaftar sebesar 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus. Pada 2021 lalu, tercatat sebanyak 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta.
Ditingkat dunia, Indonesia berada diposisi ketiga terbanyak jumlah kusta aktif di bawah India dan Brasil. Tentunya ini bukan sebuah prestasi yang membanggakan, melihat rantai penyebaran bisa diputus, kalau saja penderita bisa ditangani sejak dini, sebelum menyebarkan ke orang terdekat.
Informasi ini saya terima saat menghadiri sesi virtual Ruang Publik KBR (28 September 2022), bekerja sama dengan NLR Indonesia. Acara yang dimoderatori oleh Debora Tanya, mengundang narasumber dari Tenaga Ahli Kedeputian V, Kantor Staff Presiden (KSP) Sunarman Sukamto, Amd dan Dwi Rahayuningsih, Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskiman dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas.
"OYPMK merupakan masalah multidimensi, bukan hanya masalah kesehatan tapi juga isu sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk itu pak Jokowi melakukan pendekatan dengan cara penanganan HAM untuk disabilitas khusus kusta" Ujar pak Sunarman Sukamto.
Salah satu mandat kedeputian 5 KSP adalah untuk memastikan perlindungan penegakan dan pengaduan HAM penyandang disabilitas termasuk penderita kusta dan OYPMK untuk menjadi bagian dari semua proses perencanaan pelaksanaan monitoring dan evaluasi pembangunan inklusif disabilitas.
Terkait HAM untuk OYPMK, adalah mendapatkan akses pekerjaan sesuai keahlian, yang selama ini masih terus diperjuangkan. Terbatasnya akses disabilitas termasuk OYPMK terhadap modal dari lembaga keuangan untuk berwirausaha juga dipengaruhi adanya diskriminasi akibat minimnya pemahaman masyarakt umum tentang kusta.
"Tingkat kemiskinan untuk penyandang disabilitas fisik di mana orang dengan penyakit kusta juga masuk di dalamnya ada di angka 15,2% jadi memang tingkat kemiskinan penyandang disabilitas termasuk para penyandang disabilitas masih relatif lebih tinggi dibandingkan yang bukan disabilitas" Ujar ibu Dwi Rahayuningsih, Perencana Ahli Muda, Direktorat Penanggulangan Kemiskiman dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas.
Pak Sunarman Sukamto menambahkan, jika ada OYPMK yang dipersulit untuk mendapatkan akses pekerjaan karena kondisi mereka padahal kompetensinya mencukupi, bisa melapor ke Dinas Tenaga Kerja daerah masing-masing, kalau diabaikan bisa langsung lapor ke Kantor Staff Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H