Mohon tunggu...
Sarwo Prasojo
Sarwo Prasojo Mohon Tunggu... Angin-anginan -

Suka motret, tulas-tulis dan ini itu. Dan yang pasti suka Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(RTC) Kupu-Kupu di Atas Tenda Pengungsi

16 Januari 2019   19:15 Diperbarui: 16 Januari 2019   19:25 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru beberapa langkah keluar tenda pagi itu, Latifa baru ingat ada yang mesti dibawa.  Sebuah dompet  yang tersimpan di buntalan baju dalam tas kresek.  Ia pun membalikkan badan untuk mengambilnya.  Entahlah, ia merasa perlu membawa dompet tipis itu. Dan sebentar kemudian benda itu terambil.  

Keluarlah dia dari tenda.  Ia berdiri tercengang, saat beberapa kupu-kupu hinggap di atas tenda pengungsiannya. Gadis belia sembilan tahun itu mencoba mendekati.  Diayunkan tangannya berharap kupu-kupu itu terbang.  Dan dia ingin sekali melihatnya.  Sebagaimana kebiasaan saat di rumah, yang pekarangan depan kerap kehadiran binatang cantik itu.

Latifa mencari sesuatu.  Sebuah bilah ranting kayu yang terserak di sekitar tenda diambil. Ia melompat-lompat sekenanya memukulkan ujung bilah itu ke tenda.  Dan, kupu-kupu itu beterbangan.

Anak kecil itu girang.  Dikejarnya selangkah demi selangkah.  Menyusuri deretan tenda yang berpuluh-puluh itu.  Yang wajah penghuninya penuh duka.  Tsunami tiga hari lalu telah melibas segenap harta, nyawa, juga rasa bahagia.  Dan duka mereka terkumpul pada tiap-tiap tenda.

Gadis kecil itu tak hirau panggilan temannya.  "Latifa, tak usah kau kejar kupu-kupu itu.  Biarkan pergi.!"

Anisa berseru lagi kepada Latifa,"Berhenti, kasihan!"

Ia tak menghiraukan.  Anak itu lincah mengejar kupu-kupu kuning yang sepertinya malah menggoda agar gadis itu terus merangsak maju.  Beberapa orang dewasa melihat itu.

"Biarkan saja dia.  Biarlah Latifa merasa senang hari ini," ucap seorang perempuan muda yang tengah membopong bayinya.
 
"Oh, jangan.  Nanti kalau dia hilang bagaimana?" sergah lelaki bersarung kotak-kotak.

"Tolong diawasi, takutnya kemana-mana!" tukas yang lain.

Latifa makin menjauh dari tenda pengungsi. Sedang orang-orang tengah sibuk dengan pikirannya. Dengan masa depannya.  Dan si kecil Latifa hilang dari jangkauan perhatian mereka.  Anak ini mengembara mengikuti kepak sayap kupu-kupu.  

Mereka terbang rendah saja.  Jika Latifa tertinggal, mereka berhenti dan hinggap di tempat yang terlihat gadis itu.  Saat dia mendekati, terbanglah kembali dengan penuh riang.  Latifa dan kupu-kupu selayak sahabat yang lama tak bertemu.  Mereka memuaskan diri sepenuh jiwa.

Hari itu Latifa seperti bisa melupakan peristiwa tragis pada beberapa malam yang lalu. Yang membuatnya terdampar di suatu tempat yang dia sendiri tak tahu entah di mana kini.  Tempat yang asing.  Dan dia diselamatkan oleh seorang pria saat separuh badan terkubur lumpur.

Gadis itu tetap berlari kecil.  Seperti tak ada lelah.  Sedang tenda pengungsi sudah jauh tak tampak mata.  Mungkin dia pun lupa jalan untuk kembali.

Sementara itu, di tenda pengungsian beberapa orang mulai cemas.  Gadis kecil itu tak tampak.  Mereka yang satu tenda mencari.

"Apa ada yang melihat Latifa?"
"Latifa! Bukankah tadi ke sana."
"Ke mana?"
"Ya, tadi ke arah sana!"

Laki dan perempuan bersahutan memanggil: Latifa.... Latifa...!

Beberapa orang yang tengah di tenda keluar.  Bersegera mengitari lingkungan pengungsian setelah diberitahu anak itu tak ada. Anak-anak sebayanya ditanya, barangkali tahu. Semua menggeleng.

"Kamu mau ke mana?" bertanya seorang pemuda ke rekannya yang tergesa-gesa pergi.
"Ke Posko!"
"Mau laporan?"
"Ya!"

Dan mulailah berita Latifa hilang menyebar.  Petugas Posko pengungsian pun mulai berkordinasi dengan beberapa pihak untuk mencari anak itu.

Di kejauhan sana, kupu-kupu beriringan merendah dan hinggap pada gundukan tanah berlumpur. Mereka berderet rapi.  Latifa tersenyum sambil menghentikan ayunan langkahnya.  Nafasnya diatur pelan.  Jemarinya mendekat.  Sepasang sayap seekor kupu ingin dia pegang dengan jepitan ibu jari dan telunjuk tangan kanannya.  Ia selangkah demi selangkah pelan mendekat.  Ia tak ingin kupu-kupu itu buyar dan pergi lagi.

Dan dia terperanjat oleh injakkan kakinya.  Dia teriak.  Merasa ada yang aneh.  Ada ketakutan pada wajahnya. Sesosok mayat ada dalam gundukan tanah itu.  Ia menjerit keras.

Lengkingan suara gadis itu membangunkan kesadaran orang-orang dewasa.  Mereka terkesiap, ada gadis kecil berada puluhan meter dari mereka.  Sendirian pula.  Tak tahu dari  arah mana  dia datang.  Semua dibuat terbelalak.  Mereka para relawan yang tengah berjibaku mencari korban bencana.

Tiga orang berlari.  Disusul dua yang lain.  Ada apa? Kenapa  Adik di sini?  Seseorang bertanya sesampainya di tempat Latifa berdiri penuh kebingungan. Gadis itu tak menjawab.  Mulutnya tak kuasa bersuara.  Dia arahkan telunjuk kanannya ke arah tanah yang baru terinjak olehnya.  Dia lantas berucap pendek: itu!

Lima relawan itu mendekat gundukan tanah berlumpur. Dengan tangan mereka  menyingkirkan lumpur pada bagian atas. Seseorang terkejut, ia menyentuh tangan.  Ini mayat, katanya.  

Para relawan itu bergerak makin cepat.  Menyingkirkan lumpur lembek yang membelepoti jasad itu.  Jasad seorang perempuan. Pakaiannya tak utuh lagi.  Dengan air dalam kemasan, seseorang membersihkan wajah jasad korban. Entah kenapa ia punya maksud begitu.   Ada tahi lalat terlihat dekat bibir.  Dan wajah itu amat dikenal Latifa.  Dan dia pun meronta dan berteriak sejadi-jadinya jadinya: ibu.....ibu....ibu......!

Tangis pun menggema ke langit.  Tetes air mata deras tak terbendung. Duka yang menyayat Latifa.  Seorang relawan mendekap anak itu.  "Itukah ibumu, Dik?"

Latifa yang sesenggukan tak bisa menyahut.  Diberikannya dompet yang tersimpan pada saku bajunya.  Lelaki itu membuka. Dilihatlah foto dalam dompet.  Dipandangi jasad itu.  Ditunjukkan kepada rekannya foto itu.  Semua meyakini, wajahnya sama.

***

S_pras, 16 Januari 2019

Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti event cerpen RTC Duka Indonesiaku.

Logo rtc
Logo rtc

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun